Pagi buta Gibran sudah siap meluncur kerumah Aida, bukan untuk melepas rindu dan menengok putrinya Aida, namun lebih dari itu Ia ingin melepaskan semua belenggu permainan Aida selama ini.
Tampaknya Gibran sangat emosi kepada Aida.
Tok..tok..tok..
Gibran mengetuk pintu rumah Aida, tampak tak sabar mengutarakan maksudnya pada Aida.
Tanpa mengucapkan salam, Gibran hanya mengetuk pintu rumah orang tua Aida dengan tenaga yang cukup kasar membuat suara ketukannya sedikit lebih nyaring dari biasanya.
"Waalaikumussalam. Nak Gibran!"
Wanita dengan keriput diwajahnya itu membukakan pintu dan langsung melihat sosok menantu tampan nan gagah bernama Gibran ada di depan pintu rumahnya.
"Mmm, Assalamualaikum, Bu."
Gibran menggaruk tengkuk leher belakangnya, nampak seperti canggung karena ia terbawa emosi sampai lupa mengucapkan salam.
"Aida ada, Bu?"
Gibran masih mematung dihadapan pintu.
"Oh ada, mari masuk Nak Gibran, silahkan duduk, ibu ambilin minum dulu."
Ibu Darti bertolak ke dapur hendak mengambilkan minum untuk menantunya tersebut.
Setelah keluar dari kamar mandi yang terletak di dapur, beberapa saat kemudian Aida melihat Gibran yang sedang duduk di ruang tamu.
"Mas Gibran ... Kok gak ngabarin aku sih kalau mau pulang hari ini!"
Tampak raut muka yang berseri dan Aida langsung menghampiri Gibran, mencoba menempelkan tubuhnya dengan Gibran di sofa, tetapi Gibran menepis rangkulan dari Aida.
"Maaf Aida, silahkan duduk disana."
Gibran menunjuk pada sofa single yang ada di depannya yang terhalang oleh meja kaca minimalis.
"Ada apa, sih, Mas, kok mukanya tegang banget, kangen ya sama aku?"
Aida nampak tak melihat gelagat Gibran yang sudah mengetahui kebohongannya dan akan menceraikannya.
"Ini Nak Gibran, diminum teh nya."
Ibu Darti menaruh cangkir berisi teh hangat di atas meja kaca yang beralaskan taplak meja warna putih gading, kemudian mengambil posisi duduk dekat Aida.
"Hhm, Bu maaf, langsung saja. Saya mau bicara sesuatu sama Ibu dan juga Aida."
Suasana semakin menegangkan.
Gibran mengusap pahanya sendiri menghilangkan kegugupannya.
"Ada apa, ya, Nak, kelihatannya serius sekali?"
Raut wajah Ibu Aida seperti menghawatirkan sesuatu.
"Iya, Mas, kok serius banget sih? Emang ada apa?"
Aida sudah tak sabar mendengar berita dari Gibran.
"Aida, saya mau tanya sama kamu, tolong jawab dengan jujur. Apakah bayi yang kamu lahirkan itu anak dari pak Bimo?"
Deg...
Aida seolah mendapat tamparan yang sangat keras dan ia mulai panas dingin dengan perkataan Gibran.
Mata Gibran menatap tajam ke arah Aida, dan Ibu Aida terlihat sangat terkejut, bibirnya bergetar dengan mata yang mulai berkaca-kaca dan pandangannya beralih pada anak perempuannya itu. Aida hanya menunduk, mungkin sedang berpikir mencari kebohongan untuk masalah ini.
"Kamu ngomong apa, sih, Mas?"
Aida langsung berdiri dari tempat duduknya dan hendak meninggalkan Gibran dan ibunya, namun tangan Aida tertahan oleh tangan ibunya yang sudah lemah dan mulai terlihat jelas urat pada kulit tipisnya yang sudah tua.
"Aida, kamu mau kemana, Nak? lebih baik kamu selesaikan ini, dan tolong jawablah dengan jujur pertanyaan suamimu."
Wajah tua itu terlihat sangat memelas dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Ini anak kamu, Mas. Kamu 'kan yang melakukan itu saat kita diapartemenku!"
Suara Aida mulai tinggi.
"Aku tidak merasa berbuat apa-apa, Aida, karena aku yakin kau sudah memasukkan obat tidur pada minumanku saat itu, sampai aku tak sadarkan diri ketika kau melucuti pakaianku!"
Gibran mulai terpancing emosi, mengangkat telunjuknya di depan wajah Aida.
"Aida aku tidak bodoh, Lelaki tidak akan bisa melakukannya saat ia tertidur pulas karena obat tidur. Kau hanya berdusta, aku ingat tanggal kita saat tidur bareng, dan itu juga tanggal dimana istriku Kayla meninggal karena ulahmu."
Gibran lebih menekankan nada bicaranya, ibu Aida tak kuasa menahan tangis dan hanya terduduk lemas sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan lemahnya.
"Dan aku menikahimu saat usia kandunganmu sudah menginjak 3 bulan, padahal hari itu baru satu minggu setelah kejadian di apartemenmu, baru genap enam bulan setelah kejadian itu, tapi kau sudah melahirkan. Aku yakin Bimo tak mau bertanggung jawab, dan kau menjadikanku kambing hitammu. Jawab, Aida!"
Gibran berteriak diakhir kalimat, dan menggoyang bahu Aida dengan kasar. Ibu Aida sangat shock mendengar semua perkataan Gibran yang terhenti oleh tangisan bayi.
Gibran mencoba menenangkan diri dengan kembali mengambil posisi duduk, dan Aida berlari ke kamar tidurnya tanpa menangis, tapi memendam kesal dan dendam yang amat dalam.
"Bu maafkan saya."
Gibran menundukkan kepalanya.
Tak sanggup melihat seorang wanita yang sudah tua dan sudah tak bersuami itu menangis menahan sesak di dadanya.
Ibu Darti hanya menangis sambil menutup mukanya dengan kedua tangan yang mulai rapuh dan mencoba menghentikan tangisannya dengan mengusapkan jarinya pada wajahnya yang basah.
"Bagaimanapun, kebenaran harus diungkapkan. Ibu harus menerima kenyataan. Jika memang Aida bersalah, ibu tidak akan membelanya. Tapi tolong jangan benci Aida, mungkin Ibu yang salah mendidiknya."
Wanita tua itu mencoba untuk tidak men-jugde siapapun dalam masalah ini.
Aida memang dari kelas 5 SD sudah mendapat kehidupan yang keras.
Ayahnya yang sering mabuk minuman keras tak jarang memperlakukan istri dan anaknya dengan kasar.
Ibu Darti hanya seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya menjaga warung sembako kecil di rumahnya.
Ibu Darti sering menangis ketika uang di laci dari pendapatannya di warung, sering di ambil paksa oleh suaminya untuk membeli minuman keras.
Bahkan saat Ayah Aida baru menerima upah dari kerjanya, kadang ia tidak pulang dan menghamburkannya untuk menyewa PSK.
Ibu Darti sudah tak kuat dengan kelakuan suaminya, akhirnya ia meminta untuk bercerai dari suaminya, namun suaminya tak mengabulkan permintaan Darti, sampai akhirnya suami Darti meninggal terkena penyakit komplikasi di usia Aida yang masih kelas 2 SMP.
Berangkat dari keluarga yang tidak harmonis, Aida mewarisi sifat nakal Ayahnya.
Beranjak SMA ia sering gonta-ganti pacar bahkan tak jarang lelaki yang dipacarinya itu adalah suami orang yang penting banyak duitnya. Dan di usia ini pula Aida sudah mengenal yang namanya alat kontrasepsi untuk laki-laki.
Aida hanya berpikir pendek, Ia tak mau hidupnya sengsara seperti ibunya.
Ia hanya ingin bersenang-senang tanpa memikirkan apapun yang akan terjadi ke depannya, yang penting ia senang saat ini.
"Nak Gibran, maafkan Aida, bicaralah baik-baik padanya. Ibu akan menerima keputusan Nak Gibran jika ingin menceraikannya." Gibran mengangguk.
Pengalaman dan perjalanan yang membuat wanita tua itu terlihat semakin matang dalam berpikir tanpa emosi yang meledak-ledak seperti Gibran dan Aida saat ini.
Gibran bergegas menuju kamar tidur Aida dan anaknya, di dapati Aida yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil menyusui anaknya dengan susu formula.
Tanpa duduk di sebelah Aida yang sedang duduk di atas tempat tidurnya, Gibran hanya berdiri dipinggiran ranjang.
"Aida, maafkan aku, aku harus menceraikanmu saat ini juga. Kau bebas dengan siapapun setelah ini."
Gibran mengeluarkan amplop berisi uang yang sudah disiapkannya dan meletakkannya di dekat bayi Aida.
"Ini ada sedikit untuk kebutuhan bayimu saat kau belum siap untuk kembali bekerja."
Gibran langsung pergi meninggalkan tempat tidur tersebut.
'Awas kau Gibran, aku akan membuatmu tunduk padaku.'
Aida mengepalkan tangannya seolah tak terima dengan semua keputusan Gibran.
"Hei bray, Lo abis ngapain pulkam lama banget?"
Gery mengambil tempat duduk di dekat Gibran yang sedang menyeruput kopinya di meja kantin.
"Ada urusan sedikit."
Gibran hanya fokus pada cairan hitam yang berampas pada cangkirnya.
"Kirain, Lu udah nyerah mau nurutin bokap Lu buat jadi PNS kayak kaka Lo." Gery meledek sahabatnya itu yang memang selalu diminta Ayahnya untuk mengikuti jejak profesi orang tuanya.
"Gue lebih seneng mandiri, kerja disini." Wajah datar Gibran, tak mengurangi ketampanannya.
"Lagian jadi PNS gak bebas ya Bray, salah dikit aja masuk berita, belum lagi kalo berurusan sama KPK, ribet!" Gery seolah curhat, dimana orang tua Gery juga adalah seorang Pegawai Pemerintahan di kotanya, sama seperti orang tua Gibran, orang tua mereka adalah teman se-profesi.
Gery dan Gibran adalah putra dari para pejabat di daerahnya.
Rumah mereka satu komplek di kawasan yang cukup elit.
Gibran memang lebih tertarik pada mesin dan otomotif dari pada berkantor di pemerintahan.
Sedangkan Gery bukan karena hal yang sama dengan Gibran, melainkan ia hanya tak mau setiap gerak-geriknya di awasi oleh ayahnya, jika sampai ketahuan *Badboy*-nya, habislah Gery oleh Ayahnya.
Tak lama kemudian, Nunik hendak menghampiri Gery yang sedang duduk bersama Gibran.
Seperti memberi kode pada Nunik, Gery mengedipkan matanya berkali-kali pada Nunik untuk mengikuti arah bola matanya.
Seolah mengerti isyarat yang dilakukan oleh Gery, langsung saja Nunik mengubah arah menuju meja kantin yang berada di belakang Gibran.
Melihat gelagat Gery yang berbeda, Gibran mulai curiga pada sahabatnya tersebut.
Gibran akan mengikuti Gery setelah bel pabrik berbunyi, menandakan jam kerja sudah habis.
"Lo mau pulang bareng gak?"
Gibran menawarkan diri pada Gery.
"Lo duluan aja, gue kan bawa motor sendiri. Lagian gue masih ada perlu sedikit, mau nganter Hadi beli alat pancing."
Gery menolak ajakan Gibran.
Tak percaya begitu saja pada sahabat kecilnya itu, Gibran menguntit Gery dari jarak yang cukup jauh namun masih terjangkau oleh indra penglihatannya.
Benar saja, Gery mampir ke kost-nya Nunik.
Gibran yang berpura-pura sedang membeli gorengan dekat tempat kost Nunik dan memakai masker juga topi, masih mengamati Gery sampai ia mendapati Gery masuk ke kontrakan Nunik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments