Aku berlari menuju rumah Radith dan berteriak mencari Bunda, tidak sopan memang. Tapi, aku sudah menganggap Bundanya Radith seperti Mama ku sendiri. Ketemu. Dia sedang memasak, aku mengendap-endap dan mencoba mengagetkannya. Radith memang menyebalkan sekali. Dia berteriak memanggil Bunda berniat memberitahu kedatanganku kesini, kutengok wajahnya sembari memberikan tatapan mematikan. Dia hanya tertawa.
“Lho, Asqyla. Ke mana aja? Kalau Bunda gak suruh Radith buat datang ker umah, pasti gak bakal temui Bunda,” ucap bunda lembut. Aku menghampirinya dan mencium tangannya. Bunda mengelus kepalaku lembut, aku menerjang Bunda hingga dia hampir kehilangan keseimbangannya.
“Nggak gitu, Bun. Qyla males ketemu Adit, nanti Bunda kasih tahu Qyla aja kalau Adit lagi enggak di rumah. Qyla pasti datang!” sahutku semangat.
Bunda menghampiri Radith dan mencubit kupingnya, dia yang tidak tahu apa-apa menatapku dan meminta tolong. Aku tertawa melihat Radith kesakitan, “Kamu ngapain Qyla lagi? Nakal banget si jadi anak. Laki-laki itu harus jaga perempuan, gemes Bunda sama kamu.”
Bunda berhasil membuat telinga Radith memerah, aku tertawa melihat ekspresi kaget dia yang tidak tahu apa-apa sama sekali.
Radith mengusap telinganya, “Adit nggak ngapa-ngapain, Qyla, Bun.”
“Terus kenapa Qyla kesel sama kamu?” tanya Bunda dengan nada candaan.
Radith melirikku tajam. “Mana Adit tahu, Bun. Tanya aja sama, Qyla,” jawab Radith ketus.
Lagi-lagi aku tertawa melihat Radith yang pergi begitu saja, padahal aku yakin dia tahu kalau Bunda sedang bercanda. Bunda menatapku dengan tawaan kecil, kita berdua telah membuat Radith kesal. Aku hanya tersenyum senang melihat Radith kesal, dia juga harus merasakan apa yang aku rasakan saat dia menjahiliku. Impas bukan?
Bunda mengajakku ngobrol di ruang tengah, dengan secangkir coklat panas kesukaan Radith dan kue kering buatan Bunda. Seleraku memang tidak beda jauh dari Radith, apa yang Radith suka, pasti aku sukai juga. Tapi, itu hanya berlaku untuk makanan, kalau masalah hobi, itu beda jauh sekali. Radith lebih suka berpergian dan aku lebih suka membersihkan rumah. Namun, jika Radith mengajakku dengan alasan mencari makanan, aku tidak akan pernah menolaknya.
Aku mendengarkan keluh kesal Bunda yang harus mendidik Radith dengan susah payah, anak Bunda itu memang susah diatur. Kasihan sekali Bunda, memiliki anak seperti Radith, harusnya aku saja yang menjadi anak Bunda. Tapi, aku juga ingin menjadi anak Mama, apa aku harus menjadi anak dengan dua Ibu? Kalau bisa kenapa tidak? Radith pasti iri dengan ku.
“Sudahlah, Bunda lelah mengurus Radith. Qyla mau jadi anak Bunda?” tanya Bunda dengan kekehan.
Aku tertawa dan mengeraskan suaraku, “Mau, Bunda! Adit-nya buang aja, dia cuman bisa nyusahin Bunda!”
“Iya nanti Bunda buang dia!” balas Bunda tak kalah kencang juga.
Kami berdua tertawa, sengaja membesarkan suara kita agar Radith mendengarnya. Suara langkah kaki terdengar mendekati aku dan Bunda, aku yakin Radith akan duduk ditengah-tengah kita, antara Bunda dan aku. Lalu, dia akan terdiam dan melirik Bunda dengan tatapan tajam. Dan sekarang, dia tengah melakukan hal yang aku bicarakan tadi.
“Bunda nggak mau punya anak macem Radith?” tanya Radith merajuk.
Aku terkekeh, “Kita bercanda, Dit. Jangan masukin ke hati.”
“Diam kamu, Qyla. Aku lagi ngomong sama Bunda, bukan kamu.”
“Kalau begitu, aku pamit pulang.”
Radith melihatku dan menahan tanganku, dia tertawa renyah dan meminta maaf kepada Bunda karena telah menatapnya dengan tatapan tajam. Dilihatnya coklat panasku yang tinggal setengah, dia teguk sekaligus. Bisa-bisanya dia meminum minumanku. Radith memang menyebalkan!
“Radith! Kenapa nggak buat sendiri? Masih aku minum coklatnya.”
Rengekanku membuat Bunda terekeh dan menyentil kening Radith, Bunda beranjak dan membuatkan ku coklat panas lagi. Aku menolaknya dan bilang tidak apa-apa, tapi Bunda tetap membuatkanku coklat panas. Langkahnya sudah separuh perjalanan menuju dapur, tapi terhenti karena dia mengingat sesuatu.
“Qyla?” tanya Bunda dengan hati-hati.
“Iya, Bun?”
Aku menjawabnya dari balik sofa tanpa melihat Bunda karena Radith tiba-tiba tertidur di pangkuanku. Aku mengusap lembut rambutnya, sesekali menarik beberapa helai rambutnya karena kepalanya yang berat membuat pahaku kesemutan.
“Kamu nggak apa-apa deket sama Radith?”
“Kenapa harus apa-apa, Bun?” tanyaku bingung.
“Kamu kan sebentar lagi akan menikah.”
Menikah? Aku menatap Bunda bingung, Radith terbangun dan menatap Bunda bingung juga. Bunda sedang bercanda apa? Masa aku menikah? Maksudku, aku masih sekolah. Kenapa aku harus menikah secepat ini? Lalu, dengan siapa? Radith? Tidak mungkin bukan? Jelas-jelas tidak mungkin, dari perkataan Bunda saja sudah terdengar jelas kalau pria itu bukan Radith.
“Nikah?! Sama siapa, Bun?” tanyaku penasaran.
“Lho, Mama kamu nggak cerita sama kamu? Bunda tadi ngobrol sama Mama kamu, makannya Bunda minta kamu kesini. Kalau sudah menikah pasti susah kemari, apalagi ada Radith.”
Aku tertawa kaku, “Bunda bercanda, ya, sama Qyla?”
“Ngapain Bunda bercanda, Qyla?”
“Serius, Bun?”
Bunda hanya mengangguk lalu kembali menuju dapur, aku terdiam. Kenapa Mama tidak memberitahuku? Kenapa aku harus mendengar ini dari Bunda? Aku berpamitan kepada Bunda dan meminta Radith untuk mengantarku pulang. Mama pasti bercanda bukan? Hari ini adalah hari ulang tahunku, pasti Mama merencanakan sesuatu bersama Bunda.
Radith membawa tas ku juga mengambil buku harianku, dia mengantarku pulang. Tidak banyak bertanya, tumben sekali Radith diam. Selama perjalanan hanya keheningan yang aku rasa, bahkan suara angin saja membuat telingaku sakit. Ada yang salah, semuanya salah. Kenapa sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Kepalaku sudah tidak bisa memproses apapun, apa Mama benar-benar yakin aku menikah diumurku yang sangat muda?
Aku tak mempersalahkan keputusan Mama, jika memang itu yang dia mau, aku tidak harus menolak. Tapi, kenapa harus sekarang? Aku sandarkan kepalaku di punggung Radith, dia bertanya aku kenapa. Pertanyaan itu aku abaikan, sulit untuk aku jawab. Aku saja tidak tahu aku kenapa, lalu apa yang harus aku sampaikan kepadanya kalau diriku saja tidak tahu.
“Qyla?”
“Hm,” jawabku dengan dehaman.
“Yakin mau pulang?”
Radith memberhentikan motornya dan menatapku lewat kaca spion, dia menungguku menjawab pertanyaannya. Aku ingin segera pulang kerumah, bertanya kepada Mama apa yang dia maksud dengan pernikahan itu. Tapi Radith, dia menjadi pendiam semenjak Bunda menjelaskan tentang pernikahanku tadi.
Dia menyuruhku untuk turun, aku terdiam di sampingnya. Dia memarkirkan motornya dan menarik tanganku, aku terdiam lagi dan membiarkan dia membawaku ke tempat yang dia inginkan. Tiba-tiba dia terdiam, aku melihat punggungnya dan memperhatikan rambutnya yang tergerak karena angin. Dia membalikkan badannya dan melepas tanganku, tanpa melihat mataku, dia menyamping dan menyandarkan badannya di pembatas jembatan layang yang tengah kita pijak.
Ada apa dengan Radith?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Sleepless
Radith cemburu tau! Masa gitu aja gk paham sih, asqyla?
2021-04-12
0