"Cassie..." Suara panggilan tiba-tiba memutus percakapan antara Cassie dan Tony.
Keduanya bangun dan berbalik hanya untuk mendapati kedua orangtua mereka sudah berdiri di sana.
"Ayah, Ibu.." Cassie lantas bergerak menuju keduanya dan mengecup pipi ayah dan ibunya, mengabaikan wajah kaku dua orang itu karena sedikit terkejut.
"Sejak kapan kalian berdiri di sana?" Wajah Tony tampak memandang keduanya curiga. Apakah mereka menguping percakapannya dengan Cassie?
"Kami baru saja sampai, Antony.." Countess Henrington maju dan membenahi sedikit kancing jas Tony yang terbuka. "Sepertinya Ayahmu memiliki hal yang harus ia bicarakan dengan Cassie. Bukan begitu, Sayang?"
Earl Henrington menatap istrinya hingga kemudian tersadar sesuatu, "Oh ya... Cassie, ikut Ayah ke ruang kerja."
Cassie yang heran, masih berdiri di tempatnya. Menatap kepergian sang ayah lalu ke arah ibunya.
"Cassie? Apa yang kau tunggu, Nak?" Pertanyaan ibunya itu lantas menyadarkan Cassie.
Buru-buru gadis itu menyusul Earl Henrington, sementara Tony hanya melihat kepergiannya.
"Apa yang dibutuhkan Ayah dari Cassie?" Tony memandang wajah cantik sang ibu yang mulai dihiasi keriput halus karena usia. Beberapa bagian kulitnya tampak terlalu putih. Mungkin efek make up dan beberapa krim perawatan yang mengandung arsenik itu.
"Ibu tidak tahu, Antony," jawab sang countess. "Jangan memandang Ibumu seperti itu... Ngomong-ngomong berapa lama kau akan pergi ke Maurice, Sayang?"
Melihat ibunya mengganti topik, Antony tahu ia tidak akan mendapatkan apapun jika memaksa. Ibunya tidak akan membocorkan sedikit pun, jadi peluangnya hanya bertanya langsung pada Cassie nanti.
Ia bukan khawatir tanpa sebab, tetapi lebih pada perasaan aneh karena tidak biasanya sang ayah memanggil putri bungsu satu-satunya itu untuk berbicara berdua. Mereka terkadang mendiskusikan segala hal di meja makan karena sempitnya peluang mereka menghabiskan waktu bersama.
"Hanya beberapa hari, mungkin juga satu minggu. Tergantung kondisinya," jawab Antony sekenanya.
......................
Cassie tengah duduk di hadapan ayahnya ketika pria paruh baya itu secara tiba-tiba mengembuskan napasnya lelah. Seolah baru saja ia ditimpa beban berat sebelumnya.
"Ayah? Ada apa? Tidak biasanya Ayah akan memanggilku seperti ini..." Cassie tahu jika ia sudah dipanggil seperti ini kemungkinannya ada dua. Jika itu bukan hal yang menyangkut hukumannya karena kesalahan atau semacamnya, maka ada hal lain yang harus ia jaga. Seperti sikapnya mungkin?
Tetapi Cassie tidak pernah menampakkan perilaku buruk sebelumnya. Kecuali diam-diam bertemu dengan Duke Richard atau menghabiskan waktu bersama saat di Westley dua bulan lalu.
Oh, tidak! Apakah ada seseorang yang mengetahui tentang itu lalu berkata pada ayahnya?!
Cassie merasakan kegugupan yang mendadak memenuhi rongga dadanya. Perlahan bulir keringat halus memenuhi pori kulitnya yang lembut dan terawat.
Ia tidak bisa menanggungnya, jika sang ayah tiba-tiba meminta penjelasan tentang hubungannya. Tidak sebelum Duke Richard mengungkapkan isi hatinya ada Cassie.
Pria itu hanya terus meracau tentang menginginkannya, melihatnya terus menerus, tapi belum sekali pun mengatakan tiga kata pamungkas yang ia tunggu.
Belum. Belum saatnya, Cassie...
"Sampai kapan kau akan terus mengajar, Cassie?"
Lontaran pertanyaan ayahnya yang berbeda topik dengan pikirannya semula membuat Cassie tertegun sejenak. "Apa? Maksudku, kenapa ayah mengatakannya?"
"Ayah bertanya padamu, Nak." Kedua mata biru milik ayahnya memandang Cassie dengan tatapan serius. "Kau tidak mungkin akan terus mengajar, bukan?"
"Tapi kenapa, Ayah? Aku suka mengajar." Cassie merasakan ada ganjalan pada tenggorokannya. Sepertinya hal yang selama ini tidak pernah ia khawatirkan akan terjadi.
Ayahnya akan memintanya berhenti.
"Segera selesaikan urusan mengajarmu itu dan fokuslah untuk mencari pasangan, Cassie!" tegur sang ayah. Sangat sejalan dengan dugaan di kepala anak perempuannya itu.
Cassie menunduk. Ia mencintai hobinya mengajar. Bertemu anak-anak, berinteraksi dengan mereka, melambungkan mimpi-mimpi mereka yang bahkan mungkin hanya akan dicapai satu dua orang di antaranya.
Ia mengajar untuk mengatasi segala kesepiannya. Sesuatu yang selama ini selalu ia peroleh saat berada di kediaman, tanpa Antony.
"Ayah tahu aku suka mengajar." Cassie bersikeras meski nada suaranya melemah. Air matanya menggenang di pelupuk matanya. Wajahnya tertunduk menatap lantai di mana kedua sepatu mengkilapnya terlihat saling menapak.
"Cassie, sudah saatnya kau serius dengan kehidupanmu." Nada suara ayahnya semakin tegas. Tidak menginginkan bantahan Cassie.
Saat itu Cassie tahu, ayah dan ibunya hanya membiarkannya sejenak sebelum memutus semua hal yang menjadi kesenangannya sejak kecil. Tidak boleh bermain dengan anak-anak lain, tidak boleh mengeluh, tidak boleh ini-itu.
"Ya. Jika itu yang Ayah inginkan dariku." Cassie berdiri. Ia tidak sanggup lagi menahan tumpahan air mata karena kesedihannya yang akan sewaktu-waktu jatuh.
Ia tidak ingin ayahnya tahu jika ia menangis. Tidak. Tidak lagi. Namun, siapa sangka jika ayahnya pun kadang masih bersikap terlalu tegas padanya.
"Jangan menangis. Kau bisa melakukan hobimu yang lain," ucap Earl Henrington begitu Cassie hendak meraih gagang pintu.
Cassie tidak menjawab. Ia hanya melenggang pergi menuju kamarnya. Mengabaikan Antony yang melihat kepergiannya ke lantai atas mansion mereka saat melewati ruang keluarganya.
"Cassie!"
Ia tidak menoleh. Bahkan ia tahu, ibunya pun tidak berkeinginan untuk menghentikannya. Sekadar menghibur atau mendinginkan kegundahannya. Ia hanya terus berlari tanpa memedulikan sekitarnya.
Cassie menutup pintu kamarnya yang megah dan tidur menelungkup di atas bantal bersarung sutera lembut warna keemasan. Ia kalah. Air matanya merembes turun membasahi bantal besar itu, meninggalkan jejak di permukaannya.
"Cassie..." Tiba-tiba suara Antony sudah terdengar di belakangnya. Kakaknya itu selalu saja tidak pernah membiarkannya menangis sendirian. Sekali pun ia mengusirnya.
"Biarkan aku sendiri, Tony," katanya dengan terisak.
"Apa? Apa yang dikatakan Ayah hingga kau menangis seperti ini? Katakan padaku, Cassie!" Antony tidak mengindahkan pengusiran Cassie. Bersikeras meminta penjelasan.
Sungguh Antony hanya tidak ingin adiknya yang cantik jelita itu menangis. Ia terlalu menyayangi Cassie kecilnya yang penurut itu. Gadis itu meski sudah dewasa tetapi masih nampak seperti adik kecil di matanya. Adik yang selalu mengekorinya ke mana-mana, penurut dan selalu lebih cerdik darinya.
Cassie tidak menjawab. Tubuhnya hanya bergetar karena tangis yang tertahan.
"Cassie katakan padaku." Antony mengambil duduk di tepi ranjang besar Cassie, lalu menepuk bahu gadis itu. Memintanya untuk berbalik.
Cassie, meski pun ia benci untuk menampakkan wajahnya yang penuh tangis pada Tony, hanya bisa pasrah lalu berbalik dan terduduk.
"Tony.. Ayah memintaku berhenti mengajar." Cassie menghambur ke pelukannya begitu selesai mengatakan itu pada Antony.
Merasa memahami maksud ayahnya, Antony hanya balas memeluk adiknya itu, berusaha melontarkan penghiburan. "Cassie... Ayah hanya ingin kau tidak terlalu lelah di luar. Kau tahu, kau adalah gadis terbaik di seluruh Zoya."
"Bohong!" Cassie memotong kalimat Antony yang hanya pembualan semata. "Hanya karena aku wanita bangsawan dan semua orang membicarakannya seolah itu adalah hal menjijikkan!" Ia tidak mengangkat kepalanya sama sekali. Semakin larut dalam isaknya.
"Cassie?" Antony menepuk punggung Cassie, berusaha menegakkan tubuh gadis itu. Biarpun Cassie adiknya, tetapi posisi mereka sebagai dua orang dewasa tampak tidak bagus untuk Antony. Terlebih bentuk tubuh adiknya itu adalah tubuh yang kerap jadi idaman para pria.
Sungguh Antony harus mengenyahkan pikirannya itu!
Cassie akhirnya menurut lalu menegakkan tubuh dan menerima uluran sapu tangan Antony. "Kau tahu aku sangat mencintai anak-anak."
Antony mengangguk, "Lalu kenapa kau tidak berusaha menikah saja lalu memiliki anak-anakmu sendiri, Cassie?"
Tidak! Tidak semudah itu, batin Antony.
Pria yang menjadi calon adiknya harus melewati banyak ujian darinya sebelum bisa mewujudkan kata-kata yang ia ucapkan. Masa bodoh dengan sikap posesifnya pada sang adik.
"Jangan bodoh! Aku tidak punya kekasih!"
"Kau yakin?"
Pertanyaan Antony sungguh tidak tepat. Tidak di saat Cassie merasa sedih karena harus meninggalkan hobinya, tetapi karena ia memikirkan ucapan Antony untuk menikah.
"Kenapa diam saja? Jadi benar kau sudah punya kekasih?"
Cassie melotot pada kakaknya. "Tony!"
"Siapa bajingan yang berhasil merayumu, Cassie?"
"Dia bukan bajingan."
"Aku tidak peduli. Katakan saja namanya padaku supaya aku bisa melihat baik buruknya pria itu untuk adikku."
"Dia- Dia Duke Richard," cicitnya lirih. Berharap Antony tidak mendengar ucapannya.
"Apa?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yukity
Hadir dengan ninggal jejak Thor...
Saling dukung yuk...
salam dari
CINTA UNTUK YULIA
2021-09-01
1
Nunu Pertiwi
apa?
2021-07-28
1
نورالجنة √🍁 _✍︎
Otw bawa pedang habisi aja tih badboy 😁😁😁
2021-06-01
1