Tujuh belas tahun. Masa-masa di mana seorang manusia memasuki fase dewasa, di mana seorang manusia mendapat hak milik dan memiliki hak untuk berpendapat. Banyak yang bilang jika umur manusia sudah memasuki angka tujuh belas itu tandanya mereka sudah ‘Legal’. Entah itu kependudukkan atau status. Tapi, yang aku harapkan dari angka ini adalah kehidupanku yang sama seperti beberapa tahun kebelakang, aku tidak ingin hal yang aneh-aneh. Cukup mengikuti alur yang sudah diberikan sejak awal dalam ceritaku.
“QILA!” seru seorang lelaki yang sangat familiar.
Aku menutup buku harianku, berjalan menuju si pemilik suara. Dengan cengiran khasnya dia menerjangku, memeluk dengan erat. Hanya tawaan yang keluar dari bibirnya, aku diam. Tak membalas tawaan juga peluknya. Setelah dia merasa cukup dengan pelukan yang dia berikan, dia segera merangkulku.
“Cie, Qila-ku sudah legal,” godanya.
Aku melepas rangkulannya dan kembali duduk di bangku.
“Gak usah aneh-aneh deh,” balasku dengan ketus.
“Kamu kesal karena aku yang paling terakhir memberi ucapan selamat?” tanyanya disertai dengan godaan.
“Siapa yang kesal?!” jawabku dengan meninggikan suara.
“Gadis cantik di depanku.”
“Matamu rabun, Dit!” seruku kesal.
Dia menatapku dengan intens, menunduk dan menghampiri tempatku duduk. Meruntuhkan jarak di antara kita. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Dia tersenyum, kening kita sudah saling bersentuhan. Senyumnya semakin lebar, lalu pipinya pun merona. Aku bisa merasakan degupan jantung Radith yang kian detik, kian terdengar lebih kencang. Tiba-tiba dia memukul meja dengan keras membuatku mendorong tubuhnya dan menetralkan jantungku yang berteriak karna pukulan meja tadi.
Dia menggaruk lehernya dengan tawa hambar, pipinya masih merona, tapi, tak semerona tadi. Mencoba untuk mendekatiku lagi, dia duduk di bangku depan mejaku. Berbalik kearahku tentunya. Tangannya ia gunakan untuk menangkup wajahnya, masih saja tersenyum kearahku. Jujur. Aku bingung dengan kelakuannya, dia pasti ingin menyampaikan sesuatu yang akan membuatku kesal. Sudah terbaca jelas dari wajahnya.
“Wah, sepertinya aku memang rabun. Kamu hebat, Qyla,” ucapnya takjub.
Aku memutar bola mataku malas, “Periksakan matamu ke dokter, Dit. Bukan tersenyum tidak jelas seperti itu.”
“Gak mau tanya alasannya?”
“Apa?” tanyaku datar.
“Soalnya kamu lebih cantik dari dekat.”
Tangannya menggapai wajahku, menyeka keringat yang keluar dari pelipisku lalu mencubit hidungku gemas. Dengan cepat aku menarik tangannya, membuat lelaki di depanku ini menyentuhkan keningnya di bahuku. Tanganku dengan sigap langsung mencubit pinggangnya kesal. Senyum kemenangan tercetak di wajahku, dia berusaha melepaskan tangannya dan menahan tanganku agar tidak mencubitnya lebih lama.
“Cantik tapi tangannya nakal, suka deh.”
Tangannya kembali mencubit hidungku, kali ini lebih keras. Aku mengerang kesal, dan mencoba mencubitnya. Tapi, tangannya sudah mengunci tanganku dan mengambil tasku lalu berlari keluar kelas, lagi-lagi tasnya dia tinggalkan. Aku merapikan alat tulisku dan mengambil buku harian yang tadi aku tulis, kumasukkan buku dan alat tulis milikku kedalam tas Radith. Hanya dua buku tulis yang ada di dalam tas dia, aku hanya menggelengkan kepalaku.
Harus berapa kali lagi aku beritahu dia untuk lebih rajin membawa buku paket dan pelajaran lainnya? Toh, tidak akan seberat membawa kantung beras. Tapi harus aku akui kalau dia memang lebih pintar daripada aku, membayangkan senyum manis yang ia tunjukkan ketika dia mendapat peringkat pertama saja membuatku kesal. Tidak sebanding dengan yang aku lakukan saat ujian tiba.
Apanya yang belajar bersama ketika dia hanya memandangi wajahku. Memangnya semua materi pelajaran tercetak di wajahku apa?!
“Sedang memikirkan apa, Qila?” tanya Radith sesaat sesudah aku keluar dari ruang kelas.
“Kamu,” jawabku dingin.
Radith terkekeh, “Lho? Tumben banget.”
“Buku paketnya mana?”
“Aku duduk berdua, Qyla. Untuk apa aku bawa buku kalau teman sebangku ku bawa?”
“Tetap saja, Dit. Kamu itu harus ra—”
“Wah, Qyla cocok kalau pakai tasku. Lebih cool, ya, gak?”
“Kebiasaan.”
Aku memaksakan wajah kesalku, tetapi ekspresi Radith yang kikuk membuatku tertawa. Dia ikut tertawa dan kembali merangkulku, tidak lupa juga dengan cubitan di hidungku. Aku mengembungkan pipiku, kesal dengan kebiasaan Radith yang satu ini. Selalu saja hidungku yang menjadi sasaran dari tangan jahilnya itu.
Dengan cepat aku mengejar Radith yang berlari begitu saja setelah menertawaiku, larinya cepat sekali, tak sempat aku menyusulnya. Dengan kesal aku menghentakkan kakiku dan berjalan menuju gerbang. Pak Dadang seorang satpam sekolahku, menyapaku lembut. Aku menghampirinya dan ikut duduk di Posnya. Sesekali bercanda gurau dengan Bapak itu, banyak sekali yang aku bicarakan dengannya. Biasanya selalu diakhiri dengan cerita seram di sekolahku, tak pernah bosan aku mendengar ceritanya sampai Radith menyapa Pak Dadang dengan sapaan santai seperti teman sebaya.
Aku pamit dan menghampiri Radith yang sudah siap dengan motornya. Kuulurkan tanganku, meminta tasku kembali. Dia menatapku dengan heran, lalu memberikan helm kepadaku.
“Cie nungguin.”
“Tasnya, Radith,” kataku dingin.
Radith mencolek daguku, “Dingin amat, Neng.”
“Cepet! Aku mau pulang.”
“Yaudah ini pake, masa udah cantik gini terus ketilang.”
Aku menyilangkan tanganku di depan dada dan menatapnya dingin. “Di Angkot gak perlu helm, Radith.”
“Gak mau pulang sama aku?”
“Buat apa?” tanyaku acuh.
“Bunda kangen.”
Dia memasang helm yang tadi dia pegang di kepalaku, aku menatapnya sebal lalu menaiki motornya. Aku masih kesal dengan Radith, seenaknya mencubit hidungku. Tapi, Radith bilang, Bunda kangen. Aku harus menemuinya bukan?
Sudah lama juga aku tidak berkunjung ke rumah Radith karena ujian tengah semester yang baru saja kita lewati minggu lalu. Radiht menyalakan mesin motornya dan aku bersiap untuk naik. Kulambaikan tanganku kepada Pak Dadang dan berlalu meninggalkan sekolah.
Di tengah lampu merah, Radith masih membawa tasku di punggungnya, saat aku membuka tasku berusaha untuk menyimpan buku yang tadi aku titipkan di tasnya Radith. Tiba-tiba dia melepas tasku dan memindahkannya kedepan lalu menutup kembali resleting tasku, aku mencubit pinggangnya. Dia hanya tertawa dan mengatakan nanti saja di kembalikannya, lagipula dirinya tidak berniat untuk membakar buku harianku, katanya. Menyebalkan memang. Kalau bukan Bunda yang ingin menemuiku, sudah kutinggalkan dia lalu berpaling kepada Babang Angkot.
“Kenapa, Qyla?” Dia melirikku melalui kaca spion, aku mengejeknya dengan ekspresi sejelek mungkin. Dia malah tertawa dan menjalankan motornya dengan kencang saat lampu lalu lintas sudah berubah menjadi warna hijau, mau tak mau aku merangkul lehernya dan sedikit mencekik Radith agar menurunkan kecepatan motornya.
“Lepas, Qyla. Sakit lho ini.” Radith menepuk tanganku berkali-kali sembari terbatuk. Saat motornya sudah mencapai depan rumahnya, aku makin mengeratkan rangkulan di lehernya membuat dia kembali terbatuk dan mencubit tanganku. Nyeri. Cubitan kecil itu sangat mematikan, aku melepas rangkulanku dan turun dari motornya, melepaskan helm dan melemparkannya kepada Radith. Ternyata yang rindu bukan hanya Bunda, tapi aku juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Sleepless
Setuju! Hahaha kadang aku disekolah juga suka cerita hal hal serem sama penjaga sekolah
2021-04-12
0