Cahaya Pov
Untuk pertama kalinya, aku berada diketinggian beribu kaki. Aku yang takut ketinggian, bahkan memanjat pohon jambu yang ada dibelakang rumah mbah saja tidak berani, tapi sekarang?!
Inilah hidup, membayangkan tidak memiliki satupun keluarga saja sudah sangat mengerikan untukku sepeninggal ibu. Tapi Tuhan memberikan kasih sayang-Nya melewati ujian itu lagi, namun seketika memberikan aku keluarga baru.
Nek Arum yang baru ku kenal beberapa hari begitu tulus menyayangiku, abang koki juga. Mungkin karena keberadaan dirinya yang dulu pernah aku kenal saat ia datang bersama ayah, membuatku lebih nyaman dan percaya diri untuk ikut dengan keluargaku yang baru ini.
Sifatnya yang hangat, perhatian seperti sudah kenal lama.
Tanganku terus digenggam oleh wanita yang kusapa dengan sebutan nenek. Mungkin wajahku terlihat sangat pucat melawan rasa takut!
Aku berjanji, akan mendedikasikan seluruh hidupku untuk keluarga ini dan aku juga akan berusaha untuk bisa mewujudkan impianku menjadi sarjana ekonomi. Seperti cita-cita ku sedari dulu.
Pov End
"Ca, bangun! kita harus turun. Betah sekali disini? katanya takut. Kalau mau naik lagi boleh ... sebentar ya abang bilang ke pilot dulu!" Angga bangun dari kursi yang tadinya diduduki Arum.
"Eh, enggak bang! jangan!" Cahaya merengek, kepalanya celingukan.
"Nenek mana, Bang?"
"Oma sudah turun lima belas menit yang lalu, beliau tidak tega membangunkanmu. Ayo cepat kita juga harus turun. Bisa-bisanya kau tidur seperti mati!" Angga mengomel.
"Astaga ... ternyata benar kata si mbah, ada ya laki-laki yang suka mengomel seperti wanita, hahaha." Cahaya berbicara sendiri
"Ca!"
"Eh, iya bang. Maaf." Cahaya mengejar Angga yang sudah berdiri jauh di depan.
\=\=\=\=\=\=
Ruangan berwarna putih gading dengan jendela yang lebar terasa sejuk tatkaka angin bertiup sepoi. Cahaya membuka lebar jendela berbentuk minimalis tersebut.
Ini pagi pertama baginya memulai hari baru. Hari dimana dia mulai bekerja sebagai seorang asisten pribadi seorang wanita yang masih segar bugar di usia senjanya.
"Permisi, Nek. Sarapan sudah siap. Nenek mau sarapannya saya bawa kesini." Aya bicara dengan hati-hati, Arum tampak masih kelelahan karena perjalanan jauh yang baru saja mereka tempuh.
"Mm ... boleh. Tolong bawakan susu hangat dan roti bakar saja kesini!" jawab Arum singkat. Cahaya pun bergegas kembali kedapur.
Cklek!
Pintu kamar kembali terbuka, Gadis berambut panjang tersebut masuk membawa nampan berisi permintaan majikannya.
"Ini, Nyonya." Cahaya meletakkan nampan tersebut diatas nakas tepat disebelah tempat tidur Arum.
"Loh, nyonya lagi!? Cahaya ... panggil nenek saja seperti tadi. Kalau mau ikut seperti cucu saya memanggil dengan sebutan oma juga lebih baik." satu gelas susu hampir tandas di tenggak.
"Maaf, Nek. Nggak enak sama teman-teman yang lain. Aya kan disini juga sebagai ...."
"Kamu bukan pembantu, sayang. Kamu itu cucu perempuanku. Aku tidak melarangmu beberes dan semacamnya seperti yang dikerjakan karyawanku yang lain itu karena permintaanmu sendiri. Syarat yang kau ajukan. Kalau tidak ada syarat itu, kau tidak akan mau ikut kesini kan. Cahaya konsentrasilah ke kuliahmu saja." ucap Arum lembut.
Jedeer!
Suara pintu dibanting, sosok laki-laki hitam manis masuk tanpa salam bahkan mengetuk pintu.
"Oma!" peluknya,
"Hm ... cucu oma. Bagaimana kabarmu hm? kangen sama oma? Oma hanya pergi empat hari, Sayang." Arum mengeratkan pelukannya pun sama dengan laki-laki yang bernama Bima tersebut.
"Eh ... ini siapa, Oma? Cantik banget." disaat bersamaan Angga membuka pintu kamar.
\=\=\=\=\=
Waktu makan malam tiba, Bima lebih dulu berada di meja makan. Menyusul Arum dan juga Angga yang paling terakhir. Laki-laki berambut panjang itu tampak berbeda dari biasanya. Tatapannya begitu dingin, membuat beku setiap mata yang memandangnya, termasuk Cahaya.
Gadis itu telah selesai menyiapkan makan malam bersama bi Minah teman barunya, sebut saja seperti itu. Cahaya menghidangkan makanan yang sudah dimasak bi Minah dari beberapa jam yang lalu, gadis itu hanya membantu saja, toh dirinya juga masih belum mengetahui persis apa menu makanan yang biasa keluarga barunya itu konsumsi.
"Bang!" Cahaya hendak menyendokkan nasi kedalam piring Angga setelah melakukan hal yang sama kepada Arum, namun tangan itu ditahan.
"Saya bisa ambil sendiri!" tolak Angga begitu dingin, membuat Arum dan pastinya Cahaya bertanya-tanya. Kenapa laki-laki itu berubah seketika.
"Oh, iya. Maaf." Cahaya merasa sedih, karena mungkin dinilai lancang oleh Angga, namun ia sama sekali tidak bermaksud seperti itu.
"Aku aja!" Bima menyodorkan piringnya disertai senyum yang sangat manis.
"Ini kamu yang masak? nama kamu siapa sih?" ucap Bima tidak bisa diam.
"Bim, tadi kan oma sudah bilang!" Arum melirik Angga yang sudah lebih dulu makan dengan malas
"Tapi kan belum dengar dari orangnya langsung, Oma." lirikan Bima membuat Cahaya salah tingkah.
"Mm ... saya Cahaya, Mas. Panggil saja Aya." Cahaya menunduk.
"Ow, pantesan!"
"Kenapa, Mas?"
"Wajahmu Glowing, seperti nama mu! Eeaa" senyuman penghargaan namun terpaksa diberikan meluncur dari bibir tipis Aya.
"Garing banget sih, Mas" gumamnya dalam hati, gadis itu memang tidak suka dengan tipe laki-laki yang banyak omong.
"Oma, Angga masuk kamar dulu!" Angga meninggalkan ruang makan tanpa melihat kebelakang.
"Kenapa dia, Oma?" Bima mengendikkan bahu, sementara Oma terus bertanya-tanya dalam hati.
Makan malam telah selesai, namun Cahaya masih belum berada dalam kamarnya. Membantu bi Minah membersihkan meja dan piring-piring kotor sambil mengobrol adalah suatu hal yang menyenangkan baginya.
"Bibi tidur sama siapa?" tanya Cahaya ramah.
"Sendirian, Neng. Kan suami bibi sudah enggak ada."
"Innalillahi, berarti bibi jomblo dong." tawa Cahaya pecah, melihat wajah bi Minah yang merasa lucu dengan kata-kata jomblo yang disematkan untuknya.
"Si eneng bisa saja. Bibi mah Janda atuh, Neng. Bukan jombelo kayak anak muda saja."
"Hahaha, bibi kan masih muda. Kita seumuran, Bi. Bibi tidur di kamar Aya ya." gadis itu memeluk tubuh bi Minah, postur tubuh wanita paruh baya itu sebelas dua belas dengan almarhumah mbah putri, mungkin itu yang membuat Cahaya betah berlama-lama di dekatnya, atau karena memang Cahaya begitu mudah akrab dengan semua orang.
"Loh ... Jangan, Neng. Nanti saya dimarahi nyonya besar."
"Nenek galak ya, Bi?" tanya Cahaya penasaran, namun bi Minah meletakkan jari telunjuknya di bibir melihat Angga turun dari tangga.
"Den Angga perlu sesuatu? Aden mau kopi?" tanya bi Minah.
"Enggak, Bi. Saya hanya mau minum saja. Air galon di kamar saya habis, tolong besok di isi ya, Bi." senyum Angga memperlihatkan susunan giginya yang rapi.
"Oh, ya Allah. Maaf, Den. Bibi lupa." bi Minah menepuk jidatnya.
"Ada nyamuk, Bi?" goda Angga
"Hah ... Nyamuk, Den? perasaan tadi sore sudah bibi semprot. Apa bibi lupa juga ya."
"Hahaha ... becanda, Bi. Maksud Angga nyamuk tadi bibi kan nepuk jidat kirain ada nyamuk."
"Ah, si aden bisa saja."
"Sudah malam, bibi tidur ya." Angga memegang kedua pundak bi Minah. Wanita yang bekerja dirumahnya sejak dia masih kecil itu juga ia sayangi sama seperti omanya.
"B-baik, Den. Neng Aya, bibi masuk dulu ya."
"Iya, Bi. Have a nice dream."
"Naon, Neng?"
"Selamat malam bibi, mimpi indah ya." peluk Cahaya
Setelah bi Minah pergi Cahaya ingin mengambilkan air putih untuk Angga. Namun lagi-lagi kata-kata "Saya bisa sendiri" keluar dari mulut Angga yang tadinya begitu bersahabat dengan bi Minah kembali menjadi gunung es.
"Oh, iya. Kalau begitu Aya tidur dulu." ucap Cahaya takut. Kalau tidak malu untuk berlari pasti sudah dia lakukan.
"Ca!"
"Iya, Bang."
"Semoga betah disini. Besok abang antar ke kampus. Have a nice dream."
"Iya, Bang. Siap. Have a nice dream too."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
😘 sweet baby😘
cinta terpendam mmg gituh bang...sbntar beku.. sbntar lumer...🤣🤣🤣
2021-08-08
1
Asih Sunkar
lanjut
2021-05-07
1