"Aku harus kuat, aku mampu, aku pasti bisa". aku berusaha menyemangati diriku sendiri, karena jika aku ikut terpuruk bagaimana nasib mama dan juga adikku Bimo. Aku pun mengusap air mataku kembali dan menghampiri Bimo, memintanya untuk bangun dan berdiri. "Ayo Bimo bangun, jangan jadi cengeng, Aku tau kamu sedih tapi pikir kan mama jika kamu seperti ini, itu hanya akan menambah beban mama dan aku". Panggilanku diacuhkannya, Bimo tetap tak bergeming dari duduknya. Aku pun menyerah dan memilih duduk di kursi depan kamar papa sambil memandangi suster yang wara wiri ntah apa yang mereka lakukan.
Sampai akhirnya dokter Imran keluar dari ruang rawat ICU papa, aku bergegas menghampirim dokter Imran. "Om Imran, bagaimana kondisi papa?" tanyaku mulai khawatir karena kulihat peluh dokter Imran dan juga guratan kelelahan pada wajahnya nampak begitu nyata.
"Papa mu baru saja mengalamin gunjangan yang mengakibatan ganguan jalan nafas sehingga hampir saja kita kehilangan papa mu...tapi syukur lah sekarang bapak Aghata sudah kembali pada kondisi stabil walau belum keluar dari masa kritisnya".
"Hampir kehilangan papa", gumamku yang masih terdengar dokter Imran, air mata meluncur begitu saja di pipiku dan lututku lemas rasa aku tak mampu berdiri setelah mendengar penuturan dokter Imran, sepertinya aku akan jatuh hingga tangan dokter Imran berhasil menggapai tubuh ku, menopangnya dan memberiku tempat bersandar agar tak terjatuh karena shock mendengar penuturannya.
Aku menangis dalam pelukan om Imran, sahabat baik papa sekaligus dokter yang selalu merawat papa. "Menangislah tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan, semua yang terjadi sudah digariskan oleh tuhan, kamu harus kuat dan belajarlah untuk kuat demi mama dan adik mu, sekarang kamu adalah tempat mereka bersandar dan bergantung". Aku hanya diam dan menganggukan kepala mendengar penuturan Om Imran yang membuatku tersadar dan harus bangkit dari keterpurukan. "Benar kata om Imran, Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus merencanakan hidup kami bertiga agar mampu bertahan hingga papa benar-benar pulih dan sehat kembali". Dengan keyakinan penuh dan demi orang-orang yang ku sayangi, Aku harus kuat menghadapi ujian hidup ini. "Semangat Lia" gumamku yang hanya terdengar diriku saja.
melihatku yang sudah lebih baik, om Imran pun pamit untuk kembali ke ruangannya. Aku pun kembali menghampiri Bimo yang masih berada di posisi yang sama saat aku tinggalkan. Aku hanya duduk diam di kursi ruang tunggu tidak jauh dari Bimo duduk dan juga masih bisa tetap menatap dari luar kamar rawat papa.
Tiba-tiba suara lelaki paruh baya membuyarkan lamunanku, "Neng Lia, ini ransum dan baju titipan ibu untuk neng Lia dan den Bimo, kata ibu jangan sampai tidak dimakan karena merawat orang sakit itu butuh energi, jangan sampai neng Lia dan den Bimo jadi ikutan sakit". ucap mang Ujang sambil menyodorkan ransum dan tas jinjing titipan mama. Aku pun menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
"Mama gimna mang?". tanyaku khawatir kalau mama terus bersedih dan tak kuat menerima cobaan ini.
"Ibu baik-baik saja neng, sebelum saya kesini ibu sudah makan, saat saya antar pulang ibu juga banyak bicara, neng Lia nggak perlu khawatir, nampaknya ibu tegar menerima kenyataan ini". ucapan mang Ujang membuatku tak percaya bahwa mama bisa setegar itu.
"bukankah mama sangat rapuh?" pikiranku menerawang jauh, teringat kejadian beberapa tahun lalu, saat mama kehilangan adik bungsuku yang harus dikuret karena mama terjatuh dan mengalami pendarahan hebat. Mama sampai tak makan dan keluar dari kamar seminggu. sebulan lebih mama tak bicara dan mengacuhkan aku dan juga Bimo, sampai papa memanggil psikiater untuk membantu mama pulih. kata papa, mama memang memiliki trauma tentang kehilangan. Semua berawal saat mama masih SMA dan harus kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan dan mama sendiri harus koma berminggu-minggu di rumah sakit, begitu sadar justru meneriman kenyataan pahit jadi anak sebatang kara.
Papa lah yang selalu ada untuk mama, menemani hari-hari mama karena mereka bertetangga sekaligus teman satu sekolah walau mama dua tingkat dibawah papa, sampai akhirnya mereka jatuh cinta lalu menikah dan kami pun hadir dalam hidup mereka.
"Apa benar mama setegar itu?". gumamku yang terdengar mang Ujang. "Iya neng, mamang nggak bohong". jelas mang ucang.
"Bukan...bukan maksud Lia nuduh mang Ujang bohong, cuma Lia merasa agak kaget aja kalau semua yang mang Ujang ceritakan benar-benar terjadi. "Nggak usah kaget atuh neng, disyukuri saja setidaknya musibah ini bisa membuat ibu lebih tegar dan ikhlas" , "kalau mamang rasa, ibu justru cemas pada neng Lia dan juga den Bimo, kalau mamang simpulkan dari ucapan ibu saat dimobil menuju rumah tadi". Cerita mang Ujang, mengagetkan ku. Mama tegar karena khawatir pada kami, aku harus lebih tegar agar mama tidak terpuruk, "Badai pasti berlalu Lia". pikirku optimis.
"Makasih ya mang, sudah selalu ada membantu kami selama ini". ucapku sambil memeluk mang Ujang.
"Sama-sama neng, apa yang mamang lakukan nggak berarti apa-apa dibandingkan apa yang mamang terima dari keluarga neng. Kalau dulu almarhum kakek neng Lia ayah dari pak Aghata Wicaksana tidak membawa saya kerumahnya dan memberi saya tempat tinggal, memperlakukan saya dengan baik, mungkin saat ini saya masih tinggal dijalan dan jadi tunawisma". "Kakek neng, membawa mamang dari jalanan saat itu deras mamang nggak tau mau kemana, mamang nggak punya tempat tinggal, mamang kabur dari rumah paman mamang, istrinya kejam sekali saat itu usia mamang baru lima tahun, istri paman mamang tidak suka mamang tinggal dengan mereka sejak kedua orang tua mamang meninggal, mamang sering disiksa dan tidak diberi makan, saat mamang kabur udah dua hari belum makan jadi mamang pingsan dipinggir jalan, sejak saat itu mamang bersumpah akan mengabdi pada pak Wicaksana dan anak cucunya". Cerita mang Ujang membuatku tercengang, aku sungguh tak pernah tau asal muasal mang Ujang bekerja dengan papa.
"Jadi neng nggak usaha khawatir mamang akan terus ikut kalian kemana pun, dan ini ATM mamang PINnya 150675, tanggal dimana pak Wicaksana menyelamatkan mamang. Neng Lia pakai saja, semua uang ini berasal dari kakek dan juga papa neng Lia untuk mamang tapi sama sekali mamang tidak gunakan karena semua kebutuhan mamang sudah terpenuhi dari mamang kecil semuanya sudah disediakan, makan, tempat tinggal, bahkan pakaian". ucap mang ujang sambil menyerahkan sebuah ATM, aku tak mampu berkata-kata hanya menatap mang Ujang tak percaya ada orang yang begitu setia padahal selama ini mang Ujang hanyalah supir dirumah kami, tapi ada orang yang menggigit dan menghianati kami padahal dia diberi posisi tinggi dan memiliki harta berlimpah. "Inilah hidup Lia, tidak semua yang nampak indah itu benar-benar indah dan tidak semua yang tak bernilai itu tak berharga, itulah gunanya kita selalu menghormati orang lain dan tidak menilai mereka dari luar saja". Bathin ku sambil tersenyum pada mang Ujang.
"Simpan lah ATM ini kembali mang, Lia belum membutuhkannya. Pemberian Papa untuk Lia masih lebih dari cukup untuk kebutuhan saat ini". Ucapku bahagia atas perhatian mang Ujang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 285 Episodes
Comments
Manami Slyterin
semangat kakak ..jangan lupa main ke rmh ku eh novel ku😉😍
2021-08-12
1
Mala Mala Sdj
kartu apa yg diblokir..cc? Asuransi kesehatan pribadi ga punya jg ya thor.. apa krn trllu kaya jd ngandelin cc or debit aja?
2021-06-21
1