Acara tahlilan telah selesai, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah menyalami para tamu yang berpamitan, Cahaya berjalan ke dapur. Bukan untuk makan melainkan tenggorokannya terasa sangat kering.
Dentingan suara sendok yang berlaga dengan piring membuat gadis itu mempercepat langkahnya. "Ayah sedang makan!" gumamnya
"Ayah!!" ucap Cahaya begitu melihat sosok laki-laki yang sedang makan dengan lahapnya dimeja makan.
"Oh, maaf ... saya pikir tadi ...." tatapan Cahaya kembali sendu, matanya pun berkaca-kaca. Laki-laki itu hanya menatapnya saja tanpa berkata sepatah kata pun.
Wanita tua yang sedari tadi bersama Cahaya datang bersama dengan bu Sani.
"Aya makan ya, Nduk. Dari tadi siang nggak ada makan loh. Nanti sakit." ucap bu Sani sambil memegang pundak Cahaya.
"Aya tidak lapar, Wak." jawab Cahaya memaksa tersenyum.
"Sini duduk! makan ya ... biar nenek suapin. Jangan menyiksa diri, jika Arman dan mbah putri ada pasti mereka tidak senang melihat gadis kesayangannya seperti ini." wanita yang mengucap dirinya nenek itu menarik kursi makan tepat disebelah laki-laki yang masih lahap mengunyah tempe bacem.
"Ini lagi, makannya lahap sekali. Seperti sudah lama sekali nggak ketemu bacem!" ucapnya mencubit lengan laki-laki tersebut.
"Aduh, Oma! enak ini bacemnya original ini sedap tanpa penyedap!" ucapnya tersenyum malu-malu. Cahaya terus memperhatikan laki-laki disebelahnya. Otaknya bekerja keras mengingat sosok itu, mata nya mengingatkan Cahaya dengan seseorang.
"Hm ... maaf sebelumnya, Cahaya mau bilang terimakasih sama nenek. Tapi maaf lagi, nenek siapa ya? Aya belum pernah melihat nenek sebelumnya." ucap Cahaya sopan.
"Oh iya, saya lupa mengenalkan diri. Bu Sani ... Cahaya, saya Arum, Sekar Arum."
"Sekar Arum?! Ya Allah, itu nama majikan ayah saya. Jadi nenek ...."
"Ya, ayahmu kerja dengan keluarga saya. Maaf ya Nak. Kalau saja Arman mau naik pesawat mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini." ucap Arum, ada penyesalan dalam hatinya. Kenapa dia tidak memaksakan kehendaknya kepada Arman.
"Tadinya ayah memang sengaja mau bawa mobil kalau nyonya mengijinkan, karena Aya nggak berani naik pesawat. Ini semua salah Aya, hiks ... hiks." gadis itu kembali menangis.
"Hey, jangan bicara seperti itu. Sudahlah, ini sudah takdir dari-Nya. Karena itu sekarang Cahaya menjadi tanggung jawab saya. Selesai acara nanti, Aya ikut bersama kami ya. Aya harus kuliah di kota kan. Lanjutkan cita-cita mu, Nak."
"Maaf, Nyonya. Saya disini saja. Saya tidak akan melanjutkan pendidikan, Aya mau bekerja saja."
"Oh, tidak bisa! Saya sudah menyiapkan semua keperluan mu di kota. Kami menyayangi Arman seperti keluarga kami sendiri, anaknya juga akan kami sayangi. Arman sudah meminta izin untuk mengajak anaknya tinggal bersamanya dan saya sudah menyetujuinya, bahkan kamar khusus untukmu sudah sengaja saya buatkan di rumah yang di tempati Arman selama ia bekerja bersama kami. Kau harus kuliah, Nduk. Bahagiakan orangtuamu, meskipun kita tidak bisa melihat mereka lagi, tapi yakinlah mereka tetap hidup dalam hati kita."
"Tapi Nyonya ...."
"Ck! jangan panggil saya Nyonya! panggil nenek saja seperti tadi. Sekarang saya menjadi nenekmu juga sama seperti Angga dan Bima."
"Makanlah dulu, ini telur mata sapi setengah matang untukmu." laki-laki yang menghabiskan tempe bacem satu piring tadi menyuguhkan dua buah telur goreng, entah sejak kapan dia beranjak dari meja makan.
"Telur mata sapi setengah matang?! kenapa abang bisa tau kesukaan Aya. Abang ini ...." Aya memperhatikan kembali laki-laki yang bertubuh tinggi dengan rambut panjangnya.
"Ini abang koki?!" Aya seperti menemukan kembali bagian dari hatinya yang hilang.
"Abang koki?" Arum mengernyitkan dahinya
"Iya, Nek. Abang kan dulu pernah beberapa kali ikut ayah ke sini." terang Cahaya.
" Dulu, abang bilang cita-citanya mau jadi koki. Makanya Aya panggilnya abang koki, abang juga sering bantu si mbah di dapur." Cahaya menjelaskan dengan gembira, kenangan bersama Angga dan Arman sang ayah terulang dalam ingatannya.
"Iya, aku abang koki mu. Sudah ayo makan. Nanti keburu dingin amis!" ucap laki-laki hitam manis tersebut.
Cahaya akhirnya mengambil sendok yang ada diatas meja, ia paksa memakan sajian sederhana yang sudah ada dihadapannya. Gadis malang itu makan perlahan sekali, seolah enggan menelan nasi dan telur yang sudah bercampur didalam mulutnya tersebut.
Hanya tiga suapan, Aya meletakkan sendoknya dan meminum air putih hangat yang dituangkan oleh bu Sani. Gadis itu sangat beruntung, walau dirinya sudah tidak lagi mempunyai keluarga satupun. Namun masih banyak orang yang menyayanginya.
"Terimakasih ya, Wak." Cahaya memeluk tubuh mungil namun sudah menampakkan keriput itu.
"Sama-sama, Nduk. Kamu itu anak uwak, jangan pernah merasa sendiri." pelukan itu dibalas oleh bu Sani.
"Maaf semua. Aya boleh ke kemar sekarang?" Cahaya mengedarkan pandangan kesekelilingnya.
Gadis itu berdiri dari tempat duduknya, berjalan menuju kamarnya dan almarhumah si mbah. Sejak dulu mereka memang selalu tidur bersama.
Baru beberapa langkah wanita cantik itu merasa pusing. Kakinya seolah tidak kuat untuk menopang berat tubuhnya. Beruntung Angga melihatnya, dengan sigap ia menangkap tubuh ramping itu.
"Ca ... Ca!" Angga menepuk-nepuk pipi Cahaya.
"Bawa ke kemar saja, baringkan Cahaya di kasur. Saya jemput bidan desa dulu." Pak Sani bergegas keluar rumah.
"Tolong cepat kabari saya, Pak. Kalau lama saya akan bawa Cahaya ke rumah sakit." ucap Arum.
"Ca ...." Angga mengusap-usap telapak tangan Cahaya, memberikan gadis itu minyak kayu putih agar dapat di bauinya, wajah tampan itu tampak sedih.
"Hm ... sepertinya ada sesuatu ini. Perhatian sekali cucu ku ini." batin Arum, sedikit menyunggingkan senyum, ada rencana besar di pikirannya.
.
.
.
.
.
Bonus visual untuk Cahaya dan Abang koki.
Cahaya Anugrah
Angga Gemilang
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Tufa Hans
visualnya cantik sesuai namanya... Cahaya 😍
2021-09-30
1
Ayumie Hafidz
langsung tertarik buat baca....syuka
2021-08-29
1
😘 sweet baby😘
gantengnya bang koki....😍 pasti tmbh ganteng lg kl mau buatin rendang utk akuhh...🤭🤣🤣🤣
2021-08-08
0