Seorang lelaki jangkung berseragam dinas abdi negara sedang duduk di sofa ruang keluarga, menyesap kopi buatan si ibu.
"Bagaimana pekerjaanmu, Dim?" tanya Ana kepada Dimas, si bungsu, satu-satunya anak lelaki yang ia miliki.
"Baik, Mah!"
"Lalu bagaimana dengan yang lainnya?" tanya Ana lagi sambil duduk di samping Dimas.
"Yang lain? Maksudnya?" Dimas mengangkat alisnya, tak mengerti.
"Usiamu sekarang berapa tahun?" tanya Ana lagi.
"Dua puluh delapan tahun," jawabnya enteng. Memang benar usianya genap di angka dua puluh delapan bulan ini.
"Apa akan terus seperti ini?"
"Seperti ini, gimana?"
"Sampai kapan kamu akan terus sendiri? Ingat umur sudah hampir kepala tiga!" Ana mengingatkan usia Dimas yang sudah tidak muda lagi.
Dimas mulai mengerti arah pembicaraan Ana, tetapi Dimas lebih memilih diam, menikmati manisnya biskuit yang ia celupkan ke dalam kopi.
Bukan kali ini saja, Ana menanyakan perihal rencana kehidupan Dimas ke depannya. Namun, Dimas selalu saja menghindar jika pertanyaannya sudah masuk ke ranah berkeluarga.
"Kopinya manis, Maj, ditambah biskuit kelapa jadi tambah gurih-gurih enyoy!" Dimas mengalihkan pembicaraan Ana.
"Ini biskuit bukan tahu bulat!" gerutu Ana yang kesal kepada anaknya itu, selalu saja menghindar. "Pokoknya Mamah gak mau tahu, tahun ini kamu harus menikah!" ucapnya dengan nada dan wajah serius. Jika Ana memberi ultimatum berarti itu sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.
Ultimatum dari Ana membuat Dimas tersentak dan menyemburkan kopi yang sedang di minumnya, saking kaget.
"Mamah tahu sendiri, bagaimana diriku? Kenapa jadi memaksa kayak gini sich?" Dimas tak suka ucapan terakhir yang terkesan sangat memaksa.
"Terus, mau sampai kapan kamu menunggu wanita yang tak jelas itu?" Ana sudah mulai jengkel dengan sikap keukeuh Dimas yang memilih menunggu wanita yang telah meninggalkannya ketimbang menuruti kemauan orangtua.
"Mah, dia wanita yang jelas. Asal-usulnya juga jelas." Dimas tak terima wanita yang masih ada di dalam hatinya disebut wanita tak jelas oleh ibunya sendiri.
"Jelas, tapi tak jelas ngilang kemana. Sudah tiga tahun kamu menunggunya. Apa dia pernah sekali saja menghubungimu, memberi kabar atau apapun itu. Tidak, 'kan? Dia hilang bagai ditelan bumi." Ana memperjelas ucapannya, sekaligus mengingatkan Dimas sudah sejauh mana anaknya itu menunggu wanita itu. Selama ini ia diam, tapi tidak kali ini. Sudah cukup Ana mentoleri wanita yang telah meninggalkan anaknya itu dan sudah waktunya Dimas untuk move on.
"Mah—"
"Mamah tak perlu jawaban, Mamah hanya mengingatkanmu sudah selama apa dia pergi dari hidupmu." Ana memotong ucapan Dimas yang hendak menyanggah semua kata-katanya.
Dimas membuang napas kasar, tak akan menang jika harus berdebat dengan ibu yang telah melahirkannya itu. Bagi Dimas, Ana sangat pintar bermain kata melebihi seorang pengacara.
"Lihat, Papahmu sudah sakit-sakitan! Apa kamu tak mau mengabulkan keinginannya? Yang selalu berharap bisa menggendong bayi dari istrimu sebelum ia meninggal nanti." Ana mengingatkan Dimas kepada Papahnya yang sudah sering sakit-sakitan karena penyakit jantung yang diderita. "Mamah juga sudah tua. Hari ini masih sehat, tapi besok-besok siapa yang tahu?" lanjutnya lagi, tampak ke khawatiran di wajahnya.
Dimas hanya tertunduk, yang dikatakan ibunya memang benar adanya. Kedua orangtuanya sudah tak muda lagi, apalagi orang yang disebut papah itu, ia sudah sering bolak-balik rumah sakit. Dan ketika terakhir kali masuk rumah sakit ia pernah meminta Dimas untuk segera menikah.
"Aku tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun, Mah! Lagian tidak ada yang mau berhubungan denganku," ujar Dimas dengan maksud menolak secara halus.
"Itu karena dirimu selalu menjauh dari mereka yang mencoba mendekatimu," timpal Ana.
"Aku menjauh karena ada alasannya juga"
"Diamlah, Mamah tak mau berdebat dengan kali ini. Sekarang Mamah cuma mau bilang kalau Mamah sudah punya calon untukmu dan mau tidak mau kamu harus menerimanya," tegas Ana tak mau ada penolakan.
"Calon gimana maksudnya, Mah? Kenapa main putusin sendiri?"
"Kalau bukan Mamah yang putuskan, siapa lagu? Nunggu kamu mengambil keputusan, sampai gajah bersayap pun tidak akan ada yang namanya keputusan."
"Tapi aku tidak mengenal gadis pilihan Mamah, wajahnya saja aku tak tahu. Mah pikir ulang, ya!" Dimas benar-benar berharap ibunya bisa berubah pikiran.
"Kata siapa kamu belum pernah bertemu? kalian bertemu minggu lalu," imbuh Ana yang membuat Dimas memutar ingatannya mundur satu minggu ke belakang.
"Mamah tak pernah mengenalkanku kepada siapapun." Dimas ingat, tidak ada satu wanita pun yang Ana ajak untuk menemuinya.
"Memang Mamah tak pernah mengenalkannya padamu, Mamah juga baru bertemu dia minggu lalu bareng sama kamu. Tapi Mamah yakin dia pasti cocok sama kamu," tutur Ana lagi yang sebenarnya dia juga baru bertemu satu kali dengan orang yang disebut calon menantu oleh dirinya itu.
"Maksud Mamah?" Dimas semakin tak mengerti jalan pikiran ibu kandungnya.
"Dia gadis yang kamu tilang, ketika kamu menilang Mamah juga hari itu." Ana mengingatkan kejadian satu minggu ke belakang.
"Apa?? Yang benar saja, Mamah mau menjodohkanku dengan gadis ceroboh itu?" Dimas tak terima bila harus dijodohkan dengan wanita seceroboh gadis itu.
"Keputusan final." Ana mengetuk meja tiga kali.
Happy reading ..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Sartika Fajar
kapan gajah punya sayap y thor???🤔🤔🤔🤔🤭🤭🤭🤭😉😉😉😉
2022-03-30
0
U2N NAYAH
udh Kya sidang aj ,pke ktok meja,,🤭🤭🤭
2022-01-06
0
Priatin Ningsih
Daebak Sidang tanpa pembelaan langsung putusan,,,,
2021-11-12
0