7 tahun kemudian.
Gisel kecil kini sudah tumbuh menjadi gadis remaja berumur 17 tahun, tidak ada yang istimewa dari hidupnya, malah terkesan biasa saja dan tidak ada yang spesial spesialnya. Setiap harinya hanya ada cacian dan hinaan dari kedua orang tuanya pada Gisel.
Gisel kecil tumbuh tanpa kasih sayang, bahkan sehari pun tidak pernah ada kasih sayang untuknya. Dulu Gisel selalu merasa sakit karena perlakuan itu, tapi semakin kesini, hatinya pun sudah semakin terbiasa, dan bahkan dia seperti sudah kebal dengan semua cacian dan hinaan oleh orang tuanya. Dan yang lebih parahnya lagi, Gisel seperti mati rasa, tidak ada air mata yang jatuh saat dirinya mengalami siksaan, jika dulu waktu kecil dia sering menangis memohon ampun, kini Gisel hanya diam dan pasrah menerima keadaan tanpa mencoba untuk memohon agar diberi belas kasih.
"Kak Alina, sarapnnya sudah siap." Ucap Gisel sambil mengetuk pintu kamar kakaknya.
"Kenapa kamu yang membuatnya, kan kakak sudah bilang suruh bi ijah saja." Ucap Alina sambil keluar dari kamarnya. Gisel hanya diam, karena jika dia tidak melakukannya, maka orang tua mereka akan menghukumnya.
Gisel berjalan mendahului Alina dan menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan ternyata disana sudah ada orang tua mereka. Dimeja makan itu sudah duduk Devan dan Melinda yang merupakan ayah dan ibu dari Alina dan Gisel.
"Pagi sayang." Sapa Melinda pada Alina.
"Pagi ma." Ucap Alina kembali menyapa. Setelah itu dia duduk di kursi untuk sarapan.
Sementara Gisel dia langsung duduk saja tanpa menyapa, dia bukannya tidak sopan, hanya saja dia tau sapaannya tidak akan dibalas oleh orang tuanya.
"Kamu berangkat dengan mama iya, soalnya mama ada rapat pagi ini, dan kebetulan itu searah dengan kampus kamu." Ucap Melinda.
"Ah, tapi Alina pergi dengan Gisel ma, kasihan jika dia harus naik angkot." Ucap Alina mencoba menolak.
"Kenapa harus kasihan, dia juga sudah biasa naik angkot, kamu tidak perlu khawatir. Dan kamu! Jangan terlalu manja dengan kakak mu ya, kamu sudah cukup dewasa, jadi jangan bertingkah seperti anak kecil." Caci Melinda pada Gisel.
"Ma, Gisel masih muda, aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, lagi pula aku tidak masalah mengantarnya, mama kan juga sudah biasa pergi sendiri." Ucap Alina yang mencoba membela Gisel.
"Alina cukup! Kamu berani melawan mama, dengar kan perkataan mama, kamu pergi ke kampus dengan mama, tidak ada penolakan." Ucap Melinda lagi.
"Ma, Alin juga sudah biasa pergi ke kampus sendiri, dan lagi, untuk apa fasilitas di rumah ini ada jika Gisel tidak bisa menikmatinya, dia juga anak kalian, cukup memperlakukannya seolah dia itu adalah musibah bagi keluarga ini!" Ucap Alina yang terlihat kesal karena perlakuan kedua orang tuanya pada Gisel.
"Alina!"
"Kenapa! Kalian tidak bisa memungkiri kalau Gisel adalah anak kalian, kalian yang seperti ini terlihat seperti orang kehilangan akal, kalian.."
Plak, satu tamparan keras dari Melinda tepat di pipi sebelah kiri Alina.
"Melinda!" Ucap sang kepala keluarga.
"Alina, maaf, mama tidak sengaja sayang." Ucap Melinda yang menyesali perbuatannya.
"Cukup! Kalian berdua lebih baik lanjut makan." Ucap Devan pada istri dan anaknya.
Gisel hanya diam, baginya pertengkaran seperti ini sudah biasa dan bahkan sering dia dengar, sang kakak yang mencoba membelanya dan orang tuanya yang tidak terima jika dia dibela. Sebanarnya Gisel juga masih bingung, kenapa orang tuanya sangat membencinya, padahal dia tidak pernah melakukan kesalahan, tapi tetap saja orang tuanya tidak menyukainya.
Melinda kembali duduk, sementara Alina, dia masih berdiri dan memegang pipinya yang tadi ditampar oleh ibunya.
"Kenapa selalu begini, kenapa kalian selalu marah jika kita membahas ini, ada apa dengan kalian, kalian ingin aku menjadikan kalian contoh, tapi kalian sendiri bersikap kekanakan seperti ini."
"Sudahlah, aku sudah kehilangan nafsu makan ku, ayo Gis, kakak antar kamu." Ucap Alina yang kemudian berjalan pergi dari ruang makan. Gisel langsung bangun dari duduknya dan pergi menyusul Alina.
Sekarang tinggalah pasangan suami istri itu diruang makan.
"Jangan pernah lagi aku lihat kamu menggunakan kekerasan pada Alina." Ucap Devan dengan penuh penekanan.
Devan memang sangat menyayangi Alina, baginya anak yang dia miliki adalah Alina, tidak ada yang lain.
"Aku terlalu emosi, salahnya kenapa selalu membela anak itu, dia tidak tau saja siapa anak itu." Ucap Melinda lagi.
"Aku tidak peduli, kamu emosi atau apalah itu, yang pasti jika lain kali aku melihat kamu berbuat kasar pada Alina, kamu akan bernasib sama dengan anak itu." Ancam Devan.
"Kenapa kamu jadi menyalahkan ku, aku kan hanya terbawa emosi." Ucap Melinda yang terlihat kesal.
"Cukup! Jangan berdebat dengan ku, bagi ku Alina adalah segalanya, bahkan kamu tidak akan bisa mengalahkan posisinya." Ucap Devan tegas.
"Devan, aku ini istri mu, bagaimana bisa posisi ku dan anak ku berbeda. Kamu." Perkataan Melinda terpotong.
"Dengar, sejak hari itu, hubungan kita sudah berakhir, aku bertahan disini karena anak ku, Alina, bukan karena aku menyukai mu, atau masih mencintai mu." Ucap Devan yang kemudian langsung pergi.
"Devan! Devan!." Teriak Melinda memanggil Devan, tapi Devan tidak mendengarkannya dan pergi ke kantor.
"Ini semua karena anak sial itu, ini semua salahnya."
"Akh, harusnya dia tidak pernah ada, harusnya dia ikut mati saja dengan ibu." Maki Melinda.
"Lihat saja, aku akan memberinya perhitungan." Ucap Melinda lagi. Kemudian dia langsung mengambil tasnya dan pergi.
****
"Kamu jangan terlalu mendengarkan ucapan mama." Ucap Alina ditengah perjalanan mereka ke sekolah Gisel.
"Hm." Jawab Gisel.
"Hei, kenapa kamu sangat irit bicara." Ucap Alina yang kesal dengan sifat adiknya ini.
"Lalu apa yang harus ku ucapkan, kamu sendiri sudah tau seperti apa aku bersikap selama ini." Ucap Gisel. Alina terdiam, dia memang selama ini terus memperhatikan Gisel, karena dia merasa tidak ada orang yang perhatian dan sayang pada adiknya selain dirinya. Dulu Gisel memang sering mengeluh padanya, tapi saat ini, semakin hark, Gisel seperti tidak perduli dengan semua itu, dia seperti sudah mati rasa, rasa sakit itu seperti sudah kebal bagi dirinya, dia bahkan sama sekali tidak pernah lagi terlihat ssdih ketika orang tua mereka memberi perhatian hanya pada Alina.
"Tenang saja, aku akan selalu membela mu, jadi kamu jangan takut, biar pun manja, kakak mu ini bisa kamu andalkan." Ucap Alina percaya diri.
"Kamu saja tidak bisa mnejaga diri mu sendiri, bagaimana bisa kamu menyuruh ku mengandalkan mu." Ejek Gisel. Walaupun dia dingin, tapi kalau sudah bersama Alina, dia bisa menunjukan sifatnya yang lain.
"Kamu ini, aku kan kakak mu, tentu saja kamu adalah prioritas utama ku, aku akan melindungi mu dari orang-orang yang ingin bersikap jahat pada mu, kamu tenang saja, selagi kamu benar, maka berjuanglah, sisahnya biar aku yang urus." Ucap Alina percaya diri. Gisel hanya diam, tidak menanggapi ucapan Alina, hingga mobil yang mereka kendarai sampao didepan gerbang sekolah Gisel. Gisel langsung turun tanpa pamit, tapi dia mengucapkan terimakasih. Alina pun tidak mempermasalahkan itu, dia tau sifat adiknya itu. Alina langsung mengendarai mobilnya menuju ke kampus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Lina Aurif
lanjut dulu ah...
2022-02-03
1