part 5

Om Duda Teman Bapak

Part 5

"Nih, ambil!" Om Yudi menyodorkan kotak HP baru ke arahku. "Ayo ambil! Ini untuk kamu," paksa Om Yudi.

"Untuk Dea, Om?" tanyaku bingung.

"Iya, biar puas saya video call dengan anak saya. HP kamu sudah butut, gambarnya nggak bagus."

Huft, kenapa, sih, mesti dihina segala. Kalau mau ngasih, ya, ngasih aja.

"Potong gaji, Om?" tanyaku sebelum mengambil HP itu. "Kalau potong gaji, nggak usah dulu, Om. Dea mau kreditkan laptop untuk Widi, nanti gaji Dea nggak cukup."

Om Yudi malah tertawa dan mengatakan aku terlalu polos.

"Gratis, anggap aja inventaris perusahaan. Cuma hak pakai bukan hak milik," gumam Om Yudi sambik meletakkan kotak HP itu di atas telapak tanganku.

Malika tersentak, demam pasca imunisasi membuat dia tidak bisa tidur nyenyak. Suhu tubuhnya cukup tinggi, tadi saat diukur menggunakan termo gun suhunya mencapai 38°C

"Sudah minun obat dia, De?" bisik Om Yudi takut membangunkan Malika yang telah tidur kembali.

"Sudah dikasih paracetamol, Om."

"Baiklah, saya kekamar dulu. Kalau Lika makin rewel panggil saya!" titah Om Yudi.

"Om nggak kerjakah?"

"Saya libur saja."

Aku hanya menaikkan kedua bahu, terserah om saja. Toh, Om yang punya perusahaan itu.

Malika sudah makan tiga kali sehari, hari ini awal ia mencoba MPASI homemade buatannku. Setelah seharian berselancar di grop MPASI homemade. Hari ini aku akan mencobanya.

Segenggam beras putih, sepotong tahu, sepotong daging ayam dan segenggam sayur labu siam dan wortel biar ada rasa manis dari labu siamnya. Semua dimasak jadi satu dalam slow cooker. Ternyata Malika sudah punya slow cooker. Kata Bu Asi, itu kado dari teman-teman Om Yudi saat Malika lahir.

Kebetulan Malika masih tidur, Dea masih sempat melumatkan makanannya di atas saringan standlist.

"Lagi ngapain ...?"

"Astafirullah Alhazim," ucap Dea karena dia kaget Om Yudi datang tiba-tiba.

"Kamu melamun, ya? Kamu ngapain?"

"Bikin MPASI homemade, Om."

Tampak Om Yudi menyerengitkan keningnya, seolah dia heran dengan jawabanku.

"Tenang, Om! Nggak dikasih racun, kok." upat Dea kesal setelah melihat ekspresi wajah Om Yudi.

***

Sore hari, Dea telah selesai melaksanakan tugasnya. Malika sudah mandi dan juga sudah selesai disuapi makan. Ternyata Malika suka dengan makanannya. Sehari ini tidak ada makanan yang tersisa di mangkuknya.

Setelah pamit, aku berjalan menuju jalan raya. Tidak jauh dari rumah Om Yudi ada halte bus. Lima belas menit menunggu, bus dengan jurusan ke daerah rumahku tiba. Suasana dalam bus tidak terlalu ramai. Masih ada beberapa bangku kosong.

Pemandangan tepat di depanku. Sepasang sejoli, entah itu masih pacaran atau telah menikah aku tidak tahu. Tetapi sikap mereka membuatku iri.

Tangan cowok tidak lepas dari genggaman tangan cewek. Sudah dua tahun sejak tamat sekolah aku jomlo.

Teringat akan masa lalu, LDR membuat dia mengakhiri hubungan kami. Dia melanjutkan kuliah di negara orang. Menurutnya, tidak mungkin menjalin hubungan terpisah jauh--beda negara.

Ah, kenapa aku mesti mengingat itu. Aku mengusap wajah menggunakan dua telapak tangan. Suara kondektur bus membuyarkan lamunanku, ternyata sudah sampai di halte dekat rumahku.

Ku berikan selembar uang lima ribu, lalu kondoktur mengembalikan lagi seribu. Aku dan yang lain bergegas turun. Bus akan melanjutkan perjalanan ke halte berikutnya.

Suara klakson sepeda motor mengagetkanku, "Dea."

Pria berpostur tubuh tinggi merupakan pemain basket di sekolah saat itu kini sudah berada di sampingku, ia menggunakan motor sport-nya.

"Jefan," jawabku singkat.

Kenapa lelaki yang teringat dalam bus beberapa saat tadi bisa benar-benar muncul?

"Kok begong? Kebetulan kita ketemu di sini. Aku memang mau ke rumah kamu," terang Jefan. "Ayuk naik!" lanjutnya sambil menepuk jok belakang motor sport itu.

"Tidak usah, terima kasih. Aku jalan kaki aja, udah dekat, kok," tolakku.

Dulu aku pernah sangat mencintainya tetapi alasan LDR dia mengakhiri semuanya. Bagiku LDR bukanlah alasan yang tepat untuk mengakhiri hubungan yang telah dibina sejak kami sama-sama kelas 1 SMA.

Tiga tahun aku terbiasa bersamanya, tiba-tiba semua diakhiri begitu saja tanpa mendengarkan sedikitpun pendapatku.

Kini setelah dua tahun aku berhasil membuang rasa sayang dan cinta itu, dia kembali lagi di hadapanku.

Bedebah!

Aku paling tidak suka situasi seperti ini. Dia membuat mood-ku rusak. Aku sudah malas melihat wajahnya lagi. Kenapa juga dia harus mencariku lagi.

"Ada perlu apa datang kerumahku?" ketusku. Aku teruskan saja melangkahkan kaki ini. Sudah tidak kupedulikan dia yang sedang bersusah payah membawa motornya dengan sangat pelan, tepatnya nyaris seperti tidak berjalan.

"Mau tau kabar kamu saja," jawabnya seolah tanpa dosa.

Tidak terasa, sudah sampai di depan rumahku. Suasana rumah terlihat sepi.

"Maaf, sampai di sini aja. Sepertinya rumah sepi, aku nggak bisa menerima tamu laki-laki," ucapku berusaha bersikap ramah kepadanya padahal hatiku kesal.

"Baiklah, aku pamit, ya!"

"Iya, jangan kembali lagi," upatku, menjawab perkataannya.

Setelah Jefan pergi, aku masuk ke rumah tidak lupa mengucapkan salam. Ternyata ada Bapak yang sedang berdiri di balik jendela, mungkin mengintip.

"Itu jefan? Kenapa kamu terlihat kesal, De?" Bapak membuka pembicaraan.

"Dea kesal, Pak. Kuliah keluar negeri dan tidak sanggup LDR itu pasti hanya alasannya aja. Intinya dia tidak mau lagi menerima Dea saat jatuh miskin. Dia malu punya pacar miskin," omelku.

"Nggak boleh nuduh orang sembarangan, nggak baik!" bujuk Bapak.

"Bapak, sih, nggak percaya." Aku meninggalkan bapak yang masih berdiri di dekat jendela.

Guyuran air yang kubutuhkan saat ini, agar tubuhku kembali segar. Cara sederhana ini yang aku anggap bisa menghilangkan rasa penat seharian mengawasa anak di masa aktif-nya.

Pukul satu dini hari aku tersentak dikarenakan suara guruh di langit. Sepertinya di luar sedang angin kencang, terlihat dari kain gorden jendela yang bergoyang.

Bagaimana Malika? Apa terbangun juga? Kalau malam dia tidur sama siapa, ya?

Sebulan sudah menjadi pengasuh Malika, membuat ku semakin dekat dengan bayi itu.

***

Hujan tadi malam seakan enggan untuk berhenti, buktinya sampai pagi ini masih saja hujan turun. Tidak mungkin aku bolos. Menggunakan payung aku mulai meninggalkan rumah menuju jalan raya. Antara angkot dan bus, terserah saja mana yang duluan aku jumpa itu yg kutumpangi.

Setelah berjalan sekitar seratus meter, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Pengendara mobil itu keluar dan ternyata itu Jefan.

"Aku antar, ya? Hujan-hujan gini mana ada angkot jalan."

Boleh juga tawarannya, dari pada terlambat tiba di rumah Om Yudi lebih baik aku terima saja tawaran Jefan.

***

"Siapa yang ngantar kamu? Pacar kamu, ya?" tanya Om Yudi sesaat setelah mobil Jefan menjauh.

"Siapa, Om?" Aku malah balik bertanya.

"Ya, kamu, emang ada siapa lagi di sini?" Om Yudi kelihatan sewot.

"Oh, nanya Dea, toh. Itu ojek online, Om," kilahku. Malas banget harus ngakuin Jefan mantanku.

"Kan kamu bisa minta jemput, daripada buang-buang uang bayar ojek," omel Om Yudi sambil melangkah masuk ke dalam rumah. "Ngapain kamu diam di situ? Itu Lika belum mandi," teriak Om Yudi.

Dasar bapak-bapak aneh, kenapa dia mesti sewot gitu.

pekanbaru, 15 April 2021

By: Yati Suryati

Terpopuler

Comments

Nuranita

Nuranita

tanda cemburu itu atuh....sayangx mba dea ga menyadarix😁😁😁😁😁😁😁

2022-10-14

0

Hadijah Ija

Hadijah Ija

hahahaaa om dudax cemburu nih yee😀😀

2022-02-19

0

Suryani Leksono

Suryani Leksono

udah naruh hati tu kayak nya om yudi

2022-02-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!