Seminggu kemudian, Ryan sudah mendapat beberapa hal tentang Lily dari Rubay. Orang itu memang pintar dalam mencari sumber. Ryan membaca rentetan tak masuk akal yang di berikan oleh temannya yang jago mata-mata.
"Suka semua pelajaran? Suka di ikut sertakan lomba? Dikagumi guru? Kok bisa? Lu cari sumber ini dari mana?" Ryan bertanya bertubi-tubi. Orang secupu Lily harus menjadi patokannya untuk bersaing. Lucu!
"Ya gua cari dari sumber yang patutlah! Kali gua denger dari gosip tetangganya!" Rubay berbaring di ruang UKS dengan santai.
"Rumah dia dimana?"
"Bandung. Sebenarnya dia itu nge-kos buat belajar di Jakarta ini," papar Rubay seraya bergumam.
"Gua gak bakal pernah ngecewain nyokap, tapi kehadiran Lily kacamata cupu itu yang buat gue gak yakin kalo gue bakal jadi orang terpintar di sekolah ini," Ryan berkata seraya membaringkan diri di ranjang UKS. Yang selalu di buat tempat tidur nyaman waktu istirahat. Secara singkat dan baku hantam, ia sudah merajai sekolah Mekar Sari.
"Lu jangan nyerah gitu, bro. Gua yakin lu masih bisa buat nyokap lu bahagia," hardik Rubay menenangkan.
"Gue mesti cari cara buat dia jatuh," Ryan tersenyum penuh kejam.
"Serah lu," sergah Rubay malas, "tapi jangan terang-terangan lu ngomong 'Woey Lily lu jangan pintar amat!' nanti yang ada malah dibuat bahan ejekan! Ha-ha!"
Ryan menutup mata mencoba mencari celah bagaimana caranya tahta Lily diambil alih olehnya. Ia sungguh tak terima bila kepintaran dirinya yang kedua dari Lily.
...----------------...
Istirahat ini ia luangkan untuk mengerjakan tugas orang lain, ia tidak ingin menjadi permasalahan besar yang berakhir memalukan dirinya sendiri. Tangannya sudah gemetar karena lelah.
Tangan Lily berusaha menari-nari di buku temannya, menulis dengan teliti agar tidak ada kekecewaan terhadap orang yang punya.
"Teliti amat gerjain tugas orang?" Linda masuk kelas dengan membawa makanan ringan.
"Gue bego, ya?" timpal Lily sembari tersenyum lalu tekun menulis kembali. Kedatangan Linda di kehidupannya sudah membuat kesehariannya cukup berwarna. Dia adalah cewek yang berdiri di depan ketika Lily kena buly.
Linda menggeleng cepat. "Nggak lu pinter! Nih gue bawain es krim sama kopi dingin permintaan lo."
Lily segera membawa pemberian ringan yang ia suka. Ia meletakkan pena untuk menikmati es krim berlumur coklat beku. Ia pula meneguk setengah kopi di gelas. Makanan dan minuman favorit dari dulu kecil. "Gue suka benget sama es dan kopi ini. Enak!"
"Heran gua," Linda terkekeh mendengarnya, "apa lagi yang lu suka selain berbau makanan?"
Lily berdehem panjang, "Gue suka sama hal yang berbau kerajinan tangan. Gue kepingin banget masuk ke jurusan otomotif."
"Otomotif? Bukannya itu jurusan buat cowok, cewek mana mungkin?" tanya Linda menyosongkan mukanya ke Lily, "lu udah cocok banget di jurusan IPA!"
"Iya gue udah cocok!" Lily tersenyum nanar, "tapi bukan gue banget! Gue cuma suka bongkar-rangkai-buat."
"Gue keluar dulu, ya." Lily pergi cepat sebelum keingintahuan Linda membesar. Cukup dirinya sendiri yang menahan pedih, ia tidak butuh kasihani.
"Eh–lu suka sama apa lagi?" Linda bertanya sebelum Lily keluar.
Liliy menjawab mantap, "Harimau."
...----------------...
Di taman belakang sekolah, terdapat sebuah kolam ikan yang luas. Lily diam disitu, sambil duduk dan menggigit es yang berlumur cokelat.
"Kenapa papa nggak ngerti!" Lily mencakar-cakar pergelangan tangannya. Berusaha tidak menangis. "Kenapa papa anggap buatan Lily itu rongsok!?" tanya Lily dalam bisikan lirih.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Bila ia tidak melihat nama kontak yang menelpon, ia sudah melempar barang mungil itu.
Lily mengangkat, "Iya pa?" Berusaha riang dan tak ada masalah.
"Ly, gimana ulangannya? Bagus nggak?"
Lily beringsut memanyun, namun berusaha lagi sumringah. "Iya dong pa, nilainya seratus ... aku pinter ’kan?"
Terdengar dari ujung sana tengah ribut menebong-nebong hasil nilai ulangannya. Terlalu fanatik! Lily mendelik. Dia sebagai anak pertama selalu dibangga-banggakan ketika berurusan tentang belajar. Entah mengapa, dia sangat tidak suka dengan sikap yang berlebihan.
Setelah itu Papa Lily menutup telpon tanpa salam. Sekarang Lily benar-benar melempar ponselnya ke tanah. "Jadi papa nelpon cuma ajang pamer ke tamu, gitu!?" gerutu Lily kesal.
"Aduh-aduh, kasian amat jadi cewek!" Suara itu membuat Lily berdiri dengan cepat. Arah suara itu dari balik lorong sekolah yang bisa menuju ke halaman mungil ini.
"Nura?" Lily bertanya sekaligus memanggil, ia segera membawa ponsel yang barusan ia lempar. Nura, sosok gadis yang dikenal sok-cantik. Dia juga pernah merekam Lily ketika tidur lelap di kelas minggu lalu.
"Gua bukannya kasian sama lu. Tapi, gimana perasaan lu ketika sahabat lu dapat musibah?" tanya Nura malas, dengan centil ia berjalan menghampiri Lily yang nampak heran, "Lelet amat sih, Linda lagi dapet masalah sama baby gue di kantin!"
"Babi?"
"Baby bukan babi! Gimana sih!" tukas Nura seraya mengibas rambut panjangnya yang tergerai.
"Linda dapet masalah sama baby lu? Baby lu siapa?" tanya Lily, curiga dengan kata 'baby' itu siapa. Nura memang suka tebar kebohongan. Belum pernah jelas bila ia punya pacar.
"Ya Ryan ’lah, lu nggak tau kalo gue udah jadian!?" Nura memberitahu sambil bergerak centil.
"Hah Ryan!" Lily berseru lalu beranjak pergi dari halaman, "Linda!"
...----------------...
Lily mencari sosok Linda di penjuru kantin sekolahnya. Di ujung sana tepat pada meja yang katanya khusus milik Ryan di kerumuni banyak orang. Lily menemukan ciri-ciri orang yang ia cari, sebuah jam tangan warna biru muda khas milik Linda terinjak-injak oleh para cowok.
Lily segera masuk di antara kerumunan itu. Terdapat Linda disana yang sedang menangis sambil tersujud di hadapan Ryan. Isakannya sampai terdengar, "Ma-maaf! Gue minta maaf!"
"Linda!" Tanpa berfikir panjang Lily menghampirinya dan segera menarik Linda berdiri, "lu kenapa?"
"Lu ngapain ikut campur kacamata buluk!" Ryan mendorong Lily sampai terjatuh. Linda hanya membungkam menahan takut.
Lily berdiri cepat, lalu tersenyum. "Emang Linda kenapa, sampai harus sujud-sujud segala?" tanya Lily setenang mungkin meski di pelototi oleh Ryan, Ya Tuhan tolong gue. Papa-mama Lily takut!
"Dia numpahin kopi ke seragam gue! Apa itu gak salah!?" Ryan menunjuk ke seragamnya yang basah berwarna coklat. Walau sedikit.
Kopi? Lily menelan ludah. Barulah ia tahu bila Linda ke kantin untuk mengembalikan gelas yang masih terisi kopi. Ini salah Lily, ia seharusnya mengembalikan gelas itu sendiri. Bukan Linda.
"Itu gelas kopi gue," ujar Lily tegas, "kalo lu mau ngasih hukuman boleh. Tapi ke gue, jangan ke Linda."
Lily mulai sujud di hadapan Ryan. "Gue mohon ampuni Linda. Dia nggak bersalah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments