“Aku tidak peduli, aku mau ini selesai dalam satu minggu.” Lelaki itu berkata dengan nada angkuhnya.
“Kenapa anda angkuh sekali tuan? Mana mungkin kami bisa menyelesaikan ini dalam waktu satu minggu? Cari saja agensi lain. Saya yakin tidak ada orang gila yang mau melakukan ini.” Ucap seorang gadis frustasi, dia adalah Efira. Seperti rencananya, Efira datang ke tempat kliennya setelah mendarat dari Amerika.
Lalu apa sekarang? Gadis itu bahkan mengeluarkan tanduknya atas permintaan kliennya. Dengan sangat berani mengerang dan menatap tajam kliennya. Pasalnya, lelaki itu adalah Rian Bianjaya, CEO Bianjaya Group. Agensi majalah ternama di Jepang.
Tuan Rian terkekeh pelan mendengar protes dari rekannya.
“Jangan menatapku seperti itu dan bersikaplah profesional. Itu jelas sudah sangat sebanding dengan imbalannya kan?”
Memang imbalan yang anda tawarkan sangat menggiurkan jiwa tuan tapi, anda sudah gila jika menginginkan rancangan itu selesai dalam waktu satu minggu. Efira terus berceloteh di pikirannya, menjawab pernyataan tuan Rian itu di hatinya.
“Jadi, bagaimana nona? Kau tidak sendirian bukan? Rekanmu pasti akan mebantumu bukan?” Ucap tuan Rian, mempertanyakan persetujuan rekannya. Tuan Rian tau bahwa gadis di hadapannya ini bukanlah seseorang yang harusnya datang, dia bukan sekretaris Bianca, gadis ini adalah pengganti, begitu pikir tuan Rian saat Efira memasuki ruangannya tadi.
Hei, kau tidak lihat? Apa kau melihat orang lain datang bersamaku? Apa kau melihat roh Elena di sampingku? Aku sendirian menemuimu tuan!
Salahkan otak Efira yang dengan kurang ajar menjawab setiap ucapan dari tuan Rian.
“Menurut anda orang sinting mana yang mau mengerjakan itu dalam waktu yang sangat singkat tuan?” Jawab Efira.
“Aku hanya menginginkan ke-profesionalan desainer terbaik agensi selain Elena.”
Deg
Tuan Rian tau bahwa dirinya bukan Elena, bukan sekretaris nona Bianca.
“Jadi bagaimana nona? Ah, siapa namamu?”
“Efira Javonte.”
“Aku menunggu jawabanmu sebagai seorang rekan kerja, Kuharap kau dapat berlaku profesional sesuai dengan tujuanmu datang kemari.”
Tuan Rian memberikan senyum remeh di akhir kalimatnya.
Kurang ajar, apa aku sedang diremehkan? Pikir Efira.
“Baiklah, 10 menit silahkan diskusikan dengan rekanmu di Amerika." Lanjut tuan Rian saat mengerti ekspresi tajam Efira.
Oke, 10 menit mari hubungi Elena dan memakinya habis-habisan, kurasa dia salah mengirimku kemari. Pikir Efira lalu berlalu menuju balkon ruangan tuan Rian.
Ya, tuan Rian itu tidak memperbolehkannya keluar dari ruangan ini.
Saat ini, Elena yang berada di Amerika sedang mengurus pekerjaan atasannya sekaligus pekerjaannya sendiri tengah dibuat sibuk sendiri, hingga tak sempat melihat ponselnya. Bahkan meskipun ponselnya terus berdering, tidak dihiraukan.
“Cepat angkat, Elena!” Gumam Efira, masih terus mencoba menghubungi rekannya.
Sampai di titik Efira hampir menyerah, “Baiklah sekali lagi”. Gadis itu kembali menghubungi Elena untuk yang terakhir kalinya.
'Halo.'
“Kemana saja kau ini ha?” Teriak Efira, tidak peduli jika pemilik ruangan mendengarnya.
'Maafkan aku, aku masih bekerja bahkan di malam hari begini. Aish. Ada apa?'
Jujur saja, sebenarnya Efira tidak peduli dengan keluhan Elena, “CEO itu ingin kita menyelesaikan rancangannya dalam satu minggu. Coba katakan, apa yang lebih gila dari itu?” Gadis itu sedikit memelankan suaranya, tentu saja begitu, dia sedang mengutuk CEO tampan yang menjadi calon kliennya saat ini.
'Efira, ini sudah menjadi tugasmu. Terserah padamu saja bagaimana baiknya. Aku tau ini sedikit berat. Tapi, aku harap kau mengambil keputusan yang tepat.'
Efira menghembuskan nafasnya kasar. Ya, ini memang tugasnya tapi, ini di luar nalar manusia. Apa menurut tuan Rian dirinya sedang berada di jaman Roro Jonggrang? Dimana Efira adalah sang iblis yang harus menyelesaikan tugas dalam waktu singkat, meskipun bukan satu malam. Tapi, satu minggu? Merancang 3 buah gaun?
Ya Tuhan.
Efira ingin berteriak pada lawan bicaranya misalnya, ‘Seharusnya kau tidak mengirimku kesini atau setidaknya berikan aku rancangan busanamu dan aku hanya tinggal menyelesaikan sisanya.’
“Ah, tidak ada gunanya bicara denganmu. Baiklah, semoga harimu menyenangkan nona Elena.” Efira tersenyum kecut lalu menutup panggilan mereka.
Lalu?
Sekarang harus bagaimana?
Gadis itu kembali masuk ke ruangan tuan Rian. Terlihat lelaki itu sedang sibuk dengan laptopnya, meneliti setiap berkas yang menumpuk di mejanya.
Sebenarnya lelaki itu tampan jika tidak menyebalkan. Batin Efira.
“Kau telat 2 menit nona.” Ucap tuan Rian memandang Efira.
“Silahkan duduk dan beri tahu jawabanmu.” Lanjut lelaki itu.
Efira menurutinya, mendaratkan bokongnya pada kursi di hadapan tuan Rian.
“Saya menolaknya tuan, silahkan cari orang yang sama gilanya dengan anda. Permisi.” Efira berucap lalu segera hendak beranjak.
Tuan Rian dibuat ternganga oleh sikap gadis itu. Apa dirinya sudah dikatai gila tadi? Gadis itu juga menolak pesona seorang Rian Bianjaya?
“Bagaimana kalau tiga minggu?” Ucap tuan Rian yang langsung membuat langkah Efira terhenti. Lelaki itu tersenyum tipis melihat hal itu. Efira membalikkan tubuhnya dan kembali duduk.
“Baiklah, tiga minggu.” Efira memberikan uluran tangannya yang tentu saja di sambut baik oleh tuan Rian.
“Saya akan mengirim kontrak kerja samanya ke e-mail agensimu, dan kau kerjakan tugasmu. Ruanganmu di sebelah. Katakan pada sekretarisku jika kau membutuhkan sesuatu.” Ucap tuan Rian lalu melanjutkan pekerjaannya.
Sedangkan, Efira langsung pergi ke ruangannya untuk segera bekerja.
Biar saja selama tiga minggu aku kurang istirahat, asal pekerjaanku selesai. Pikir Efira di tengah perjalanannya.
Pukul 10.30 waktu setempat, Efira masih berkutat dengan pensil dan juga kertasnya, menggambar sketsa gaun yang akan di rancang untuk acara fashion show yang digadang-gadang akan terjadi bulan depan dengan konsep spektakuler. Dia tidak peduli, intinya dia hanya harus merancang busana bukan?
Gadis itu bahkan langsung menyusun jadwal pekerjaannya saat mendaratkan bokong di kursi ruangannya.
Cause I-I-I’m in the stars to night
So watch me bring the fire and set the night alight
Shining throught the city with a little funk and soul
Itu suara dering ponsel Efira.
Alex.
Begitu nama yang tertera pada kontaknya, hal itu membuat Efira menelan ludahnya sendiri. Tidak mengabari Alex tentang kepergiannya sudah pasti bencana besar.
Dengan penuh keberanian, Efira akhirnya menggeser tombol hijau di ponselnya, menandakan dirinya siap menerima omelan dari sahabatnya itu.
“Ha-”
“Bagus saja kau pergi tanpa memberitahuku ha? Kenapa? Aku sudah tidak penting? Aku hampir kesetanan melihat apartemenmu kosong, kopermu tidak ada, lemarimu hanya menyisakan beberapa setel piyama dan bra.”
Benar saja dugaan Efira, Alex langsung memborbardir dirinya dengan segala ocehan tapi, kenapa kalimat terakhir Alex begitu…
“SIAPA YANG MENYURUHMU MEMBUKA LEMARIKU HA?”
“MENURUTMU APA YANG HARUS AKU LIHAT KETIKA TAU KOPERMU TIDAK ADA PADA TEMPATNYA?”
Benar juga, siapa yang tidak panik jika seperti itu keadaannya? Mungkin Efira juga akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padanya.
“Ah iya. Bukankah disana sudah malam? Sebaiknya kau tidur” Ucap Efira mengalihkan pembicaraan.
Perbedaan waktu Amerika dan Jepang adalah 16 jam. Pasti akan sulit untuk mereka berkomunikasi nantinya.
“Berapa lama kau disana?”
“Tiga minggu.”
“Kenapa lama sekali?”
“Itu sudah waktu yang cukup singkat, Alex.”
“Aku bisa gila jika seperti ini.”
“Tidurlah, sudah sangat larut disana. Aku akan melanjutkan pekerjaanku.”
“Baiklah. Aku tau kau belum istirahat. Jangan lupakan tidurmu, jangan suka lembur. Segera selesaikan pekerjaanmu dan segera pulang atau aku akan menyusulmu kesana.”
“Ya ya, terserah dirimu saja.”
“Selamat malam.” Lanjut Efira, lalu memutuskan sambungan panggilannya dengan Alex.
Diam-diam tuan Rian memperhatikan gadis itu dari CCTV yang tersambung dengan laptopnya. CCTV itu sengaja dipasang untuk memantau kinerja setiap rekannya.
Setelah melihat Efira kembali ke meja kerjanya, tuan Rian langsung menutup halaman CCTV-nya, “Menarik.” Gumam lelaki itu pelan.
Tepat pukul 12.00, tuan Rian segera mengambil telepon kantor untuk menghubungi Efira.
"Halo."
'Ini aku.'
“Tuan Rian, ada yang bisa saya bantu?” Ucap Efira, aksen bahasa Jepangnya sangat baik.
Gadis cerdas memang begitu, Efira bahkan menguasai lima bahasa.
Pertama, bahasa negaranya lahir. Lalu bahasa Inggris, itu sudah sangat melekat pada dirinya, mengingat kuliahnya saja yang selama lima tahun berada di luar negeri. Selanjutnya bahasa Korea, tempat yang selalu ingin dikunjunginya. Bahasa Jepang juga salah satu bahasa asing yang di pelajarinya, karena idolnya kadang mengeluarkan album dalam bahasa Jepang, serta yang terakhir yaitu bahasa Thailand. Gadis itu cerdas dalam hal bahasa asing.
Ah tidak, dia cerdas dalam berbagai hal. Gadis sempurna.
“Segera ke ruanganku.”
“Apa ada masalah?”
“Tidak, cepat saja kemari.” Tuan Rian langsung memutuskan panggilan mereka.
Sedangkan Efira langsung melangkahkan kakinya ke ruangan tuan Rian.
“Aku disuruh tuan Rian.” Ucap Efira pada sekretaris tuan Rian.
“Baiklah, silahkan masuk.” Sekretaris tuan Rian itu membukakan pintu dan mengantar Efira hingga sampai di hadapan bosnya.
“Duduk dulu.” Ucap tuan Rian mempersilahkan Efira, mempersilahkan gadis itu menunggu di sofa yang memang di sediakan di ruangannya, sedangkan tuan Rian sendiri masih ada di meja kerjanya, membuka setiap lembar dokumen disana, sesekali melihat laptopnya.
1 menit
2 menit
3 menit
Sampai 5 menit belum ada tanda-tanda tuan Rian angkat bicara. Efira yang sudah menunggu pun uring-uringan. Untuk apa dia dipanggil? Untuk melihat tuan Rian bekerja begitu?
Orang ini, kenapa menyebalkan sekali? Aku sudah sangat lapar. Kenapa dia tidak mau bicara. Batin Efira memandang kliennya kesal.
Tok
Tok
Tok
Ketukan suara pintu mengintrupsikan atensi mereka, tuan Rian langsung meletakkan segala pekerjaannya dan berjalan menuju pintu. Tentu saja Efira langsung mengangkat satu alisnya bingung.
Apa itu? Dia sedang membuka pintu untuk seseorang? Apa tuan Rian yang akuh se-dermawan itu?
“Ayo makan.” Suara tuan Rian membuat Efira mengalihkan pandangannya, melihat satu plastik besar berisi makanan masih di kemas di dalamnya.
Hei, apa ini? Batin Efira mengernyitkan dahinya.
“Tuan, saya ke kantin saja.” Ucap Efira pelan lalu menegakkan tubuhnya untuk berdiri.
“Duduk!” Perintah yang mulia raja Rian. Tentu saja, Efira dengan senang hati menolak.
“Maaf tuan Rian, lebih baik anda habiskan sendiri makanan ini.” Ucap Efira ketus, melangkahkan kakinya dengan santai ke arah pintu.
Tapi, belum sempat tangannya meraih gagang pintu, “Jika kau keluar dari ruanganku satu langkah saja, akan aku adukan kepada agensimu bahwa kau bermain ponsel saat jam kerja.”
Rian kurang ajar.
Dengan sangat terpaksa, Efira melangkahkan kakinya kembali, duduk manis di sofa, memandang makanan di hadapannya tanpa minat.
“Makanlah!” Tuan Rian memberikan satu porsi sushi ditambah dengan minuman orang juice dalam kemasan. Efira mengambilnya dan melahapnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah tuan Rian.
“Dia sudah kehilangan akal.” Efira terus mengomel sambil mendaratkan bokongnya di kursi kerjanya, lalu kembali fokus melanjutkan pekerjaannya. Berharap segera selesai. Karena CEO Bianjaya sedikit berbahaya menurut Efira.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00, jam Kerja Efira sudah habis. Gadis itu langsung membereskan segala kerusuhan pekerjaannya lalu beranjak pulang.
“Kau menunggu taxi?” Tanya tuan Rian saat melihat Efira berdiri seorang diri di pinggir jalan dekat agensinya.
“Iya.” Jawab Efira singkat, celingukan kesana-kemari.
“Biar aku antar.”
“Tidak tuan, terimakasih. Saya bisa sendiri.” Tolak Efira kelewat ketus.
Kebetulan sekali, tidak jauh dari tempatnya berdiri, gadis itu melihat sebuah taxi sedang melaju, segera saja dia menghentikan taxi tersebut.
“Permisi.” Pamit Efira lalu masuk ke dalam taxi.
Efira sebisa mungkin harus menghindar dari tuan Rian. Bukan apa-apa, setelah acara makan siang mereka usai tadi, Efira langsung lari terbirit-birit mencari celah kebebasan. Gadis itu memiliki perasaan tidak baik kepada rekannya.
“Saya sudah selesai tuan.” Ucap Efira, berniat meringkas bungkus makannnya.
Namun, tuan Rian dengan lancang mengatakan, “Tidak usah Efira, biar saya saja.” Tangan lelaki itu sudah jelas sengaja menyentuh punggung tangan Efira.
Bukankah itu bukan etika yang baik di Jepang?
Gadis itu langsung menampik tangan tuan Rian, lalu keluar begitu saja. Tidak lupa mengucapkan, “Terimakasih.” sambil membungkukkan badannya, sebelum benar-benar keluar dari ruangan laknat tersebut.
Kira-kira begitulah acara makan siang mereka berakhir tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments