Farel berlari tergopoh-gopoh sambil memegangi bokongnya yang nyeri akibat membentur tanah dengan sangat keras. Ia kira, hari ini ia bisa lebih beruntung karena bisa menghindar dari perintah Thalia— Sang Ratu Dominan. Sayangnya, nasibnya malah semakin buruk. Untungnya, ia masih memiliki susu kotak mini di kantongnya.
Farel pergi ke taman belakang sekolah yang jarang sekali dikunjungi oleh warga sekolah. Hanya di sini ia bisa berkeluh kesah atas hari beratnya setiap hari. Sayang, ia belum sempat membeli buku sketsa baru untuk menghilangkan penatnya.
Farel duduk di bangku yang terbuat dari semen sembari menusukkan sedotan ke kotak susunya. Ia menyedot susu itu sambil sesenggukan karena menahan rasa sedih, takut dan kecewa yang bercampur aduk jadi satu. Belum ada satu tahun ia bersekolah di SMP ini, tetapi rasanya sudah sangat sesak. Ia hampir tak bisa bernapas karena ulah Thalia and the geng. Belum lagi kakak kelasnya yang suka sok berkuasa dan memperlakukannya semena-mena.
"Rasanya gue mau pindah!" jeritnya menyuarakan isi hati. Air matanya jatuh dan membasahi pipinya begitu saja. Dulu saat SD ia pernah mengalami hal yang sama, itu sebabnya ia pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Namun kali ini, kedua orang tuanya yang sedang sarat ekonomi, memintanya untuk bertahan atas apapun yang terjadi di SMP-nya sekarang.
Tentu orang tuanya tahu segala sesuatu yang terjadi pada putranya di sekolah. Namun mereka yang sedang berada di posisi bawah tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa berharap putranya baik-baik saja.
Farel menghela napas begitu teringat gambar-gambarnya yang akan ia kirimkan ke majalah dan akan mendapat bayaran meskipun tak seberapa dihancurkan begitu saja oleh Thalia. Di saat sedih begini, semua kenangan buruk pasti kembali terputar di benaknya, membuat rasa marahnya semakin membuncah.
"Dasar keji! Sadis! Gak punya hati!" segala umpatan untuk gadis cantik itu ia lontarkan.
"Dia pikir, dia berkuasa di sini hanya karena dia putri ketua yayasan?!" kesal Farel. Ya, fakta bahwa Thalia adalah Putri Ketua Yayasan bukanlah rahasia lagi. Semua orang menghormatinya, sehingga tidak ada satupun orang yang berani melawan apapun yang dilakukan oleh gadis itu, entah tindakannya benar atau salah.
"Lihat saja! Di masa depan, lu yang akan berlutut ke gue! Karma itu berlaku!" kesal Farel yang langsung menyedot habis susu kotaknya sambil tersedu-sedu. Ia pun terbatuk-batuk, bahkan air susu itu keluar dari hidungnya. Farel hanya bisa bersumpah serapah.
Hal itu membuatnya semakin kesal dan kembali meluapkan emosinya lewat air mata, bahkan kacamatanya kini berembun. Ia pun terpakasa melepas kacamata dengan frame hitam tebal.
"Farel Barata Septian!" Lagi-lagi panggilan itu muncul entah dari mana. Farel rasanya tidak mau menyahut dan ingin menikmati me-time-nya saja, tetapi panggilan itu terdengar lagi bahkan dengan suara yang lebih jelas.
"Haruskah dia muncul di saat seperti ini?" geram Farel lalu akhirnya memberanikan diri berbalik dan mendapati sosok Thalia dengan amarah yang hampir memuncak, menatapnya tajam.
"Kamu masih mengabaikanku, ya?" tuding Thalia yang hendak menjewer telinga Farel, tetapi lelaki itu segera menangkisnya. Sontak Thalia kaget dengan refleks Farel. Lelaki cupu ini mana pernah melawannya.
"Farel!" pekik Thalia kesal, tetapi Farel malah membuang muka, malu jika wajah sembabnya ketahuan oleh Thalia. Yah, meskipun gadis itu sering melihat wajah sembab Farel.
"Kamu berani melawanku, ha?" tantang Thalia lalu menyentuh kedua telinga Farel dan mengarahkan wajah laki-laki itu agar menghadapnya.
