Aku langkahkan kakiku menuju kamar, gelap. Kunyalakan Flashlight di ponselku, aku terlonjak kaget melihat dua pasang kaki, jantungku berdetak kencang sekali, tubuhku gemetar. Dan lampu kamarku menyala, aku menatap kaget kedua orang di depanku. Mama dan Papa. Aku memeluk Papa dan melirik Mama kesal, pasti ini kerjaan Mama. Untung saja aku tidak punya riwayat penyakit jantung, Mama sangat menyebalkan seperti Radith!
“Mama jahat, kenapa kagetin Qyla?”
“Habisnya lucu kalau Mama isengin kamu.”
“Pa, lihat deh Mama nyebelin banget. Kok bisa-bisanya sih Papa menikah sama perempuan menyebalkan macam Mama?”
Aku tertawa kencang saat Papa bilang kalau dia juga menyesal telah menikah dengan Mama, ekspresi marah Mama sangat lucu. Aku tahu Papa bercanda dan aku juga yakin Mama juga tahu kalau kita sedang bercanda, tapi sepertinya Mama memang kesal. Kuhampiri Mama yang menatapku tajam, kupeluk dirinya dan meminta maaf karena aku telah menjahilinya.
Tangan Mama mendorong badanku perlahan, dia mengambil kotak kecil yang berada di kasurku. Aku menatap kotak itu, Mama memberikannya kepadaku. Aku membukanya, isinya kalung dengan huruf A. Hadiah untukku? Hadiah ulang tahunku? Lalu, kuenya mana? Kenapa aku tidak melihat kue di sekitar kamarku? Bahkan di dapur pun tidak ada apa-apa.
Papa menghampiriku dan tersenyum, mengusap lembut kepalaku, tangannya yang hangat selalu membuatku nyaman.
“Nggak ada kue di sini, Qyla.”
Aku terkejut dengan ucapan Papa, “Kok Papa tahu aku nyari kue?”
“Iya dong, Papa kan peramal.”
“Ngaco deh, Pa. Ada-ada aja, eh kado aku mana, Pa?”
Cengiran yang aku berikan dihadiahi sentilan dari Mama, padahal aku bertanya pada Papa, bukan Mama. Perempuan itu memang menyebalkan, tapi aku sayang.
“Itu yang kamu pegang,” ucap Papa.
“Ini kan dari Mama, Pa.”
“Itu dari Papa, kok.”
“Terus kado Qyla dari Mama mana?”
“Ada dikulkas, cari sana.”
“Kok Papa tahu?”
“Coba dulu kesana, kamu pasti tahu kenapa Papa tahu hadiah kamu ada di sana.”
Aku melihat Mama mencubit tangan Papa, astaga gemas sekali melihat mereka. Aku sedikit berlari menuju dapur untuk melihat apa yang Mama hadiahi untukku, ada sebuah note di kulkas, dengan tulisan besar kalau di sini ada kado untukku, jadi siapapun selain aku dilarang membuka kulkas, pantas saja Papa tahu kenapa kadoku ada di sini. Mama memang unik, entah beruntung atau tidak aku memiliki Ibu seperti Mama.
Pintu kulkas terbuka, sebuah coklat jatuh dari kotak freezer. Aku mengambilnya dan melirik kedalam freezer, sepertinya aku memang sangat beruntung mempunyai Ibu seperti Mama, dia paling tahu kalau aku suka coklat. Banyak sekali coklat di dalam sini dengan sebuah catatan berisikan ucapan selamat untukku. Ah, Mama memang paling mengerti diriku.
Aku kembali kekamar untuk mencari Mama, tapi tidak ada. Sedang di mana Mama sekarang? Apa aku terlalu lama mengagumi coklatku hingga aku tidak sadar mereka pergi? Aku mencari keruang tengah, tidak ada siapapun di sana. Berarti mereka sedang berada di halaman belakang, aku berlari dan ternyata benar, mereka sedang berada di sana. Aku memeluk Mama dari belakang dan mencium pipinya berkali-kali.
“Makasih, Ma.”
“Jadi kuenya nggak usah ya?”
“Tapi kan ulang tahun indentik sama kue, Ma.”
“Kamu nggak suka kue, buat apa Mama buatkan untuk kamu?”
“Semua makanan yang Mama buat untuk Qyla, pasti Qyla suka kok.”
Mama mencubit pipiku gemas karena telah memujinya, tapi memang benar. Masakan Mama dan Bunda memang terbaik. Ah Radith, dia pasti senang kalau aku berikan coklat kesukaannya. Sekalian mengganti coklatnya yang hilang.
