5 - Bangkok. Malapetaka 3

(Bima)

 

Aku membuka bungkusan onigiri yang kubeli di dekat dorm. Aku memang tidak sempat sarapan. Kalau memang proposalku ini tidak diterima oleh Prof Ben, secepatnya aku akan balik ke Jakarta, karena menurutku program magang ini membuang waktuku saja. Aku memiliki proyek besar di dalam hidupku. Menjadi penulis novel terkenal. Bahkan hingga sekarang belum ada satu kata pun yang aku ketik untuk tulisanku. Aku mengunyah onigiriku sambil menghela napas panjang.

“Yayai, ke ruanganku sekarang.” perintah Prof Ben. Dia memakai setelan jas kerja rapih sekali. Wajahnya berseri-seri. Tampan tapi rasanya ingin aku lempar dengan laptop di depanku. Sebetulnya aku tidak menggubris suaranya. Hanya saja staf-staf yang berada di situ terlihat tertawa padaku.

“Sawaatdee, Khun Ben.” Beberapa staf juga ada yang menangkupkan kedua telapak tangannya, mengucapkan salam padanya. Terpaksa aku berdiri, menaruh onigiriku, dan menangkupkan kedua telapak tanganku sambil mengunyah.

Aku pikir karena Prof Ben menggunakan bahasa Indonesia, pastinya itu tertuju padaku.

“Did he talked to me before?” tanyaku pada staf wanita yang cantik duduk di depanku.

“I guess so. Do you know that he called you Yayai?”

Aku menggeleng.

“It’s mean grandma.” celetuk staf yang lainnya dan seluruh ruangan tergelak.

Aku melontarkan senyuman pasrahku. Mungkin wajahku saat itu memerah. Tidak tahu karena malu seluruh ruangan menertawaiku atau marah karena dipanggil nenek. Aku berjalan cepat menuju ruangan Prof Ben yang sebetulnya agak jauh, harus melewati lorong yang agak panjang, kemudian belokan, dan ruangannya berada di pojok sendiri. Sepi.

“Ada apa, Prof?” tanyaku ketika aku berdiri tepat di depannya. Dia sudah membuka jasnya dan tergantung di belakangnya. Dia melihat beberapa lembar pekerjaanku. Mungkin. Yang aku kerjakan ketika aku lembur.

“Kenapa kamu pilih bus cemetery di Soi Sayud? Sebelumnya kamu memilih kuburan?”

“Soalnya, ini kan trial pertama saya. Jadi saya pikir tidak ada salahnya saya membuat program yang biasa-biasa saja dahulu. Mencari beberapa bus atau kendaraan bekas kecelakaan dan dimana penumpangnya meninggal di dalam kendaraan tersebut.” jelasku.

“Kamu mau cek ke sana malam ini?” tanyanya.

Aku tercekat. Mengecek ke sana? Ogah banget! Malam lagi! Kalau dia suruh aku cek siang ini sih nggak ada masalah.

“Maaf, Prof. Kalau saya disuruh ke sana malam-malam, saya pikir…”

“Saya temani.” Dia memotong penolakanku seolah-olah tahu aku menolak perintahnya.

Aku membelalakkan mataku. Aku tidak mau ambil resiko. Bisa-bisa dia mem-bully-ku lagi. Aku kena malapetaka.

“Kamu riset saja dahulu, bus atau kendaraan yang mana yang bekas kecelakaan. Nanti kita datangi.”

“Harus malam-malam ya, Prof?”

“Saya dan kamu masih banyak pekerjaan hari ini. Setelah melakukan riset, kamu ke bagian tim produksi. Temui Mr. Thor.”

“Ya, baik, Prof.”

Aku membalikkan badan meninggalkannya. Duduk kembali di mejaku dan berhadapan serius dengan laptop. Cukup lama aku mencari informasi terkait perihal yang diminta oleh Prof Ben karena kendala bahasa. Aku harus merepotkan beberapa staf untuk berbicara kepada beberapa informanku di telepon. Setelah itu aku ke ruangan produksi dan bertemu Mr. Thor. Aku sempat menunggunya setengah jam karena dia sedang makan siang dan melihat Prof Ben di jam istirahat saat itu sedang memperhatikan siaran-siaran yang sedang running.

Sekembalinya Mr. Thor, aku diajari bagaimana menyusun sebuah konsep program sampai di hari syuting. Sebetulnya aku sudah mengalami ini. Magang di sebuah stasiun TV Swasta karena jurusanku. Mungkin karena tidak minatnya aku bekerja menyibukkan diri seperti ini, aku lebih suka berimajinasi dan menuangkan imajinasiku dalam bentuk tulisan. Mr. Thor memberiku beberapa konsep yang sama seperti programku dalam bentuk episode-episode yang sudah berjalan satu tahun ini dan sedang tahap produksi. Katanya programnya adalah program dengan rating tertinggi.

“If you want to see, maybe you can join me now.” ajak Mr. Thor.

“May I? Maybe I will ask Khun Ben before to…”

“Aaah, Khun Ben!” panggil Mr. Thor pada Prof Ben yang kebetulan sedang lewat dan mengobrol dengan beberapa staf. Prof Ben berhenti dan melihat ke arah kami lalu menghampiri kami. Mr. Thor mengatakan bahwa apakah aku bisa diajak pergi melihat jalannya syuting sebuah program atau tidak? Dan Mr. Thor juga menawarkan pada Prof Ben untuk mengecek syutingnya karena akhir-akhir ini ada kendala teknis dengan permasalahan alat yang harus diketahuinya. Malangnya, Prof Ben mengiyakan.

“Kamu sudah lakukan risetmu?” tanya Prof Ben saat kami menuju lokasi syuting. Dia menyetir mobilnya sendiri.

“Sudah.”

“Setelah dari lokasi syuting, kita ke sana karena lumayan jauh dan macet.” ujarnya lagi.

Semoga saja urusannya tidak sampai malam.

Ternyata, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku tidak tahu apa yang dia amati dan komplain ke seluruh kru syuting. Dia terlalu bekerja keras. Sedangkan aku masih menempel dengan Mr. Thor. Untungnya Mr. Thor orangnya santai sekali. Sepanjang hari ini, aku hanya mengamati, mencatat beberapa note yang kubuat sendiri di ponsel, dan mendokumentasikan.

Jujur, setiap hari aku merasa buat apa aku mengikuti saran Tasya ke Bangkok dan mengikuti program ini. Aku seperti nenek-nenek sesuai Prof Ben juluki padaku semenjak aku bekerja bersamanya. Waktu aku bercengkrama dengan Mr. Thor, Prof Ben memotong pembicaraan kami. Mengatakan bahwa aku dan dirinya harus segera ke tempat lain lagi. Ya, pastinya ke Soi Sayud. Hampir malam.

“Kita beli senter dulu.” ujar Prof Ben saat dia memasuki area market besar khusus alat-alat pertukangan. Aku mengikuti Prof Ben yang hanya memakai kemeja saja, dasinya dilepas, jas juga tidak dipakainya. Pokoknya tidak serapih tadi pagi aku melihatnya. Aku cukup mengikutinya berjalan menelusuri lorong-lorong sambil mencari lorong senter.

“Kamu pilih senter yang mana yang mau kamu pakai.” ujar Prof Ben padaku ketika kami berhenti di sebuah lorong dimana banyak sekali berbagai macam senter di rak-rak.

“Boleh?” Tidak sengaja aku tersenyum senang. Senyum yang baru aku berikan padanya hari ini. Bukan. Beberapa hari ini semenjak dia menjadi mentorku. Aku berjalan melihat-lihat senter, memegang, mengeceknya, dan melihat harganya. Sedangkan Prof Ben juga melihat-lihat senternya tapi hanya melihat saja. “Prof, seribu delapan puluh dua bath berapa rupiah?” tanyaku tiba-tiba padanya.

Prof Ben melihatku. Agak syok mungkin ditanyai kurs rupiah saat itu. Dia terlihat berpikir sejenak.

“Sekitar lima ratus ribu lebih sedikit.” jawabnya cepat. “Kenapa?”

“Wah mahal banget ya! Tapi ini senter yang paling bagus. Ada harga ada rupa.” celetukku sendiri.

“Ambil saja. Ambil dua.” suruhnya.

“Jangan, yang ini saja.” Aku mengambil senter dengan harga 30 bath dua senter.

“Apa masih ada yang mau dibeli?”

“Nggak ada.” Aku menggeleng. Aku hanya butuh senter.

 

 

(Ben)

 

Sewaktu Yayai berjalan ke arah kasir, dengan cepat aku mengambil dua senter mahal dan memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan karena senternya agak berat. Yayai masih mengantri, aku berdiri tepat di belakangnya. Ketika dia menaruh senter murahan itu, aku dengan cepat menyingkirkan senter itu dan menggantinya dengan senter pilihannya di awal.

“Loh, Prof. Ini kemahalan. Buat apa?”

“Saya mau membelinya.”

Yayai tidak berbicara lagi. Dia hanya heran dan mengangkat bahunya seperti mengatakan ‘Ya sudahlah’ padaku. Waktu aku menutup pintu mobil selesai membeli senter, aku mendengar suara bunyi perut Yayai. Dia terlihat malu dan menatap memelas padaku.

“Prof bolehkah kita makan dulu? Saya janji akan makan dengan cepat. Sepertinya Prof juga belum makan dari tadi siang.” tawarnya. Dia menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya padaku.

Benar, aku memang belum makan apa-apa semenjak siang. Dia memperhatikanku? Aku melajukan mobil dengan kencang ke restoran langgananku. Kebetulan sudah setengah jalan dengan tujuan kami, Soi Sayud. Di dalam restoran, Yayai melihat menu dengan seksama dan mengerutkan keningnya.

“Prof, bisakah diterjemahkan?” Dia memberikan buku menu padaku. Aku lupa dia tidak bisa membaca aksara Thai. Aku tersenyum padanya. Dia seperti kaget melihat senyumku untuk yang pertama kalinya. “Saya bisa makan apa saja. Kalau bisa porsi besar. Saya lapar sekali.” ujarnya lagi malu-malu sambil memegang perutnya. Akhirnya aku memesankannya dua porsi makanan untuknya dan untukku.

Ketika pesanan datang, dia benar-benar makan dengan cepat. Sedangkan aku, makan dengan tenang sambil melihat tab-ku. Melihat beberapa pekerjaan yang harus aku pantau.

“Prof, saya sudah selesai.” Dia mengelap mulutnya dengan serbet.

“Apa kamu mengunyah semua makananmu?”

“Kunyah, Prof.” Dia melongok ke arah mangkokku dan menggeleng cepat.

“Kalau mau jalan sekarang. Ayo.”

“Makanannya belum habis, punyanya Prof.” cegatnya sambil menunjuk ke arah mangkokku.

“Saya tidak terlalu lapar.” ujarku memberitahu.

“Tapi itu masih banyak sekali.” kagetnya.

Aku sudah memberikan aba-aba untuk berdiri dan akhirnya pergi meninggalkan meja makan. Yayai berlari cepat menyusulku ke kasir. Setelah membayar, aku berjalan ke parkiran dan menyalakan mesin mobil. Yayai mengikutiku dengan patuh. Di perjalanan, aku dan Yayai tidak terlalu banyak bicara. Dia banyak melihat keluar jendela. Entah mungkin aku malas memulai duluan atau dia yang sungkan padaku. Padahal rasa ingin tahuku besar sekali pada Yayai.

Kami memasuki area yang dinamakan kuburan bangkai bus. Dimana tempat ini selain bus yang tidak terpakai atau rusak, banyak juga kendaraan lainnya. Tempatnya memang gelap. Kami menelusuri jalanan dan melihat ada sebuah pos yang terbuat dari kontainer. Aku mematikan mesin mobil tapi tetap menyalakan lampu mobil agar terlihat terang. Yayai sudah siap sedia memegang kedua senter. Aku mengetuk pintu kontainer dan agak lama kami menunggu pintu terbuka. Sepertinya memang tidak ada orang.

“Apa kamu sudah menghubungi orang di sini?” tanyaku.

“Sudah. Ada staf tadi siang yang bantu saya bicara.” jawabnya.

Aku melihat ke sekitar dan benar-benar gelap gulita. Kalau begitu, kita jalan saja mengecek sekitar beberapa meter di sana. Aku menunjuk suasana gelap yang tidak terlihat. Anehnya, wajah Yayai pucat saat itu. Aku pikir karena dia ketakutan dan aku berjalan memimpin sambil memegang senterku sendiri.

“Apa idemu untuk ini?” Aku mulai bertanya terkait program yang dia tawarkan.

“Hmmm, mungkin… kita bisa mengundang orang-orang yang terkait dengan beberapa kecelakaan yang kendaraannya dibuang ke sini.” jawab Yayai. Napasnya tersengal-sengal.

“Kamu sudah riset mengenai kecelakaan-kecelakaan itu?”

“Hah, sudah Prof.”

“Kesan humor atau agar programmu tidak terkesan menakutkan bagiannya seperti apa?” Aku berjalan melihat-lihat. Tidak ada jawaban. Bahkan aku tidak mendengar suara tapak kaki Yayai di belakangku. Otomatis aku melihat ke belakang dan aku melihat Yayai tertunduk. Napasnya sesak. Senternya jatuh ke bawah. Aku segera berlari menghampirinya.

“Yayai? Kamu kenapa?” Aku memegang bahunya. Aku masih mendengar napasnya terputus-putus. Keringat keluar dari dahinya. Wajahnya pucat. Aku menjatuhkan senterku juga. Kemudian dia ambruk. Dengan cepat aku menangkap tubuhnya. Yayai menarik bajuku, seperti mau mati. Aku juga ikut panik. Aku meraih senter yang jatuh lalu mengarahkan senter ke arah kami. Agar aku bisa melihat Yayai dengan jelas.

Aku akhirnya membaringkan Yayai di tanah dan memulai napas buatan untuknya. Bibirku akhirnya bertemu dengan bibirnya. Entah mengapa, saat itu mulutnya manis sekali. Manis permen mint. Sepertinya dia mengambil permen yang ada di mobilku dan memakannya. Aku berkali-kali menghembuskan oksigen melalui mulutnya. Menunggunya bereaksi dan tenang. Kemudian melakukannya kembali, memberikan napas buatan. Aku tidak tahu sudah berapa kali memberinya napas buatan dan Yayai meraih senter di dekatnya. Dia menjauhkan tubuhku dengan tangannya. Napasnya kembali normal.

“Yayai, bagaimana? Ada apa?” tanyaku cemas. Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajahnya.

Dia terlihat malu. Bukan. Kesal. Wajahnya terlihat tidak suka padaku.

“Yayai?”

Dia berusaha berdiri. Dia mengabaikan tanganku yang hendak membantunya berdiri.

“Prof maaf. Saya tidak bisa melanjutkan jika Prof terus berjalan ke arah sana. Saya akan menunggu di mobil. Atau saya saja besok yang ke sini kembali. Besok pagi.” ujarnya ketus.

“Baik.”

Aku berjalan di belakangnya. Memperhatikannya. Siapa tahu dia terjatuh kembali. Saat kami kembali ke mobil, ada dua orang pria menunggu di depan mobil. Aku sempat mengobrol sebentar dengan mereka. Setelah selesai, aku masuk ke mobil dan mendapati Yayai sedang tertidur.

Sepanjang perjalanan pulang ke dorm, Yayai tidak bergeming sedikit pun. Dia masih saja tertidur pulas. Hingga aku memarkirkan mobilku di depan bangunan dorm, menunggunya terbangun. Lumayan lama aku menunggunya.

“Prof?” Dia terkejut. Dia melihat sekelilingnya dan tersadar bahwa dia sudah sampai di dorm. Kemudian dia melihat jam tangannya. “Maaf. Saya…”

“Istirahatlah.” ujarku. “Sampai ketemu besok. Tugasmu banyak besok. Saya sudah membantu menyusunkan jadwalnya di e-mail mu.”

Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dan mengeceknya.

“Saya akan baca. Terima kasih, Prof.”

Keesokan paginya,

Aku tidak melihat Yayai sama sekali. Biasanya ketika aku datang, dia sudah duduk di mejanya sambil memakan sesuatu atau bertopang dagu memandang laptopnya. Saat aku duduk di kursiku, di ruangan aku mendapatkan e-mail masuk dari Yayai. Dia melampirkan banyak sekali idenya saat itu. Dia mengerjakan tugasnya dengan baik. Tapi ada yang aneh, hingga siang menjelang aku benar-benar tidak melihatnya masuk kantor. Baru aku sadari, dia tidak pernah datang hingga sore menjelang.

“Prof, mohon maaf. Saya teman satu kamarnya Bima, tadi siang Bima sudah check out dari dorm. Mungkin mau balik ke Jakarta.” Seorang wanita berwajah oriental dan berambut panjang menghampiriku, ketika aku berada di ruang produksi.

“Balik ke Jakarta? Kenapa?” Aku mengerutkan dahi.

“Sepertinya ada urusan mendadak, Prof.”

Aku mencermati alasan wanita ini mengenai Yayai. Seharusnya Yayai memberitahukan padaku perihal ini.

“Oke, terima kasih. Apa dia sudah pulang ke Jakarta atau…kamu tahu bukti perjalanan tiketnya? Karena saya tidak ingin ada sesuatu dari kandidat oleh program yang saya adakan.” kataku ketus. Wanita berambut panjang ini sepertinya bingung.

“Mbak Bima cuma chat saya jam dua belas siang tadi. Dia cuma bilang sudah check out dari dorm karena ada urusan mendadak di Jakarta. Berarti… sepertinya hari ini langsung balik ke Jakarta.” jelas Claudia.

Aku mengangguk.

“Baik terima kasih infonya.”

Aku meninggalkan kandidat wanita oriental berambut panjang ini di ruang produksi. Dia sepertinya sedang berpikir, apakah teman satu kamarnya akan kena masalah atau tidak? Karena wajahku menyiratkan rasa tidak senang mendengar kabar ini. Memang. Aku tidak suka. Aku mengambil ponsel dan menghubungi Levi untuk mencari tahu keberadaan Yayai saat ini.

 

 

***

 

 

Terpopuler

Comments

heni suhartini

heni suhartini

kenapa manggilnya yayai??

2021-06-19

0

Lheea Amelia

Lheea Amelia

lanjut

2021-04-23

0

Ticka Wibowo

Ticka Wibowo

yang ditunggu² akhirnya up juga🤗🤗
terimakasih kak😊
tetep smgtt💪💪💪

2021-04-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!