Langkah tegas Gio membawanya menuruni tangga menuju ruang makan yang sudah terdapat Ayah, Bunda dan Adiknya. Dengan senyum manis,, Gio menatap keluarganya dengan tatapan teduh berbeda jika dia menatap orang lain, dingin dan tajam.
"Hari ini kuliah ?", tanya Gio pada Gea, adiknya setelah duduk di kursi meja makan tepat dihadapan bundanya.
"Iyaa, kenapa memangnya?", tanya gadis manis pemilik lesung pipi yang tengah asik dengan makanannya.
"Pulangnya mau Abang jemput ?", tanya Gio membuat Gea mengangguk semangat. Dia paling suka merepotkan abangnya ini.
"Mau tapi nanti kita harus beli es krim sebelum kembali kerumah", kata Gea dengan mata berbinar.
"Gak boleh banyak makan makanan manis dek", kita Kevin mengingatkan.
"Tapi Yah...",
"Stok dirumah masih banyak", balas Kevin cepat.
"Baiklah", ucap Gea menunduk lemas.
Namun belum cukup beberapa menit,, Gio sudah menyodorkan kotak berbalut kertas kado berwarna biru muda dan pita berwarna putih.
"Untuk kamu karena berhasil masuk perguruan tinggi negeri dengan usahamu sendiri", kata Gio tersenyum kearah adik kesayangannya.
Mata Gea seketika berbinar mendapat hadiah dari Abangnya karena jarang sekali laki-laki itu memberikannya hadiah, meski dia tahu Gio mampu memberikannya.
"Bunda, Ayah.. Abang berangkat", kata Gio beranjak dari tempat duduknya lalu menyalami kedua orang tuanya.
"Hati-hati",.
Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya,, Gio melangkah menuju mobil yang sudah disiapkan hendak ke perusahaan miliknya. Kuliahnya hari ini kosong jadi dia akan menggunakan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaannya, jadi besok dia hanya tinggal mengecek beberapa pekerjaan dan menyelesaikan tugas kuliahnya.
Baginya, waktu adalah uang dan dia tipe orang yang paling tidak suka menyia-nyiakan waktu yang dia punya. Selagi dia masih bisa, dia akan selesaikan. Hal ini juga yang membuatnya sampai sekarang belum juga menemukan pujaan hatinya. Jika dilihat, umurnya sudah cukup untuk memulai sebuah hubungan dan memikirkan dirinya tapi itu semua tidak berlaku pada seorang Gio Pratama Ananda.
Pernah suatu hari Gea, adiknya bertanya padanya kapan dia akan memikirkan kebahagiaannya sendiri dan jawabannya dari dulu tidak pernah berubah. Dia akan selalu menjawab "ketika adik dan kedua orang tua ku sudah berhasil ku bahagiakan". Baginya, dunianya hanya berputar pada Ayah, Bunda dan adik kesayangannya.
Gio menghentikan laju mobilnya saat melihat lampu berubah menjadi merah. Matanya menatap lurus kedepan dengan mengetuk-ngetukkan jarinya pada stir mobil membentuk nada sendiri sambil menunggu lampu berubah menjadi hijau.
Detik berikutnya, matanya menangkap sosok gadis cantik berkuncir kuda memakai baju kaos berwarna pink soft dan jeans panjang serta Sling bag berwarna hitam sedang berbicara dengan seorang nenek tua, seperti menawari bantuan.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian, Gio melihat gadis itu membantu nenek itu menyebrang jalan dengan senyum manisnya. Gio tidak dapat mengalihkan pandangannya dari gadis cantik dan manis itu. Jika dilihat-lihat umur gadis itu sama dengannya.
...----------------...
Dengan tergesa-gesa, Ara berlari menuruni tangga untuk segera menemui neneknya yang sudah menunggunya di meja makan.
Rumah minimalis berlantai dua itu adalah satu-satunya harga yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Dia sebenarnya ingin menjualnya dan mengganti dengan rumah sederhana yang cukup untuk dia dan neneknya. Bukan tanpa alasan dia ingin menjualnya dia membutuhkan modal untuk membuka usaha sendiri dan sisanya bisa dia gunakan untuk menutupi biaya mereka sehari-hari, tapi neneknya selalu melarang dengan alasan terlalu banyak kenangan dirumah ini.
Jika orang yang baru mengenalnya melihatnya hanya sekilas, pasti orang akan beranggapan jika dia ini orang berada karena memiliki rumah bagus dan bertingkat tapi sebenarnya tidak seperti itu, kata neneknya rumah ini adalah hasil kerja keras ayah dan bundanya sewaktu masih hidup. Neneknya juga mengatakan jika rumah ini dibangun sebagai hadiah untuk dirinya kelak jika sudah lahir. Namun, belum sempat ayah dan ibunya menunjukkannya padanya, kedua orang tuanya sudah dipanggil sang pencipta disaat usianya belum menginjak satu tahun.
Rumahnya ini memang tidak sebesar rumah orang-orang kaya pada umumnya karena ayahnya yang meminta untuk dibuatkan rumah minimalis berlantai dua, dan itu yang menjadi tempat tinggal mereka sekarang.
"Nek, Ara berangkat yah", kata Ara sambil melangkah mendekati neneknya.
"Gak makan dulu ?", tanya Muti, neneknya.
Makanan dimeja sudah tertata rapi, tapi sayang sekali dia tidak bisa berlama-lama sekarang, ada pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum masuk kampus hari ini.
Ara kuliah ?, Yap, dengan bantuan otaknya yang jenius, Ara berhasil mendapat beasiswa untuk kuliah di salah satu universitas impiannya, dan itu yang membuatnya tak henti-hentinya bersyukur karena meski hidup dalam kesusahan, dia masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melanjutkan pendidikannya.
"Ara bawa bekal aja, Ara buru-buru, nek", kata Ara memasukkan nasi, tahu dan tempe ke dalam tempat bekalnya.
"Kamu kerja lagi ?", tanya Nenek.
"Iya Ara ada pekerjaan hari ini, karena Ara masuknya siang jadi Ara ambil jam kerja pagi sama sore nanti", balas Ara menatap neneknya dengan tersenyum.
"Kamu gak mau berhenti saja ?", lagi-lagi pertanyaan seperti itu terlontar dari mulut neneknya yang semakin menua.
"Ara kan sudah berapa kali bilang, Nek. Kalau Ara berhenti bekerja kita mau makan apa? ", jawab Ara dengan lembut. Dia tahu neneknya ini khawatir tapi jika dia tidak bekerja, dia akan memberi makan apa pada neneknya. Dia begitu menyayangi neneknya karena hanya dia satu-satunya keluarga yang Ara punya dan juga begitu menyayanginya.
Tidak ada beban sama sekali saat Ara mengatakannya, karena itu memang benar, dia tidak ada tempat untuk bergantung apalagi meminta, pantang untuknya meminta pada keluarganya yang lain ketika dia masih bisa bekerja dan menghidupi dirinya sendiri.
"Tapi Ara....",
"Udah ah, nenek mah selalu gitu. Ara gak papa kok. Ya udah Ara berangkat yah, assalamualaikum", kata Ara dan langsung menyalami tangan neneknya lalu beranjak meninggalkan rumahnya.
Neneknya menatap kepergian cucu kesayangannya dengan sendu, selama ini gadis itu tidak pernah mengeluh padanya. Bahkan menangis pun jarang sekali, dia hanya akan menunjukkan air matanya jika dia merindukan kedua orang tuanya. Tidak ada sedikit pun dia mengeluh atau merasa lelah menjalani harinya yang berat seperti ini.
Bekerja dan kuliah adalah kesehariannya dan neneknya tau itu pasti sangat melelahkan, belum lagi dia harus bergelut dengan tumpukan tugas setiap malamnya.
"Putri mu sekarang tumbuh menjadi gadis tangguh, Aira", gumam Muti.
...----------------...
Dengan langkah kecil, Ara melangkah menuju jalan raya untuk mencari kendaraan yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Untung saja tempat kerjanya tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Namun, belum sampai Ara menemukan kendaraan umum, matanya menangkap sosok gadis kecil dengan pakaian lusuh tengah mencari sesuatu di tong sampah.
Melihat itu, hati Ara sakit. Dia bisa merasakan bagaimana sulitnya hidup dan berjuang ditengah-tengah kehidupan kota yang padat dan kejam ini.
Ara mendekati gadis kecil itu lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan gadis mungil itu.
"Dek, ini kakak ada makanan", kata Ara menyodorkan kantong plastik berisi kotak bekal yang dia bawa tadi.
Gadis kecil itu menatap Ara dengan mata berbinar.
"Benar untuk aku?", tanya gadis itu.
Ara mengangguk dan tersenyum manis, membuat gadis itu senang bukan main karena akhirnya hari ini dia bisa makan. Namun, tiba-tiba gadis itu menolak membuat Ara mengerutkan keningnya.
"Tapi kakak nanti makan apa ?", tanya gadis itu.
"Gak papa, kakak sudah makan tadi. Ambil yah", kata Ara.
"Bener ?"
"Bener dong, dimakan yah. Kakak mau berangka dulu, dah", kata Ara berlalu pergi setelah gadis itu menerima pemberiannya.
Setelah beberapa menit berjalan, Ara kembali melihat seorang nenek tua yang sepertinya hendak menyebrang namun takut.
Ara mengamati setiap orang disekelilingnya, tidak ada yang berniat membantu semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan mengabaikan sekitarnya. Ara menggeleng pelan melihat bagaimana keadaan sekarang. Semakin hari kepedulian antar sesama seakan hilang dan manusia berubah menjadi makhluk yang individualisme.
Ara menghela nafas pelan lalu membantu nenek itu menyebrang. Dia melakukan itu semua bukan karena ingin mendapat pujian atau hanya sekedar dianggap baik, bukan. Dia melakukan itu tulus dari hatinya, terserah orang mau beranggapan seperti apa tentang dirinya yang jelas, dia hanya ingin membantu sesama.
Tanpa Ara sadari, seseorang sedari tadi mulai dari sejak Ara datang sampai gadis itu tersenyum manis saat berhasil membantu orang lain. Orang itu terus memperhatikan dan memujinya karena dizaman seperti sekarang, sudah jarang sekali ada seseorang yang mau membantu sesama.
"Cantik", batinnya
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments