Aku berdiri di sampingnya dan melakukan hal yang sama. Aku pandang matahari yang hampir tenggelam, sungai yang berada di bawah kita lebih menarik perhatian Radith di banding senja yang indah di depannya. Aku ikut terdiam, menatapnya dengan cemas. Biasanya Radith tidak seperti itu, kenapa hari ini dia lebih lesu? Ke mana Radith yang biasanya tidak bisa diam?
“La?” tanya Radith memecahkan suasana.
Aku memfokuskan pandanganku kepadanya. “Kenapa?” jawabku perlahan.
Radith terdiam sejenak. Melirikku sekejap lalu terfokus kembali pada sungai. Perasaanku begitu aneh, tidak biasanya Radith bertindak seperti ini.
“Begini ya rasanya patah hati?” tanya Radith lesu.
Aku mengerutkan dahiku, “Maksudmu?”
“Maksudku, perasaan ku sakit, Qyla.”
“Aku nggak ngerti, Dit.”
“Susah ya jelasin sesuatu selain makanan ke kamu.”
Dia mengelus ujung kepalaku lembut, dengan senyuman yang tidak bisa aku artikan, dia mendekatkan wajahnya menuju wajahku. Kecupan lembut terasa di kedua pipiku, jantungku berdebar, Radith menjatuhkan kepalanya di bahu kanan ku. Tanganku terulur mengusap lembut kepalanya.
“Coklat yang selalu aku nantikan tiba-tiba diambil orang lain, padahal aku sangat menyukai coklat itu. Menyakitkan bukan?”
Aku mengusap kepalanya, “Pasti sangat sakit ya, Dit?”
“Apanya?”
“Perasaanmu.”
Dia memegang tanganku yang sedang mengusap kepalanya, perlahan dia menganggukkan kepalanya di bahuku. Pasti sakit bukan makanan kesukaan kalian diambil begitu saja, apa aku harus membelikan coklat untuk Radith agar dirinya tidak lesu seperti ini?
“Aku belikan coklat ya, Dit?”
“Untuk apa?” tanya Radith kebingungan.
“Untuk menggantikkan coklat yang diambil orang lain.”
Radith menjauhkan kepalanya dan menatapku dengan senyumannya lalu tertawa keras, apa aku salah? Dia bilang coklatnya diambil orang. Makanan favorit Radith diambil orang, lho. Wajar kan kalau aku membelikannya untuk mengganti coklat dia yang hilang?
“Nggak mau, coklatnya cuman ada satu di dunia. Jadi aku nggak mau yang lain.”
Aku mengerutkan dahiku, “Kalau begitu, kita cari orang yang mengambil coklatmu!”
“Sudah ada di depanku.”
Aku bingung dengan yang Radith ucapkan. Tapi, kalau memang sudah ada di depan mata. Maka, “Ambil lah, Dit.”
“Sudah bukan milikku, La. Sejak awal juga memang bukan milikku.”
“Terus punya siapa?”
“Mama sama Papa.”
“Kok punya Mama sama Papa sih, Dit? Aku nggak tahu mereka punya coklat.”
Radith mengelus puncak kepalaku dan menarik tanganku, kembali ke motornya yang tengah terparkir di pinggir jalan. Dia menyuruhku untuk menaiki motornya dan mengantarku pulang, aku terus bertanya soal coklat yang tadi Radith maksud. Tapi, dia selalu menyuruhku untuk melupakan perkataannya, mana bisa aku melupakan makanan yang sudah menjadi favorit kita berdua? Apalagi coklat itu diambil oleh orang lain, kalau aku jadi Radith sudah pasti aku merebutnya kembali dengan paksa. Aku yang menemukannya terlebih dulu, kenapa harus orang lain yang menjadi pemiliknya!
...***...
Aku turun dari motor Radith, dia memberikan tasku. Dan aku mengajaknya sekali lagi untuk mencari siapa yang mengambil coklatnya, dia tersenyum dan memelukku erat. Aku membalas pelukannya dan mengusap punggungnya lembut, pasti sangat tersiksa kehilangan coklat itu. Aku bisa merasakan apa yang dia rasakan, jangan sampai benci sama coklat ya, Dit. Nanti kita nggak bisa berburu coklat lagi.
Tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahuku, tangan kirinya turun memegang tangan kananku, lalu tangan kanannya mengusap pipiku lembut. Wajahnya semakin mendekat, kali ini detak jantungku berdebar dengan sangat kencang. Aku yakin Radith juga pasti mendengar degupan jantungku.
Ciuman lembut terasa di bibirku. Apa yang Radith lakukan? Bukannya hal seperti ini hanya di lakukan oleh sepasang kekasih yang sudah menikah? Kenapa Radith memberikan aku ciuman seperti ini? Aku akan menikah, tidak masalah jika nanti bersama Radith. Tapi, bukan Radith yang akan aku nikahi, ini salah. Kita tidak boleh melakukan hal seperti ini, tanganku meremas kemeja seragam Radith, tangannya yang berada di pipiku kini sudah berada di leherku.
Dia membawaku kedunia yang berbeda, aku terbuai. Kenapa aku diam? Ini salah, benar-benar salah. Tapi, ******* itu sangat lembut, diriku tidak selaras dengan apa yang aku pikirkan. Apa tidak masalah jika Radith memberikan ciuman yang seharusnya dia berikan kepada orang yang dia sayang kepadaku?
Tapi, tidak masalah bukan? Aku menyayangi Radith dan akupun yakin dia menyayangiku, tapi untuk melakukan hal semacam ini, aku ragu. Untuk apa dia melakukan hal ini? Tapi, semakin lama semakin aku terjatuh dengan buaian Radith, dia menginginkannya. Bukan karena nafsu, tapi karena hal lain. Apa itu?
Tidak. Ini salah. Bunda bilang aku akan segera menikah, berarti memang tidak boleh kan? Astaga aku pusing, kepalaku sangat sakit. Aku memejamkan mataku menikmati *******-******* dari Radith, persetan dengan semua pertanyaan yang ada di kepalaku.
Dia melepaskan bibirnya di bibirku, aku terdiam menatapnya. Dia mengecup bibirku sekali lagi, lalu kedua pipiku. Aku yakin pipiku sudah merona, ada apa dengan sikap manisnya Radith? Jantungku berdetak tidak karuan, diamlah aku sedang menahan malu disini. Radith tertawa melihatku terdiam dan memelukku sekilas.
“Terima kasih, Qyla.”
“Kenapa?”
“Karena aku sudah mencicipi coklatnya, rasanya sungguh candu. Andai saja coklatnya bisa menjadi milikku.”
“Kapan kamu makan coklatnya?”
“Kamu coklatnya, aku pulang dulu ya? Maaf nggak bisa mampir, sudah kangen Bunda. Titip salam sama Mama, Papa ya? Jangan lupa bangun pagi, besok kamu ada janji sama Rika. Sekalian aku anter, nggak boleh buat aku nunggu lama.”
“Wah, Adit nyebelin banget, ya!” sahutku kesal.
“Adit-nya Qyla pasti nyebelin sampe kapanpun.”
“Sana pulang.”
“Mau, kok.”
“Terus ngapain masih disini?”
“Ini.”
Radith mengangkat tangannya yang sedang aku pegang, pantas saja dia tidak bisa pulang. Bodoh sekali kamu Qyla, sampai-sampai lupa melepaskan tangan Radith. Dia melambaikan tangannya dan melesat pergi, aku memasuki rumahku. Senyuman tercetak di wajahku, entah kenapa aku bahagia sekali. Radith memang sahabat terbaikku, senang rasanya punya Radith di sisiku.
Aku menyandarkan badanku di pintu masuk, tanganku memegang perlahan bibir yang tadi Radith *****. Sedikit bengkak dan banyak bahagia yang aku rasakan. Kenapa rasanya aku ingin teriak sekencang-kencangnya kalau hari ini aku sedang bahagia? Aku terduduk di depan pintu masuk, menenggelamkan wajahku di kedua lututku, senyum bahagia tidak pudar sedikitpun. Radith memang sangat-sangat menyebalkan.
Aku kembali berdiri dan mengucapkan salam, dengan cepat aku berlari dan mencari Mama. Papa sedang di kota lain, aku harap Papa setidaknya mengucapkan selamat di hari ulang tahunku. Aku mencari Mama di dapur, tidak ada siapapun. Lampu rumahpun semuanya padam, apa ada pemadaman listrik? Aku kembali mencari Mama di halaman belakang, tidak ada juga. Ke mana Mama pergi? Ini sudah mau malam, kenapa Mama belum pulang? Dan lagi kalau Mama keluar, dia akan bertemu siapa? Di rumah Bunda aku tidak melihat Mama sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Sleepless
Hey heyyyy!
2021-04-12
0