Thalia memandang keluar jendela sembari memikirkan apa yang tadi ia lihat ketika Farel kembali ke kelas setelah ia suruh beli minum. Meskipun ia berpura-pura dan menyembunyikan wajahnya di balik tangannya yang dilipat, tetapi ia sempat terbangun ketika mendengar suara benturan yang keras. Bahkan ia melihat kepala Farel yang terpelanting setelah membentur meja.
Kini ia merasa gelisah dan sesak di dadanya. Ia pun meremas roknya sambil menggigit bibir bawahnya.
"Lagian, salah dia juga! Kenapa tidak beli air minum untukku?!" kilah Thalia. Kenapa juga ia memberikan belas kasihnya pada lelaki cupu itu? Melihatnya saja sudah membuatnya jijik.
"Dasar, dia pikir, dia pantas jadi murid yang bahkan satu kelas denganku—" Ucapannya terhenti ketika matanya menangkap sosok laki-laki yang sedang dihina oleh mulutnya.
"Pa-pak, Pak! Berhenti, Pak!" seru Thalia pada supir pribadinya. Ia bisa meihat bahwa Farel, lelaki yang sedari tadi ia hujat kini berlutut di trotoar sambil memegangi kepalanya.
Sang Supir pribadi pun meminggirkan mobilnya.
Sedangkan mata Thalia tidak bisa lepas dari sosok Farel yang sepertinya sedang merintih kesakitan. Ia ingin keluar dari mobil, tetapi menahan diri. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung harus melakukan apa.
"Di-dia ... apa dia baik-baik saja—" Sontak ia terhenyak ketika netranya melihat Farel terkapar begitu saja di atas trotoar.
"Pak! Ayo keluar bantu Thalia, Pak!" seru Thalia yang langsung membuka pintu mobilnya.
Alhasil Farel dibopong ke dalam mobil Thalia. Ia melepas kacamata lelaki itu dan tertegun. Wajah lelaki ini yang sedang terpejam tanpa kacamata terlihat sangat polos dan tampan. Namun Thalia bisa menyadari bahwa rautnya juga terlihat pucat. Bahkan dari tubuh lelaki kurus ini mengeluarkan keringat dingin. Thalia segera mengambil tissue dan mengelap butiran-butiram keringat yang keluar di kening lelaki ini.
Dada Thalia terasa semakin sesak melihat raut tak berdaya lelaki ini. Ia mengelus bagian kepala yang tadi dipeganginya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
"Pasti sakit ..." lirih Thalia yang matanya mulai berkaca-kaca.
"La-lagian salah sendiri! Kenapa juga kamu hindari aku?" Sebuah bulir bening menetes begitu saja dari sudut mata Thalia dan membasahi pipi Lelaki yang tidur di atas pangkuannya, tetapi Thalia segera menghapus air mata itu, bahkan yang menetes di pipi Farel. Ia sendiri tidak mengerti dengan reaksinya, harusnya ia senang Farel menderita seperti ini.
"Non, kita kemana?" tanya Sang Supir.
"Ke klinik saja, Pak. Dia harus diperiksa ke dokter," ujar Thalia sambil sesenggukan. Ia kembali memandangi wajah Farel. Namun ia tertegun, mata Farel sepertinya terbuka sedikit, entah sadar atau bukan.
"Si ... si-apa?" Kedua pundak Thalia terangkat mendengar suara lirih Farel. Thalia pun menutup mata lelaki itu.
'Matanya buram 'kan?' batin Thalia was-was. Jangan sampai lelaki ini tahu bahwa Thalia yang menyelamatkannya. Bisa-bisa orang-orang tahu dan apa kata dunia? Thalia menolong laki-laki cungkring, cupu dan menjijikan ini?
"Si-apa ..." Mulut Farel berucap kembali, tetapi Thalia bahkan enggan mengeluarkan suaranya. Ia masih menutup mata Farel dengan kedua tangannya.
"Sia—" Farel pun kembali tak sadarkan diri. Thalia pun mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia membuka tangannya yang tadi menutupi mata Farel. Kini mata lelaki itu benar-benar terpejam.
"Non, sudah sampai klinik," lapor Pak Supir.
"Baik, Pak ... bantu Thalia buat angkat teman Thalia," ujarnya.
***
'Pasti sakit ...' Sayup-sayup Farel mendengar suara lembut seorag perempuan di telinganya. Ia seperti kenal suara perempuan itu.
'Itu suara Thalia, tapi ...' gumamnya dalam hati, tetapi agak tidak yakin.
'Salah sendiri, kenapa juga kamu hindari aku?' Lagi, suara perempuan yang khawatir terdengar di telinganya, meskioun sebenarnya lwbih terkesan menyalahkan. Bayang-bayang gelap pun perlahan menghilang dan muncul sosok seorang perempuan yang sedang menatapnya, tetapi buram. Mata Farel rabun, ia tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang sedang menatapanya. Atau ini karena kepalanya sakit?
"Siapa ..." mulutnya berucap, tetapi pandangannua langsung gelap.
"Farel? Kamu sudah sadar, Nak?" Kali ini ia mendengar suara seorang wanita yang sangat familiar.
"Farel, ini mama ..." Farel pun langsung membuka matanya, tetapi tetap saja, pandangannya buram.
"Farel ..." Farel bisa merasakan sentuhan ibunya di pipi.
Farel berusaha membuka matanya yang terasa berat.
"Mama ..." lirihnya sembari memegang tangan Sang Mama. Namun terbesit rasa kecewa di dalam hatinya.
'Thalia ... mana mungkin dia bersimpati sama gue ... dia adalah penghancur hidup gue!' batin Farel.
Farel pun memandang wajah Ibundanya. Hatinya semakin tersayat-sayat melihat bulir-bulir sebening kristal yang jatuh dari netra Sang Mama.
"Farel baik-baik aja, Ma ..." hiburnya agar Sang Mama bisa sedikit lebih tenang.
Akhirnya Farel pun pulang naik angkutan umum bersama Sang Mama.
"Padahal Farel bisa jalan kaki, Ma ..." ujar Farel masih keras kepala.
"Ngaco kamu! Kata dokter, tadi kamu pingsan di tengah jalan!" Sang Mama lalu memegang kening Farel.
"Tadi, kata dokter, kamu demam. Untung sudah diberi obat dan panasnya sudah turun," cicit Sang Mama lagi.
"Iya, Farel kecapekan ..." ujar Farel lagi.
Namun ia kembali mendengar isakan tangis.
"Maaf, ya, Nak ... Mama gak bisa berbuat apa-apa ... Kamu jadi harus berjuang sendiri." Sang Mama masih tak kuasa mendapati putranya yang tadi terbaring lemah. Apalagi mendengar kabar bahwa putranya pingsan di jalan.
"Untung saja ada orang baik yang menyelamatkanmu, dia bahkan sudah membayar biaya kliniknya," sahut Sang Mama sambil mengelus-elus pipi putranya.
Dahi Farel pun mengernyit.
"Orang baik? Siapa, Ma? Mama tahu?"
'Apa benar-benar Thalia?' seru Farel di dalam hati. Kini jantungnya berdebar-debar. Jika benar Thalia seperti yang muncul di dalam bayang-bayangnya, maka sebenarnya Thalia bukanlah orang yang seburuk itu.
Namum Sang Mama menggeleng.
"Mama tidak tanya ke dokter, Nak ... Mama teralu fokus menanti kesadaranmu," ujar Sang Mama.
Farel pun menghela napas. Sebenarnya apa yang dia harapkan. Kenapa dari sekian banyak orang, ia harus berharap gadis yang hobi merundungnya itu akan berbelas kasih dan menyelematkannya? Itu mustahil dan hanyalah angan-angan belaka.
'Mungkin karena hari ini semua masalah terjadi karena Thalia. Makanya bayang-bayang Thalia muncul,' batin Farel.
"Aduh, harusnya mama tanya. Setidaknya kita bisa balas budi ..." ujar Sang Mama baru kepikiran.
Farel pun segera merangkul Sang Mama dan mengusap-usap punggungnya.
"Tidak apa-apa, Ma ... mungkin orang itu memang menolong tanpa pamrih," ujar Farel menghibur Mamanya. Hari ini juga cukup berat bagi Sang Mama.
"Farel janji, Ma ... Farel akan lebih kuat dan gak akan membuat Mama khawatir ..." Farel melemparkan senyuman hangatnya pada Sang Mama.
"Jadi, Mama jangan khawatir lagi, ya ... Farel baik-baik saja," ujar Farel, meskipun sebenarnya ia merinding.
Kalimat "jadi lebih kuat lagi" hanyalah angan-angan baginya. Ia sendiri masih tidak punya nyali yang besar untuk menghadapi segala masalah, tetapi ia harus mengucapkan itu. Setidaknya agar keluarganya tidak semakin terbebani.
"Doakan saja, semoga Farel bisa jadi lebih kuat dan tetap baik-baik saja," ujar remaja itu pada ibunya.
Sang Mama yang tahu bahwa anaknya selalu jadi korban perundungan pun mengangguk. Ia memeluk putranya dan berbisik.
"Doa Mama selalu menyertaimu, Nak ..."
Farel tak kuasa dan hanya bisa memeluk erat Mamanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments