Om Duda Teman Bapak
Part 4
Sebelum Azan Subuh berkumandang, aku sudah di dapur menyiapkan sarapan sekalian makan siang. Untuk menghemat pengeluaran menu sarapan disamakan saja dengan menu makan siang. Hari pertama kerja, pukul 06.30 Om Yudi akan menjeputku, karena aku belum tahu dimana rumah Om Yudi. Untuk selanjutnya aku akan berangkat sendiri.
"Pagi-pagi sudah selesai masak, De?" suara bapak mengagetkanku.
"Eh, Bapak. Iya, Pak. Hari ini, hari pertama Dea kerja di rumah Om Yudi. Dia setuju Dea pulang hari," ucapku penuh semangat.
"Maaf, 'kan, Bapak, De!" terlihat bapak menghelah nafas sepertinya berat. Lelaki paruh baya di depanku menekukkan kepalanya, seolah menggambil jedah. "Seharusnya kamu sekarang kuliah."
"Dea nggak apa-apa, Pak. Mungkin ini udah jalan hidup kita, sabar aja, Pak. Emak selalu bilang ke Dea 'Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan umatnya'"
Azan Subuh berkumandang, Widi keluar dari kamar sambil membawa handuk yang diletakkan di atas bahunya.
"Semangat banget, ya. Ini semangat mau kerjanya apa semangat lihat om ganteng?" ledek Widi sambil menyenhgol pinggangku dengan sikunya.
"Sudah pernah kena siram kuah gulai panas?" geramku atas ucapan Widi.
Widi tertawa puas melihat aku marah. Dia berlari menuju kamar mandi sambil berteriak "Canda Om ganteng."
"Eh, nanti pulang sekolah, masak untuk makan malam, ya, Widi yang cantik!" teriakku sebelum Widi masuk ke kamar mandi.
"Iya, iya, kakak cerewet." ledek Widi dan iya bergegas menutup pintu kamar mandi. Takut-takut ada centong sayur terbang.
Sebelum pukul setengah tujuh, semua pekerjaan rumah sudah beres, aku pun berpakaian rapi. Seperti biasa bapak selalu duduk di teras depan ditemani segelas kopi hitam. Kulihat lamunannya begitu jauh, pandangannya begitu kosong. Mungkin bapak belum bisa sepenuhnya ikhlas atas takdirnya.
"Roda kehidupan itu berputar, Pak. Sekarang kita lagi di bawah tapi setidaknya kita pernah berada di atas."
Ucapanku seperti mengagetkan bapak.
"Sudah siap, De?" tanya bapak yang kujawab dengan anggukan. "Kamu kerja yang bagus, ya, Nak! Kamu juga harus sabar, bagaimana pun Yudi itu sudah jadi orang kaya, sudah sukses, bisa saja orang miskin seperti kita tidak dianggap!" Lanjut Bapak memberi wejangan kepadaku.
Tidak selang beberapa lama, Om Yudi tiba di rumah, setelah berbasa-basi kepada bapak akhirnya kami berpamitan. Mobil melaju, membelah jalanan yang mulai ramai bertanda hari akan dimulai.
Tiga puluh menit mobil ini memasuki sebuah rumah berpagar tinggi dengan design minimalis modern. Rumah ini jika dilihat dari luar tampak kecil tetapi setelah kita berada di dalamnya ternyata rumah ini luas dan terdiri dari dua lantai.
"Ini Bik Ina," ucap Om Yudi mengenalkan wanita paruh baya yang sedang menggendong anak bayi. "Bik Ina sudah lama bekerja dengan saya," terang Om Yudi.
"Assalamualaikum, Bu" sapaku santun. Mengulurkan tangan kanan lalu kucium punggung tangan Bu Ina. "Saya Dea, Bu. Boleh saya memanggil ibu?" Wanita ini mengingatkanku pada sosok ibu.
"Boleh saja, Nak Dea!" jawab Bik Ina.
Acara perkenalan pun usai, sekarang giliran Bik Ina menjelaskan apa-apa saja yang harus dan tidak harus kulakukan dalam mengurus anak Om Yudi.
Anak perempuan sangat cantik, seperti foto-foto bayi yang sering muncul di media sosial. Pipi caby, badan montok, pokoknya menggemaskan.
"Sudah diterangkan semuanya, Bi?" tanya Om Yudi saat menuruni anak tangganya.
"Sudah, Den. Bibik lanjut ngurusi cucian dulu, ya?"
"Silahkan, Bik," jawab Om Yudi.
Saat ini anak Om Yudi sudah ada di gendonganku. Aku telah selesai menyuapkannya makan, enam bulan umur yang tepat untuk MPASI. Aku lihat MPASI-nya masih makanan instan, aku bertekad akan membuatkannya MPASI homemade.
Bermodal wifi di rumah ini, aku bisa bergabung di grop MPASI homemade yang bertebaran di media sosial menggunakan ponsel retak seribu milikku.
"Om, nama anak Om ini siapa?" tanyaku.
"Malika ...."
"Kedelai hitam yang dirawat seperti anak sendiri," ceplosku.
Sontak Om Yudi membulatkan matanya. Ah, bodohnya aku. Kenapa keceplosan begitu. Ini semua karena iklan kecap itu.
"Dea, Tidurkan Malika dulu, Om," elakku dan langsung kabur ke kamar Malika menggunankan kekuatan angin dan kecematan suara.
"Bik! Saya pergi kerja dulu. Awasi anak saya, ya! Kalau ada apa-apa dengan Lika, jitak aja kepala Dea itu." Sontak aku memegang kepala yang tidak sakit karena memang belum di apa-apakan.
Saat aku masih memegang kepala, tiba-tiba pintu kamar terbuka.
"Kenapa lagi, Om?" cercahku saat melihat yang membuka pintu itu ternyata Om Yudi.
"Suka-suka saya, dong. Toh, ini kamar anak saya," celetuk Om Yudi. "Nanti saya video call, tolong angkat! Saya mau tahu kegiatan anak saya," perintah Om Yudi, padahal ponselku tidak jelas lagi untuk video call tetapi sudahlah, biarin saja. Daripada disuruhnya ganti HP, uang dari mana?
***
Pukul 17.00 Malika sudah selesai aku mandikan, dia sudah terlihat begitu imut tetapi bapak si anak ini belum juga terlihat batang hidungnya di rumah ini. Mana bisa aku pulang kalau Om Yudi belum sampai di rumah.
Hari sudah mulai gelap, barulah ku dengar suara mobil Om Yudi memasuki halaman rumah. Hatiku legah, akhirnya dia pulang juga.
"De, Dea!" teriaknya, ah menyebalkan karena suaranya mengagetkan Malika yang sedang tidur.
"Bisa santuy sedikit, nggak, Om? Jadi bangunkan Lika," omelku.
"Kamu sudah mandi belum?"
"Sudah, kenapa Om nanya-nanya?"
"Jangan ke PD-an, malam ini jadwal imunisasi Malika, saya sudah reservasi. Kamu yang gendong Malika!"
Sudah malam gini, bisikku. Eh, ternyata Om Yudi mendengar. "Saya hitung lembur. Uang lembur langsung saya kasih, nggak usah nunggu sebulan."
Mendengar kata-kata uang lembur, aku langsung semangat.
Setibanya diklinik dokter anak, kami mesti mengatri juga sekitar dua nomor.
Ruang tunggu yang cukup nyaman, sofa besar bisa untuk merebahkan bayi dan ada juga arena playground-nya. Kebetulan Malika sedang tidur, aku rebahkan di sebelah aku duduk dan ada seorang wanita yang dipanggil Oma oleh cucunya tadi melihatku sambil tersenyum.
"Anaknya sakit, Dek?" sapa wanita tersebut.
"Bukan, Bu. Cuma mau imunisasi," jawabku dengan cukup ramah.
"Anak keberapa ini?" Kembali dia bertanya.
Aku mulai bingung menjawabnya, "Saya baby sitter-nya, Bu."
"Oh, Maaf, saya kira ibu anak ini, soalnya nggak seperti baby sitter dengan majikan, malah seperti suami istri, sama-sama cakep," cerocos Oma itu.
Kulihat Om Yudi berusaha menahan tawanya. Aku menyikut lengan Om Yudi. Membuat dia hampir Oleng.
***
"Om, Dea takut Bapak marah, ini sudah malam," lirihku, saat aku lirik jam digital yang berada dipemutar musik mobil Om Yudi.
"Tadi sore, saya sudah bilang ke Pak Bani jadi kamu jangan khawatir!" Om Yudi menyerahkan dua lembar uang gambar Bapak Proklamator RI sebelum dia menyalakan mesin mobil.
"Banyak banget, Om?" Aku heran. Dia hanya membalas dengan senyuman.
Pekanbaru, 06 April 2020
By : Yati Suryati
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Nuranita
terima aja atuh neng....kn rezeki....ga boleh di tolak okey
2022-10-14
0
Nurlaila Ginting
kayak ada lucu lucunya (kayak ada manis manisnya 😁)
2022-02-28
0
Nurlaila Ginting
engga tau kenapa aku spontan ngakak 😂😂😂😂
2022-02-28
1