“Ma, coklatnya boleh kan Qyla kasih ke Adit?”
“Kenapa nggak boleh? Kan itu coklat kamu.”
Aku berlari kekamarku, mengganti baju seragamku menjadi baju tidur. Aku mengambil tasku dan memasukan pakaian yang akan aku gunakan besok lalu berlari menuju dapur untuk mengambil setengah dari coklat yang aku miliki. Papa sedang duduk di ruang tengah dengan tangan yang tak lepas dari laptopnya, aku menghampiri Papa dan memintanya untuk mengantar aku kerumah Radith.
“Pa, Qyla ingin menginap di rumah Bunda, boleh nggak?”
“Ujian mu bagaimana?” tanya Papa masih dengan pekerjaannya.
“Kalah lagi dari Adit.”
Papa tertawa, mukaku semakin cemberut. Kenapa Papa malah menertawaiku, aku kalah dari Radith. Seharusnya Papa menyemangatiku untuk mengalahkan Radith, dasar pilih kasih!
Papa berjalan mendahuluiku dan mengeluarkan mobil dari halaman rumah, aku mengikutinya dan duduk di sebelah Papa. Dia masih tertawa melihat mukaku yang sudah masam. Papa lebih menyebalkan dari Mama, tapi tidak semenyebalkan Radith.
Aku tidak menanggapi semua pertanyaan yang Papa lontarkan padaku, aku masih kesal dengannya. Mobil Papa sudah berada di pekarangan rumah Bunda, aku segera turun dan berlari memasuki rumah Bunda, tidak lupa aku salam dengan Bunda yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Aku memeluknya dan duduk di sebelah Bunda, Bunda melihatku memakai baju tidur dan tertawa. Dia pasti tahu kalau aku mau menginap di sini, buktinya dia langsung bilang kalau Radith sedang berada di kamarnya.
Aku berdiri, ingin melihat Radith dan memberikan coklat yang sudah aku bawa. Tapi, Papa memegang tanganku dan menyentil dahiku, perih. Sentilan Papa lebih sakit dari Mama.
“Kamu tuh yang sopan, Qyla. Main masuk rumah orang aja.”
“Bukan rumah orang, Pa. Rumah Bunda, Qyla kan anak Bunda.”
Aku menjulurkan lidahku mengejek Papa dan Papa menyentil dahiku lagi.
“Nggak apa-apa, Mas. Biarin aja, Qyla juga betah di sini.”
“Tetep aja nggak sopan, Git.”
“Biarin aja, Mas. Namanya juga anak-anak, sekalian ngeramein rumah.”
Aku tersenyum menatap mereka, Papa menggelengkan kepala berkali-kali dengan helaan napas panjang karena dia sudah tahu apa yang akan aku lakukan.
“Ekhem, Mas. Adit! Bilangin Ayah kalau Bunda selingkuh sama Papa!”
Aku berlari karena Papa akan segera mencubitku, Radith keluar dari kamarnya dan mencubit hidungku kencang.
“Bilang gitu sekali lagi, aku ceburin ke kolam sekarang juga.”
Aku mengusap hidungku dan tertawa keras, Ayah sangat sensitif kalau masalahnya dengan Bunda. Bisa di bilang dia gampang cemburu, pernah aku melihat Papa sedang berdebat dengan Ayah karena kelakuanku. Tapi, Radith juga menikmati pemandangan itu, Mama dan Bunda saat itu menyibukkan diri mereka di dapur karena kelakuan suami-suami mereka.
“Tapi, Ayah nggak ada di rumah kan?”
“Untung Ayah nggak ada, kalau ada gimana? Bisa habis Papa di ceramahin Ayah.”
Aku tersenyum lebar dan menerobos masuk kedalam kamar Radith, kamarnya selalu rapi. Ya, itu karena aku yang selalu memarahinya kalau kamarnya berantakan, dia bilang lebih baik merapikan kamarnya daripada mendengar ocehanku. Aku melepaskan tasku dan menyimpannya di pinggir ranjang Radith lalu membaringkan badanku, Papa sedang berbicara dengan Bunda. Biarlah, lagi pula aku kesini berniat untuk menemui Radith.
Aku melempar tasku kearah Radith, dia menangkapnya dan menutup pintu kamar. Terdengar teriakan Bunda dari luar, kata-katanya selalu sama. Sampai-sampai aku bisa mengingatnya, yah memang hanya beberapa kata sih.
“Jangan di kunci pintunya, Dit!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments