"kalian tidak perlu khawatir, bapak punya sebuah villa yang dulu dibelinya tapi menggunakan nama mu Lia". ucapan om Bram seperti oase ditengah padang pasir. "itu adalah satu-satunya milik bapak yang tidak disita bank, karena membelinya menggunakan uang dari rekening pribadi yang bapak buat juga atas nama nak Lia". "rekening atas namaku?" gumamku yang masih terdengar om Bram.
"iya nak, sejak kamu lahir bapak membuat rekening pribadi atas nama mu yg tiap bulannya 5% dari penghasilan bapak disetorkan secara tunai kerekening tersebut oleh asisten pribadi bapak atau sekretarisnya, sehingga pihak pengadilan tidak bisa menyita villa itu". jelas om Bram panjang lebar.
aku dan mama hanya pandang-pandangan dalam diam mendengar penjelasan om Bram, rasanya benar-benar tak bisa dipercaya papa mempersiapkan ini semua seakan-akan tahu suatu hari nanti akan ada musibah yang menyulitkan kami sekeluarga. "apa papa tau niat om Anton sejak lama?" pikiran ku mulai berkelana dan getaran handphone menyadarkan ku dari lamunan.
"Halo kak Lia, mama dimana? kenapa tidak ada dirumah? tidak biasanya mama pergi tanpa ada yang tau" "jawab kak, jangan diam saja". crocos Bimo ditelpon tak membariku kesempatan bicara.
"Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan mu?, kamu bertanya seperti polisi sedang mengintrogasi seorang penjahat...begitu banyak pertanyaan tanpa memberiku waktu untuk menjawab sedikit pun, lalu mengeluh aku diam saja...Huufft". gerutu ku sambil menghembuskan nafas.
"oke, maaf" "sekarang jawab lah pertanyaanku dimana mama? kenapa bi Minah bilang mama pergi dengan mang Ujang tergesa-gesa setalah menerima telphon tanpa memberi tahu bi Minah mama mau kemana" crocosan Bimo lagi dan lagi, anak ini memang kalau sudah buka suara sulit sekali berhenti bicara.
"kalau mau ku jawab pertanyaan mu, diam lah dulu" pintaku pada Bimo.
"Hhhmm.." gumam Bimo
"mama bersama ku di RS XY, papa kena serangan jantung dan sekarang di ICU kondisinya kritis masih belum sadarkan diri". jelasku pada Bimo.
"Jangan bercanda kak, aku serius ini" keluh Bimo mulai gusar.
"Aku tidak bercanda Bimo Agatha Wicaksana" ucapku pada Bimo, membuat Bimo berteriak histeris di ujung telphon.
"Bohong....aku tidak percaya semua ucapan mu kak" "kakak hanya bercanda kan?". teriak Bimo berharap semua tidak benar. "sesungguhnya aku pun berharap demikian, semua hanya mimpi dan kebohongan belaka". ucapku lirih pada Bimo.
"Kamu ke RS XY sekarang biar mang Ujang menjemput mu, ada banyak hal yang mau kakak beri tahu pada mu" pintaku pada Bimo sebelum menutup telphon mengakhiri pembicaraan. lalu aku mendekati mama yang masih duduk termenung disebelah om Bram.
"mam, mama pulang lah dulu dengan mang Ujang, biar malam ini Lia yang menjaga papa" mohonku pada mama. tapi mama menggelengkan kepalanya.
"ma, istirahatlah dulu di rumah...papa akan baik-biak saja" jelasku berharap mama mau pulang, lagi-lagi dibalas gelengan kepala oleh mama. akhirnya om Bram buka suara membantuku meminta mama pulang untuk istirahat karena di rumah sakit pun tak ada yang bisa mama lakukan.
"Baiklah mama pulang dulu kalau begitu, mama akan kirim baju dan juga makanan untuk mu". ucap mama sambil mengecup keningku dan kemudian berlalu usai memeluk ku.
aku melihat tubuh mama yang mulai menghilang di koridor rumah sakit. Ada rasa gundah dan khawatir mama tak mampu melalui ujian ini semua. "Hhhffft..." tarikan nafas ku membuat om Bram bersuara dari diamnya.