"Lihat aku—" Ucapan Thalia terhenti begitu mendapati wajah Farel yang tanpa mengenakan kacamata. Mata sayu karena habis menangis itu kini menatapnya dengan memelas.
'Wajah tampan siapa ini?' gumam Thalia dalam hati.
"Jika mau menjewer telingaku, lakukan saja sepuasanya! Lakukan apapun yang kau mau!" jerit Farel putus asa.
Namun hal itu tidak membuat Thalia melakukan seperti apa yang diucapkan remaja itu. Ia melepas tangannya.
"Apaan, sih?"
Thalia lalu terdiam dan melirik ke bangku di samping Farel yang kosong.
"Minggir! Aku mau duduk!" bentak Thalia. Farel pun langsung berdiri. Sedangkan Thalia duduk sambil menyilangkan kedua kakinya seraya tersenyum angkuh.
"Kamu hari ini menghindariku, ya?" tukas Thalia.
Farel tertegun. Ia sontak menunduk dan kembali mengenakan kacamatanya.
"Ti-tidak ..." bohong Farel.
"Lalu, kenapa aku baru melihatmu tadi saat hampir dihajar Kak Andra?" Thalia pun terkekeh.
"Rasain! Harusnya Kak Alan tadi gak usah datang biar kamu dihabisin sekalian sama Kak Andra yang lagi emosi!" kekeh Thalia sambil diam-diam melirik ke arah bokong Farel. Lelaki ini hanya berupa tulang dan kulit saja, bokongnya yang membentur tanah dengan keras seperti tadi, apakah tidak retak?
"Ka-kamu ada apa mencariku? A-apa yang harus kulakukan?" tanya Farel mengubah topik. Ia hanya malas mengulang kenangan pahit, apalagi itu keluar dari mulut tokoh jahat seperti Thalia.
"Kamu berani, ya tidak menimpali ucapanku?" emosi Thalia lagi.
"Eh ... Bukan ... Ha-hanya saja akan lebih cepat jika kamu memang mau sesuatu ..." ujar Farel buru-buru beralasan agar hidupnya selamat.
Sementara Thalia hanya menghela napas, berusaha agar tidak meledak lagi.
"Baiklah! Aku mencarimu memang mau memerintahkan sesuatu!" ujar Thalia sembari menatap Farel.
"A-apa itu?" tanya Farel takut-takut.
Thalia pun memegang kening dengan punggung tangannya seraya memejamkan mata, seolah ada rasa sakit yang sedang ia tanggung.
"Kepalaku tiba-tiba terasa sakit ..." ujar Thalia lalu membuka matanya dan kembali menatap Farel tajam.
"Aku mau, kamu pergi ke UKS dan minta obat sakit kepala pada guru UKS!" perintah Thalia.
"Sakit? Kamu benar-benar sakit?" tanya Farel malah meletakkan punggung tangannya di atas kening Thalia, membuat gadis itu membulatkan matanya.
Sontak Thalia menyingkirkan tangan Farel.
"Apaan, sih? Gak usah sok peduli dan jangan sentuh aku!" cerocos Thalia.
"Dasar menjijikan!" umpatnya yang tentu didengar oleh Farel.
Farel langsung merutuki sikap spontannya. Ia langsung menyimpan tangan tadi di dalam saku celana.
"Baiklah ... akan aku ambilkan. Kamu mau aku antar ke kelas—" Farel kembali merutuki dirinya. Kenapa juga ia malah menambah pekerjaannya sendiri. Bagus-bagus cuman disuruh ambil obat di UKS.
"Ti-tidak! Aku bisa sendiri!" seru Thalia, Farel diam-diam bernapas lega mendengar ucapan Thalia. Setidaknya, pekerjaannya tidak bertambah.
"Baiklah. Aku ambilkan dulu," ujar Farel pamit. Laki-laki itu berusaha berjalan dengan cepat sambil menahan rasa sakit di bokongnya. Sedangkan Thalia hanya duduk sambil memperhatikan lelaki itu yang lama kelamaan hilang dari pandangannya.
Ia diam-diam tersenyum miring.
"Salah sendiri, melawanku. Awas, setelah ini akan aku berikan hukuman lainnya!" gumam Thalia lalu beranjak dari tempat duduknya dan berlari kembali ke kelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments