3 - Bangkok. Malapetaka 1

(Bima)

 

Aku berkumpul di Bandara Internasional Suvarnabhumi setelah kedatanganku dari Jakarta. Ada satu panitia dari stasiun TV yang mengarahkan kami untuk memakai kartu yang sudah dibelikan oleh panitia. Katanya sih, komunikasi itu penting. Setajir apa sih Profesor itu sampai memberikan program magang dan membiayai seluruh akomodasi peserta?

“Elo udah sampe?” Tasya melakukan panggilan video call.

“Ya dongg…” Aku memainkan ponselku dan menunjukkan situasi terkini. Kami berada di sebuah mini bus.

“Habis ini mau ke mana?”

“Hmmm… ke dorm.”

“Flat lo gimana? Mau dibatalin?” tawar Tasya.

“Gue udah kabari panitia yang di Jakarta, kalau gue sewa flat di sekitar stasiun TV itu.”

“Terus tanggapannya?”

“Mereka akan teruskan ke panitia yang di Bangkok.”

“Lalu…?”

“Gue liat dulu dorm-nya kayak apa.”

Tasya terlihat mengangguk-angguk. Tanda setuju.

Setelah sampai di dorm, aku bersama kandidat lain terlihat sibuk melihat-lihat dorm yang sudah disediakan. Nampaknya tidak kondusif untuk mencari inspirasi. Akhirnya aku izin dengan panitia, seorang wanita cantik, berkulit sawo matang bernama Fern. Mengatakan bahwa aku mungkin akan tinggal di flat yang sudah kusewa di dekat stasiun TV. Awalnya Fern tidak begitu menyukai ideku. Karena di saat magang seperti ini, kekompakan yang harus dijaga. Bukan memisahkan diri.

Sebetulnya bertahun-tahun ini aku sudah banyak memisahkan diri dengan orang-orang demi pekerjaanku. Akhirnya aku mengalah. Daripada di diskualifikasi dan disuruh pulang tanpa tanggungan. Aku tidur dengan seorang mahasiswa tingkat akhir yang tidak begitu ramah. Tapi lama kelamaan, dia mengajakku untuk mengobrol berbagai hal.

“Jadi udah kerja ya, Mbak?” tanyanya. Namanya Claudia. Rambutnya panjang dan lebih berkilau daripada rambut panjangku.

“Iya. Kamu semester berapa?”

“Semester akhir, lagi nyusun skripsi.”

Sebetulnya tidak apa-apa aku tinggal di dorm. Claudia tidak terlalu berisik. Hal yang tak terduga, walaupun wajahnya jutek ternyata dia cepat ramah denganku.

 

 

(Ben)

 

“Semua kandidat sudah di dorm?” tanyaku pada Levi, asistenku.

“Clear, Ben. Ada satu kandidat yang nggak mau tinggal di dorm.” beritahunya.

Aku mengerutkan dahiku.

“Siapa?”

Levi merogoh kantongnya dan membuka ponselnya.

“Namanya…hmmm…Chandani Bimala Lalitha.” ujarnya mengeja.

Aku hanya mengangguk sambil menggulung bajuku.

“Kenapa dia mau sewa flat ya? Padahal kita sudah bayar akomodasinya semua.”

“Mungkin anak ini bisa kita kecualikan?” usulku.

“Dikasih pelajaran?” Levi tersenyum licik. “Kamu mau aku yang melakukan hal itu?”

“Silahkan.”

Malam ini aku bersiap-siap untuk menyambut semua kandidat yang terpilih pada acara makan malam. Levi sudah menyiapkan makan malam di sebuah restoran yang tidak jauh dari dorm. Waktu aku sampai di restoran, aku menghitung semua kandidat dan ada dua orang yang tidak hadir.

“Kamu yakin hadir semua?” tanyaku berbisik pada Levi.

“Kayaknya ada dua kandidat ini pergi pakai MRT, Ben.” jawabnya. “Dan agak telat.”

Betul, tidak berapa lama ada dua orang wanita masuk ke dalam restoran dan duduk berdua. Aku tidak tahu persis namanya. Tapi salah satu wanita yang aku ingat wajahnya duduk bersama kandidat lain dan mulai melahap makan malamnya.

“Hi, Prof. Thank you so much for appreciate my CV that I can join this program. I’m Bima.”

Wanita yang aku ingat wajahnya ini tampak familiar. Aku bertemu dengannya pertama kali di stasiun MRT di Jakarta lalu aku sempat melihatnya di taman kampus di hari yang sama. Dia mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan. Tapi aku tidak membalas jabatan tangannya.

“Did you called me Prof? Did I know you?” balasku. Wanita ini terdiam. Tangannya sudah disingkarkan dari pandanganku. Semua kandidat terdiam dan menatap kami. Hening. “Panggil saya Ben. Kamu yang mau pindah untuk tinggal di flat sendiri?” celetukku.

Semua kandidat tercekat. Ada pandangan yang tidak suka ke wanita ini.

“Saya akan lihat besok seberapa besar kemampuanmu untuk menulis.”

Kemudian aku berdiri.

“Terima kasih untuk makan malam yang menyenangkan ini. Sampai ketemu besok pagi di kantor.”

Aku tersenyum sedikit dan meninggalkan wanita itu masih terpaku. Kesal.

 

 

(Bima)

 

“Mbak Bima, kamu ngapain nyapa Prof?” sapa Ari salah satu kandidat yang bertubuh gemuk.

“Iya Mbak. Dia itu Prof killer. Dosen-dosen yang tua aja kalah killer-nya dari dia.” tambah Claudia.

“Ganteng sih ganteng. Tapi gitu amat.” celetuk Nara, mahasiswa cantik yang sepertinya mahasiswa yang memiliki IPK tertinggi kalau dilihat dari wajahnya. Dia terlihat mengunyah sesuatu.

“Banyak itu fans-nya kalau di kampus. Nggak dari fakultas kita aja. Prodi-prodi lain juga demen banget kalau si Prof bersliweran di lorong.” ujar Ari.

“Satu kelemahannya, dia tidak pernah apresiasi kerja kita dan mengingat nama-nama kita.” kata Claudia mengingatkan.

“Berarti dia akan lupa namaku?” tanyaku.

“Pastinya.” jawab Nara mantab. “Dia nggak bakal tahu nama-nama kita yang satu meja makan di sini. Semua kandidat kan dipilih sama asisten dosen atas persetujuan Prof.”

“Kenapa dia bisa bahasa Indonesia?” tanyaku lagi. Penasaran. Tasya bahkan tidak memberitahu perihal ini.

“Oh itu, dia lama di Indo dan orang tuanya juga kabarnya di Indo.”

Aku masih saja berdiri di tempat yang sama, mencerna informasi yang baru saja kudapat. Tiba-tiba aku mengepalkan tanganku dan berteriak dalam hati, sialan! Sombong banget sih! Untung banget aku nggak diajar sama dia. Dosen macam apa dia. Bahkan membalas jabatan tangan orang pun nggak mau.

Aku kembali ke tempat dudukku dan menghabiskan sisa makananku. Karena restoran hendak tutup, aku tergesa-gesa ke toilet. Mungkin toiletnya penuh dan aku harus masuk ke toilet yang lampunya mati, dengan berbekal cahaya dari ponsel aku meletakkan ponselku di atas tempat flush WC. Kabar buruknya adalah ketika aku selesai menuntaskan buang air kecilku, aku membuka pintu kamar mandi dan damn! Tidak bisa dibuka.

“Hellooo… help!! Is anybody here??!!” Aku berteriak sekuat tenaga. Memukul pintu toilet. Bahkan aku sudah berteriak berkali-kali. Aku melihat sekitar bahkan mataku hanya bisa melihat cahaya redup dari ponselku yang… sudah mati. Aku tercekat. Kemudian menggedor pintu berkali-kali dan berteriak.

Serangan panik terjadi padaku. Aku bahkan tidak bisa melihat cahaya sedikit pun. Napasku tiba-tiba sesak. Aku tidak tahu bahwa malam itu adalah malapetakaku yang pertama di Bangkok karena aku memberanikan diri untuk mendatangi tempat yang gelap.

 

 

****

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

virtandeepa

virtandeepa

keren aku suka

2021-07-09

1

Lheea Amelia

Lheea Amelia

semangat kakak💪💪💪

2021-04-20

0

Ticka Wibowo

Ticka Wibowo

Semangat Thor 😊 selalu menanti karyamu Thor 👍👍👍

2021-04-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!