"kenapa nak?" "Bersabarlah tidak ada badai yang berlangsung selamanya" "selalu ada pelangi usia badai, yakin lah" hibur om Bram sambil merangkul pundak ku.
Om Bram memang sudah seperti ayah kedua bagiku, sayang anak Om Bram juga wanita andai Pria mungkin kami akan dijodohkan kedua orang tua kami, karena selain hubungan kerja mereka juga sahabat dari SMA, itu sebabnya om Bram pun kaget mendengar berita om Anton menghianati papa.
"ada yang mau om Bram katakan pada mu dan juga menyerahkan beberapa berkas pada mu" ucap om Bram sambil mencari-cari berkas dalam tas jinjingnya.
"Ada apa lagi Om?" "apa ada hal buruk lainnya yang mama tidak boleh tahu?" tanyaku mulai khawatir.
"tidak nak, ini sertifikat villa atas namamu sekarang om serahkan pada mu". aku pun menerima sertifikat villa itu dan juga menandatangani berkas tanda sudah menerima sertifikat villa. aku hanya melamun menatap sertifikat villa yang entah karena alasan apa disiapkan papa untuk ku.
"kenapa nak? wajah mu nampak tak senang menerima pemberian papamu".
"bukan begitu om, cuma heran kenapa papa bisa kepikiran membelikan villa atas nama ku?" "apa papa jangan-jangan selama ini sudah membaca niat buruk om Anton ya om Bram?".
"yang om tau saat papa mu memutuskan melakukan ini semua dia bilang tidak ada kejayaan yang kekal, maka ia ingin memastikan anak dan istriku tidak sengsara saat hal buruk menimpanya ataupun perusahaan". cerita om Bram padaku.
"satu lagi villa itu sudah siap huni di dalamnya sudah ada perabotan dan juga penjaga yang slalu membersihkan villa itu jadi kalian bisa kapan pun masuk ke villa itu, walaupun villa itu tak sebesar dan luas rumah yang kalian tempati saat ini tapi villa itu sangat nyaman untuk ditempati dan juga lebih dari cukup untuk kalian tinggali dan ini satu lagi kunci mobil plus STNK dan BPKBnya, ini pun atas nama mu". ucap om Bram sambil menyerahkan kunci mobil Honda City dan berkas²nya.
"Om ini, baru dibeli beberapa bulan lalu? memang tidak kena sita?" tanyaku heran.
"Tidak karen ini dibeli atas nama mu dari rekening Pribadi mu yang bapak bikin bertahun-tahun lalu". "ini buku tabungan dan ATMnya, pin ATMnya tanggal lahirmu. Didalamnya masih ada sisa beberapa milyar, bisa untuk pengobatan bapak dan juga untuk biaya kuliah mu dan juga Bimo".Jelas om Bram.
lalu aku membuka buku rekening tersebut. "Ternyata benar isinya ratusan juta, memang cukup untuk biaya kuliah ku dan Bimo tapi bagaimana dengan biaya rumah sakit papa? ruang ICU pasti membutuhkan uang banyak. tapi kuliah ku sebentar lagi selesai tinggal 3 semester lagi jika tidak ku lanjutkan sayang sekali. ijazah itu bisa ku gunakan untuk mencari pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan mama dan juga Bimo karena aku tidak tau sampai kapan papa di ICU, ya Tuhan apa yang harus aku lakukan?". pikiran ku sudah kacau tidak karuan.
"Kenapa nak, kamu terlihat gusar?" tanya om Bram melihat kegundahan hatiku.
"aku bingung Om apa yang harus aku lakukan, biaya ruang ICU papa pastilah tak murah, kantor papa pasti tidak akan membayar biaya rumah sakit untuk merawat papa kan om?" tanyaku lirih. om Bram hanya menganggukan kepala tanda benar apa yang aku ucapkan.
"Itu Bimo datang, bicarakan lah masalah ini dengan adik mu bagaimana baiknya". "Om pamit dulu, besok om akan mampir kesini lagi".ucap om Bram sambil berdirj dan menghampiri Bimo untuk pamit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 285 Episodes
Comments