Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kamar milik Vino. Pria itu mengerjapkan mata beberapa kali. Silau akan cahaya sang surya yang dengan berani mengganggu mimpi indahnya.
Dia melihat sekilas siluet tubuh seorang wanita yang sedang menyibakkan korden jendela. Diambilnya bantal untuk menutup wajahnya agar terhalang dari cahaya.
"Kan sudah saya bilang, Mbok! Hari ini, saya libur kerja." Menyangka jika wanita semok yang berada di kamarnya adalah pembantu gembul di rumahnya.
"Mau sampai kapan, kamu akan tidur terus? Sudah siang lho ini. Menjelang sore malahan." Wanita itu melihat jam di pergelangan tangan. Lalu, mengambil minuman di atas nakas.
"Kak, Vanka!" cicit Vino sambil membuang asal bantal di wajahnya, setelah itu, dia berusaha bangkit sambil berusaha menyatukan nyawanya yang tercecer. Kepalanya masih terasa pusing, oleh air setan yang ditenggaknya semalam.
"Kamu mabuk ya, semalam?" tanya Vanka sambil menyodorkan segelas jus lemon ke arah Vino. Yang ditanya hanya mengangguk sambil menerima gelas pemberian kakaknya.
"Maaf, aku tidak bisa menyaksikan langsung malam penghargaanmu," Vanka tersenyum tipis, ada rasa bangga saat ini melihat pencapaian adiknya.
"Hemmh!" Vino memijit kepalanya yang masih pening.
"Pagi-pagi gini kok, kakak ada di sini?"
"Wooooiiii! Tiger( tinggi gering) bangun mangkanya jangan tidur melulu sudah jam berapa ini?" menoel-noel lalu menepuk pipi Vino dengan satu tangan kanannya.
Vino di masa remaja memang tidak seatletis dirinya sekarang. Vino sejak dulu memang tumbuh dengan postur tubuh yang tinggi, tapi dia begitu kurus sehingga kakek dan kakaknya menjulukinya dengan kata Tiger(tinggi gering) yang sama dengan artinya kurus.
"Owhh!" Vino masih malas malasan.
"Bangun, cepetan, mandi sono, bau banget luh!" Vanka menutup hidungnya sendiri, bau alkohol dan bau keringat bersatu menyerang indera penciumannya.
"Kakak, ngapain kemari? Sama siapa tadi?" Kali ini Vino mengacak rambutnya.
"Aku bareng, papa tadi...!"
"Dasar anak manja! Bilang saja minta dijemput papa!" cicit Vino yang langsung mendapat tampolan kecil dari Vanka.
"Bodo amat, guakan anak tercantik nya, Papa!" Pedenya kumat.
"Iyalah, cantik saudaranya ganteng semua, dasar, Kucing(kurus, cingker)." Vanka seketika mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah sang adik.
Kucing (kurus cingker) orang Jawa biasa menyebut cangkir dengan kata 'cingker'. Vino menggunakan itu sebagai julukan untuk Vanka, dia yang memang selalu berbadan gemuk hingga dewasa, kurus cingker, artinya gemuk, karna kebanyakan yang namanya cangkir, tidak memiliki lekukan di bagian tengahnya. Sama halnya dengan badannya orang yang gendut.
"Hei, tapi aku ini beda, biar gendut tapi seksi." Vanka mencak mencak membela dirinya sendiri.
"Mana ada gendut seksi, gendut ya gendut nggak ada seksinya kayak cangkir hahaha!" tertawa lepas. Rasa pusingnya hilang seketika saat melihat kakaknya yang menatapnya dengan kesal.
"Haduh!" tiba-tiba Vanka memegang perutnya.
Beberapa bulan terakhir ini, Vanka memang sering mangalami kram di perutnya. Beberapa kali pula sudah cek ke dokter dan hasilnya tidak ada perubahan. Dokter tidak menemukan jenis penyakit apapun bersarang di perut Vanka.
"Kenapa, kak!" Vino panik sendiri, Vanka sudah rebahan di kasur adiknya.
"Entahlah, ini sering terjadi saat aku kurang istirahat!" terang Vanka. "Tapi jika aku buat rebahan dan di elus elus sama Riki biasanya baikan." Vino segera merapat dan mengelus perut kakaknya.
"Apakah, kakak hamil?" Di rasanya ada pergerakan di perut kakaknya.
"Hamil bagaimana!, kemarin saja kakak masih haid," jelas Vanka. Ya dirinya memang sudah lama menantikan hadirnya seorang anak di dalam keluarganya, tapi mengingat kemarin dia mengeluarkan darah selama satu hari, menggugurkan rasa kepercayaan di hatinya. Padahal dia sudah begitu bersemangat, karena selama enam bulan tidak pernah datang bulan. Dia memang memiliki perbedaan dengan kebanyakan wanita, mereka yang biasanya datang bulan sebulan sekali, tapi Vanka hanya mengalaminya setelah beberapa bulan sekali.
"Tapi ada yang gerak tadi, kakak!" Vino merasakan memang mendapati pergerakan di perut kakaknya walau tidak begitu kuat.
"Sok tahu, kamu!" Menghempaskan tangan adiknya itu.
"Semalam kakak tidak istirahat, mungkin karena itulah, kakak merasakan pegal pegal di punggung kakak, dan berdampak pada perut. Kakak sering merasa letih, Vin. Sudah enam bulan kakak merasakan itu!" Vanka masih rebahan di kasur sang adik.
"Apa yang menggoda dari kakak seh, hingga sampai tidak istirahat semalaman. Berapa ronde kak? Tapi benar tuh si Riki punya kasur pribadi, enak banget dia tidur diatas kasur goyang, Jadi pengen punya istri gendut, pasti empuk." Vino senyum senyum sendiri, karna ucapannya. Sedangkan Vanka memukul lengan adiknya yang mesum itu dengan keras.
"Dasar otak mesum!" Buyar sudah keinginannya untuk bercerita, jika dirinya semalam menemani Riki mengurus jenazah iparnya hingga pemakaman. Lalu dirinya disuruh pulang oleh Riki bareng sama papanya, saat sang papa melayat ke sana.
"Aku tuh sebel sama Mas Riki malahan." Vanka masih mengelus perutnya yang mulai baikan.
"Sebel kenapa?" Vino menguap lebar kali ini.
"Ya...! karena dia tidak mengerti perasaanku saat ini!" Vanka ingin mengatakan jika dirinya ingin sekali menemani Riki di saat sedihnya, tetapi Riki malah menyuruhnya pulang dengan alasan kondisi kesehatan Vanka yang tidak baik. Padahal sebenarnya Vanka merasa betah berada di desa tempat tinggal iparnya itu. Bukan itu seh tujuannya, tapi karena ingin selalu dekat dengan suaminya itu.
"Kalau kakak tidak mengatakannya, bagaimana bisa Mas Riki mengerti?" Vino berpikir kritis memang benarkan. Siapa yang tahu isi hati orang lain, tidakkan.
"Tapi, akhir-akhir ini Mas Riki sibuk terus. Dia jarang punya waktu untuk berdua seharian denganku!" Sebenarnya Vanka tahu apa sebabnya Riki sibuk, selain sebagai dosen juga karna mempersiapkan kepergian Vanka untuk berobat ke Singapura sesuai dengan perintah Mareno. Riki pun harus mencari dosen pengganti selama dia cuti dan mengajari pula asistennya agar mengurus cafe saat Riki pergi nanti.
Dia sebenarnya tidak butuh Vino untuk mengerti apa yang ada di hatinya. Dia hanya butuh teman yang cukup mau mendengar rasa kesal, karena Riki yang tidak mau dia temani di saat berkabung. Dia merasa tidak di butuhkan, tapi dia juga mengerti bahwa Riki melakukan itu karna peduli dan sayang kepadanya. Vanka tidak sadar jika ucapannya saat ini, nantinya akan menimbulkan sebuah masalah di lain hari.
"Sudah jangan sedih. Tidak baik si kucing menangis, nanti kalau kurus gimana, nggak enak kan lihatnya. Si Riki malah nyari kasur lain nanti. Secara kan kasurnya sudah kempes nggak enak buat tiduran hahaha!" Vino mengatakan itu sambil berlari ke arah kamar mandi.
"Hei, Tiger! beranibrani banget kamu ya! awas saja saya sumpahin istri kamu bakal cungkring biar nanti sama kamu kayak angka sebelas berjalan." Vanka melempar bantal ke arah Vino pergi.
"Ya pas lah kak, kakak angka sepuluhnya." Vino mengeraskan suaranya agar terdengar oleh sang kakak.
Vanka malah tersenyum, "Dasar Tiger, eh tapi sejak kapan ya Vino jadi berubah maco dan gagah kayak gitu." gumamnya.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
triana 13
semangat kak
.Mampir ya ke cerita aku
2021-08-03
1
ARSY ALFAZZA
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2021-06-06
1
☪wHEniA1102™◼KB☪
apakah vinka hamil kak
2021-04-17
1