Tubuh Farel hampir oleng karena mendengar suara menggelegar guru komdis mereka. Namum orang yang namanya dipanggil malah cengar-cengir sambil berdiri.
Sang guru komdis pun berlari menghampiri Alan dan Farel.
"Kamu, ya! Memangnya saya suruh kamu duduk?" geram guru komdis sambil mengayunkan tongkatnya, tetapi Alan berhasil menghindarinya.
"Habis gimana, Pak? Capek—" Sekali lagi guru komdis melayangkan tongkatnya, tetapi Alan berhasil memghindarinya.
"Dikasih tahu, malah ngelawan lagi!" kesal Guru komdis.
"Hehe, maaf, Pak," ujar Alan santai.
Farel tak habis pikir, kakak kelasnya ini bisa sangat santai menghadapi amarah guru komdis yang suaranya saja bikin merinding.
"Ya sudah, kamu, Farel! Kembali ke kelas!" suruh Guru komdis. Farel pun menurunkan tangannya yang sangat pegal. Peluhnya bahkan menetes di pelipis.
"Jangan berkeliaran lagi saat jam pelajaran!" pesan guru komdis. Farel pun hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Nah, sekarang kamu! Sesuai ucapan bapak tadi, lari sampai bapak kembali lagi!" perintah guru komdis pada Alan.
"Siap, Pak!" ujar Alan malah cengengesan.
Farel yang masih berdiri di sana malah memandangi kakak kelasnya itu.
'Enaknya hidup gak ada beban,' batin Farel agak iri. Tentu ia tahu siapa kakak kelasnya ini. Bukan hanya dikaruniai wajah yang tampan, tetapi juga kecerdasan dan kekayaan. Jika ia mau, bahkan ia bisa menggunakan kekuasaan orang tuanya untuk membuat hidupnya jadi lebih mudah. Namun dia tidak menggunakannya kali ini, atau lebih tepatnya jarang. Itulah yang membuat Farel diam-diam mengidolakan seorang Alan.
"Kamu lihat apa?" sentak Guru Komdis, membuat lamunan Farel buyar.
"Eh, i-iya, Pak!" seru Farel refleks.
Sekarang idolanya itu sudah mulai berlari mengitari lapangan. Tinggal dirinya dengan guru komdis yang killer.
"Kamu mau ikut lari juga seperti Alan, ha?" ancam Guru Komdis.
"E-enggak, Pak!" seru Farel sembari mwngambil sebotol air mineral yang dia beli tadi.
"Ya, sudah! Sana! Kembali ke kelas!" suruh Guru Komdis lagi.
"I-iya ..." Farel pun pergi meninggalkan lapangan. Namun langkahnya terhenti. Ia menggenggam erat botol air mineral di genggamannya. Tanpa berpikir lagi, ia memutar tubuhnya dan kembali ke lapangan.
Ketika sampai di lapangan, ia masih melihat Alan yang sedang berlari-lari kecil mengitari lapangan dengan santainya sambil bersiul. Namun mata Alan masih bisa menangkap keberadaan Farel yang memandangnya penuh harap. Alan pun mempercepat larinya sembari menghampiri Farel.
"Ada apa?" tanya Alan sambil lari-lari kecil di tempat.
Farel pun menyodorkan sebotol air mineral di tangannya.
"I-ini. Ini buat Kak Alan kalau haus ..."
Sayangnya, Alan malah terdiam. Ia sendiri tidak mengerti maksud dari laki-laki kurus di hadapannya.
"Y-yah ... sa-saya taruh di sini saja. Ka-kalau kakak gak mau, bu-buang saja," ujar Farel.
"Oh, oke," sahut Alan yabg sebenarnya masih bingung. Dirinya berusaha menilik niatan dari adik kelasnya ini.
"Ka-kalau gitu, permisi, Kak!" ujar Farel lalu berlari meninggalkan Alan sendirian.
Alan pun melirik ke arah botol mineral pemberian Farel.
"Aneh!" ucap Alan sambil geleng-geleng. Ia pun melanjutkan hukumannya.
***
Farel kembali ke kelas. Sekarang jam pelajaran sudah berganti dan guru untuk pelajaran selanjutnya belum datang, sehingga kelas jadi ramai.
Belum sempat Farel duduk di bangkunya, tiba-tiba ia sudah dikerumuni oleh gengnya Thalia.
Brak!
Vannesa menggebarak meja Farel, membuat lelaki itu terhenyak.
"Heh! Lelet banget, sih lu jadi orang!" cibir Vannesa.
"Disuruh beli minum aja, pake bolos satu jam pelajaran!" tukasnya.
Namun Farel hanya terdiam sambil menunduk. Ia hanya muak melihat wajah perundung nomor satu setelah Thalia.
"Sekarang, mana minum buat Thalia!" pinta Vannessa.
Farel pun baru tersadar. Tadi botol air mineralnya ia berikan pada Alan.
"Mana? Lu ngerti bahasa manusia gak, sih?" paksa Vannessa.
Farel pun mengangkat kepalanya dengan agak takut-takut.
"Uhm ... Ma-maaf, Vannesa. A-airnya habis. Ja-jadi tadi gue gak beli ..." jawab Farel.
Sontak Vannessa menendang kaki bangku Farel sehingga bergeser. Farel pun refleks berpegangan pada meja agar tidak terjatuh.
"Lu jadi orang gak becus banget, sih!" tukas Vannessa.
"Cuman suruh beli air doang lelet, pake gak ada lagi! Terus Thalia gimana minumnya?" Vannesa kini melempar tanggung jawab pada Farel. Farel pun melirik ke arah Thalia yang masih menyandarkan kepalanya di atas meja.
'Kenapa urusan dia jadi urusan gue?' batin Farel.
"Woy!" Tiba-tiba telinga Farel ditarik oleh Vannessa.
"Lu denger gak yang gue bilang?" teriak Vannesa tepat di depan telinga Farel hingga membuat kepala Farel sakit. Ia berusaha melepaskan telinganya, tetapi Vannesa malah memelintirnya.
"Aw ... sakit, Vannesa ... sakit ..." rintih Farel. Ia berharap, setidaknya perempuan ini masih berbelas kasih.
"Sakit, lu bilang?" Vannesa melepas telinga Farel sambil melempar kepala lelaki itu hingga membentur meja dengan kasar hingga menimbulkan suara yang keras. Sontak semua mata tertuju pada mereka.
"Itu, yang namanya sakit!" geram Vannesa.
Farel hanya bisa mengaduh tanpa suara. Kepalanya benar-benar terasa sakit.
Sementara anak-anak lain yang menyaksikannya hanya terdiam dan langsung melanjutkan kegiatan mereka seolah tidak terjadi apa-apa.
"Dasar gak berguna!" ujar Vannesa. Lalu meninggalkan Farel yang masih kesakitan. Farel mengerjap-ngerjapkan matanya, Dunia rasanya berputar, dan telinganya berdengung.
'Ugh ... kenapa kepala gue terasa pusing banget ...' ujar Farel sembari menggeleng-gelengkan kepala agar pandangannya kembali seperti semula.
"Rel ... lu baik-baik aja?" tanya teman sebangkunya.
Farel yang masih mengatur pandangannya pun mengangguk pelan. Ia tidak boleh tumbang. Ia harus kuat.
"Lu mau ke UKS?" tawar teman sebangkunya.
"Enggak, gak usah," ujar Farel lagi. Seharusnya ia baik-baik saja. Ya, ia baik-baik saja.
Alhasil Farel tidak bisa mengikuti pelajaran dengan fokus, yang bisa ia harapkan adalah mendengar bel pulang. Hingga akhirnya bel pulang itu pun berbunyi.
Untungnya, Thalia and the geng tidak mengusiknya ketika mau pulang. Mereka disibukkan oleh Thalia yang sakit, sehingga Farel setidaknya bisa bernapas lega.
Ia pun menyusuri jalan dengan langkah yang pelan karena kepalanya pasih terasa sakit. Entah karena efek dijemur atau bentur keras tadi. Apapun itu, yang pastinya, ia harus segera sampai rumah.
Biasanya, ia naik sepeda, tetapi rantai sepedanya putus, sehingga ia memilih jalan kaki, hanya perlu menempuh jalan selama 1 jam.
"Aduh ... pusing ... apa tidak ada yang bisa gue mintain jemput, ya?" Ia mulai berangan-angan. Kalau dulu, bisa saja ia meminta ibunya menjemput dengan mobil, tetapi sekarang semua asetnya sudah dijual, bahkan rumahnya juga, diganti dengan rumah yang lebih kecil. Semua habis karena keluarganya terlilit hutang.
Langkah Farel lama-lama melamban, ia sudah tak kuasa lagi, hingga akhirnya pun berhenti. Tangannya terus memegangi bagian kepalanya yang terasa sakit.
"Aduh ... gue bener-bener gak kuat!" ucapnya sambil berlutut hingga akhirnya seluruh dunia berubah menjadi gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments