Makan malam hampir tersedia, Uwa Nuri masih mengulek sambal terasinya, Anna yang menyusun piring sesuai jajaran kursi cukup empat orang saja, air kebokan pun tak lupa diisinya.
Setelah semua makanan tertata rapi, Anna duduk di samping Uwa Nuri yang sudah siap menyantap makan malam.
"Raka, Rasti, makan." Anna memanggil.
Raka dan Rasti pun ikut duduk ditempat masing-masing, namun Anna melihat mata Rasti sembab, dia mendekatkan diri ke wajah Adiknya.
"Rasti kamu kenapa?" selidik Anna yang mengamati Rasti dengan seksama.
Rasti hanya menggeleng, berusaha menutupi kesedihannya saat itu, tetapi Anna belum puas, sebagai Kakak tentu meras khawatir bila Adiknya sedang diterpa masalah.
Di gapai nya bahu Rasti, dia memegang dagunya, terlihat jelas kedua kelopak mata Rasti bengkak.
Uwa Nuri yang melihatnya pun ikut khawatir, ia mencoba menenangkan Anna agar tidak memaksa rasti untuk berkata.
"Ya sudah makan saja dulu.kita nanti bicarakan, pamali dimeja makan harus marah-marah." Uwa Nuri mengingatkan.
Anna pun terkendali, rasa penasaran semakin menggeliat, sudah makan kamu harus cerita padaku, gerutunya.
Mereka menikmati makan malam dalam kebisuan.
Makan malam telah usai,Rasti bergegas masuk ke kamarnya, begitupun dengan Raka yang kembali ke ruang tamu melanjutkan permainan game.
Uwa Nuri membereskan semua peralatan makan dimeja yang biasa dikerjakan oleh Anna, namun karena Anna yang ingin mengintrogasi rasti meninggalkan Tantenya itu.
"Jangan main trus, belajar sana!" Gertak Anna pada Raka.
Sebagai pengganti Orang tua, Anna harus bersikap tegas mendidik kedua Adiknya itu.
Selain untuk kebaikan mereka, tak ingin kedua Adiknya bisa terjerumus dalam pergaulan Anak jaman sekarang yang semakin brutal.
Anna mengetuk pintu kamar Rasti, tak ada jawaban, diputarnya gagang pintu itu, terlihat Adiknya tengah berbaring menutupi wajahnya dengan bantal.
Anna mendekat, terdengar tangisan rintih, ya, Rasti menangis.
Anna duduk ditepi ranjang, diusapnya ujung kaki Rasti.
"Ada apa sih dek? Kenapa kamu menangis?"
Namun tak ada jawaban ia dapat.
"Kakak tidak suka Kamu begini, ayo bangun, cerita sama Kakak." Anna mencoba membangunkan Rasti.
Rasti duduk memperbaiki diri, mengusap butiran air mata melekat di pipinya, dia mencoba sebisa mungkin untuk menceritakan apa yang dialaminya sore tadi.
"Tadi aku balik ke rumah, mau ketemu Ayah."
"Hhhmmmm ..iya, truss?"
"Tapi, Ayah malah marah-marah dan usir Aku."
Anna mulai geram, namun ia berusaha menahannya sebab ingin mendengar Rasti lebih lanjut.
"Kenapa dia usir kamu?"
"Aku ke sana untuk meminta uang, Aku bilang untuk tukar tambah hp ku, Ayah malah ngusir Aku, katanya Aku kerjaannya minta uang mulu, Aku malah dibilang pembawa sial," tutur Rasti menunduk sedih.
Api amarah semakin membakar Anna, kali ini Ayahnya memang keterlaluan, sungguh tega berkata demikian pada Anak Kandungnya sendiri.
Lagipula semenjak Ibunya meninggal, mereka pun tak pernah lagi dinafkahi oleh Ayahnya, bahkan menengok pun jarang, jika bukan Raka dan Rasti menjenguk Ayahnya, maka mereka tidak akan bertemu, sebab Pria paru baya itu sudah asyik hidup bersama Istri barunya yang sedang hamil melupakan kewajiban pada ketiga Anaknya.
"Kan, Kakak sering bilang, jangan pernah ke sana, apalagi minta uang," ucap Anna kesal.
"Tapi Rasti tidak ingin kakak repot," ucap Rasti dengan wajah memelas.
Mendengar Rasti, Anna terenyuh.
"Rasti, itu kewajiban Kakak, lain kali jangan pernah ke sana lagi, masalah hp kamu, setelah gajian Kakak coba tanyakan pada teman Kakak, cicil juga gak papa kan?"
Rasti hanya mengangguk, meraih tubuh Anna lalu memeluknya, didalam pelukan hangat seorang Kakak, dia mencium aroma tubuh Ibunya, sesosok pengganti Ibu yang luar biasa. Superwoman yang tak pernah ia bayangkan bila harus kehilangan Kakak seperti Anna.
Anna yang dipeluk oleh Rasti semakin menghardik Ayahnya dalam hati, dia tidak akan tinggal diam bila Adiknya terluka. Sebab Ini bukan kali pertama Ayahnya melakukan yang demikian.
Raka pun pernah jadi sasaran pukulan sebab memaksa Ayahnya untuk membelikan sepatu bola untuk pertandingan, merasa sangat kesal, dia memukuli Anak laki-lakinya menggunakan gagangan sapu hingga lengan Raka lebam berhari-hari.
"Besok, aku harus bertemu Ayah," kecam Anna dalam hati.
Dia meninggalkan Rasti dalam tidurnya, lalu keluar dari kamar itu menuju ke kamarnya pula.
Dia melirik ponselnya, tak ada pesan masuk dari siapapun hanya setumpuk pesan promo yang tak berkepentingan.
Anna menghempaskan diri di kasur, meregangkan kedua tangannya, menatap langit-langit rumah yang terbuat dari kain bekas jahitan Uwa Nuri.
Merangkai mimpi-mimpi yang belum jua terwujud, satu per satu harapan yang tercatat di kepalanya, akankah bisa ia raih atau malah membuatnya menyerah pada waktu yang tak menemukan tujuan.
"Ahh, aku lelah, ya Allah," keluhnya.
Matanya melotot, ia meraih ponselnya yang di atas meja kayu, dia bertanya-tanya seraya melihat jajaran daftar panggilan, tak ada nama Faiz ia temukan.
Apakah sesibuk itu, sudah tiga hari mereka tak berkomunikasi, tak adakah waktu sejenak untuk menelpon menanyakan kabar atau hanya sekedar mengirim pesan chat untuknya.
Aku harus yang memulai!
***.alaikum ..Kak Faiz bagaimana kabarnya? Sibuk ya?
Faiz adalah pacar Anna sudah setahun, mereka menjalani hubungan hanya sebatas pacaran yang sehat pada umumnya, berkenalan dan sekedar bercerita sama sekali tak pernah berkencan.
Sebab Faiz sebagai guru disekolah menengah atas sekaligus pengajar les privat hingga waktu mereka tak pernah bersama.
Hubungan yang mereka jalani mengalir apa adanya, Anna tak ingin lebih jauh menjalani hubungan bila kedua Adiknya belum menamatkan sekolah.
Sudah centang biru dua, menandakan pesannya sudah dibaca oleh Faiz terlihat dibawah nama Faiz status online.
Anna menunggu beberapa menit,tak ada balasan dari Pria yang mengisi hatinya itu, tidak lama kemudian Faiz offline dari peradaban WA.
"Baik ..kali ini Aku juga akan cuek,emang kamu saja yang bisa jual mahal." Kesalnya membanting hp di atas kasur.
Jika Faiz tidak bisa menjadikannya prioritas, maka Anna pun pasrah saja, jika memang jodoh takkan lari kemana, bila sudah ditakdirkan takkan mungkin tertukar, bila sudah jalannya takkan mungkin salah alamat, dan bila sudah saatnya tidak akan tertunda.
Sebagai perempuan, Anna juga tak ingin dijajah oleh perasaan yang jelas itu belum waktunya, meski Faiz memiliki tempat dihatinya, namun logikanya masih ia andalkan sehingga mengendalikan hati yang rindu pada tuannya.
Ahh ..hati memang lemah, mengajak seluruh anggota tubuh untuk merenung, padahal cinta itu pun belum tentu sejati yang menikah saja bisa cerai, apalagi dia yang berpacaran dengan Faiz.
Di tambah lagi, Orang tua Faiz yang acuh tak acuh padanya, mungkin karena Anna yang tidak memilik pendidikan tinggi, ataupun memiliki pekerjaan yang layak di banggakan sebagai calon mantu.
Sedangkan Faiz dari keluarga yang berpendidikan, hampir semua keluarganya menjadi Aparatus Sipil. Jika dibandingkan dirinya, jelas dia tidak di kategorikan untuk dipersunting pria berdarah bugis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments