Happy reading...
Suara gemericik hujan yang terdengar pagi ini, menghadirkan keengganan memulai hari. Burung-burung tak terdengar kicauannya, seolah mereka bersembunyi.
Dedaunan nampak segar terkena guyuran air hujan. Langit pun tak selalu terlihat gelap saat hujan menyapa. Namun tetap saja, cuaca pagi ini membuat siapa saja merasa malas untuk keluar rumah. Apalagi bagi mereka yang sedang ditemani orang terkasih.
Riky salah satunya. Sedari tadi ia memandangi wajah ayu istrinya. Seolah tak pernah bosan walaupun sudah menginjak tahun ketiga pernikahan mereka.
"Morning, Sayang! Dingin?" Sapanya, saat kedua mata Alena mengerjap dan tersenyum pada dirinya.
Tanpa menjawab Alena mengeratkan pelukannya. Riky menarik selimut agar menutupi tubuh istrinya yang tak mengenakan apa-apa.
Riky terkekeh pelan mendapati istrinya yang memainkan lidah di p*ting susunya. Alena bahkan iseng menarik pelang dengan bibirnya yang dikatupkan.
"Eits, nakal ya. Pasti sengaja gelitikin begitu, mau minta nambah ya? Hmm, seger nih kalau olah raga pagi di cuaca begini." Godanya.
"Yang semalam emangnya kurang?" tanya Alena sambil membenamkan wajahnya di dada bidang Riky. Aroma maskulin yang terhirup memanjakan indera penciumannya.
"Itu baru hukuman lho."
"Hukuman, Alena salah apa?"
"Sudah berani membohongi suami." Sahutnya datar.
Alena tertegun, mencoba memikirkan apa yang sudah ia lakukan.
"Alena nggak ngerasa tuh." Ujarnya cuek.
"Dasar ya! Kemarin di telepon bilangnya apa? Hmm, lampu merah. Untungnya insting kelelakianku berfungsi dengan baik. Coba kalau enggak, bisa-bisa kamu lampu merahnya pas aku pulang minggu depan."
"Emang ada insting kelelakian? Kok baru dengar," ujar Alena heran.
"Ada dong. Nih begini, aku kasih tahu ya..."
"Haha.. apaan, masa begini sih?"
Gelak tawa terdengar menggema di kamar Riky. Pria itu sengaja menggoda istrinya dengan sikapnya yang lucu. Tak lama suara tawa itu pun berhenti. Tak lama kemudian berganti dengan suara des*han yang beradu dengan suara hujan.
***
Suasana berbeda terasa di kediaman Salman. Meskipun hujan, anak-anak tetaplah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dan saat ini mereka sedang menikmati sarapan bersama.
"Amar, dihabiskan nasi gorengnya. Di luar dingin, perutnya nggak boleh kosong," ujar Kakek Salman.
"Amar nggak mau ini, Kek. Amar sudah kenyang," sahut Amar malas.
"Sini, kakak yang habiskan. Nih sendoknya." Zein menggeser piringnya yang sudah kosong dan menarik piring Amar. Ia memberikan sendok bekas Amar pada adiknya tersebut.
"Kakak semangat banget pagi ini. Amar mau sarapan apa? Roti isi mau?" tawar Meydina dan dijawab gelengan pelan oleh adiknya.
"Siapa yang nggak mau sarapan?" tanya Maliek yang datang dari arah tangga.
"Amal, Pi," sahut Zein sambil menunjuk Amar yang berada di sampingnya.
"Kenapa, Sayang?" Maliek menghampiri dan mengecup pucuk kepala Amar.
"Kakak, ibu guru bilang apa? Coba panggil Amar, kemarin-kemarin bisa," tegur Maliek yang juga mengecup kepala Zein.
"Lupa Pi, hehe. Amar mau sarapan apa?" tanya Zein perlahan. Putra sulung Maliek itu sedang belajar membiasakan diri dalam mengucapkan huruf 'r'.
"Nah itu bisa. Pinter... Amar mau sarapan apa, Sayang? Kakak Zein nanya," ujar Maliek lagi.
"Mau susu lagi, Pi." Sahutnya pelan.
"Lagi?" Maliek menoleh pada Meydina dan dijawab anggukan kecil oleh istrinya itu.
"Bilang sama Mami," pinta Maliek.
"Amar bilang cepetan!" titah Zein.
"Mi, Amar mau susu lagi." Ujarnya ragu-ragu.
"Siap, Sayang. Bilang dong dari tadi," sahut Meydina dan membuat Amar tersenyum lega. Sepertinya Amar ragu mengatakannya mengingat itu gelas kedua yang dipintanya.
"Pagi ini kalian sarapannya serba double. Zein dua piring nasi goreng dan Amar dua gelas susu, hebat. Oh iya, Fatima mana ya?" ujar Salman.
"Masih di kamarnya, Kek. Lagi ngacak-ngacak baju di lemari," sahut Amar.
"Kan biar ada tenaga buat ngelawan si tarzan, Kek," sahut Zein.
"Tarzan? Memangnya kalian sekolah di hutan, kok ada tarzan?" Salman terlihat heran.
"Itu hanya julukan, Yah. Anak-anak biasa begitu. Fatum! Sini sarapan, Sayang!" seru Maliek.
"Oh ya? Memangnya kenapa kalian memanggilnya tarzan? Kakak sama Amar dijuluki apa?" tanya Salman masih dengan rasa penasarannya.
"Dia suka teriak-teriak, Kek. Auoo..." Zein mencontohkan dengan gayanya dan membuat kakeknya terkekeh.
"Ih, kakak muncrat. Bukan auoo, Kak. Tapi suka nyuruh-nyuruh, dia seperti bos di kelas kita."
"Padahal kakak ketua kelasnya lho, Kek."
"Ada yang seperti itu? Nggak dibilangin ke ibu guru?"
"Udah, dimarahin. Terus mamanya marah-marah, ya kak?"
"Bukan dimarahin, Sayang. Tapi dinasehati," sahut Meydina.
"Hmm, Mami nggak percaya," ujar Zein.
"Terus, julukan kalian apa?" Meydina mengulumkan senyumnya melihat antusias sang ayah.
"Super hero, Kek. Kakak, superman. Amar, iron man."
"Jangan superman ah, malu."
"Kenapa, Kek? Kan bagus, berani, bisa terbang," tutur Zein.
"Cel*na da**mnya di luar," sahut Salman datar dan sontak membuat Maliek juga kedua putranya terbahak.
"Mami! Kenapa jaket baby warnanya semua sama? Pokoknya nggak mau pakai," seru Fatima dengan wajah yang ditekuk.
"Ulu-ulu, cucu kakek yang cantik kenapa pagi-pagi udah cemberut?"
"Warna sama gimana, Sayang? Kan ada yang ungu, yang pink, kuning juga ada."
Maliek menarik kursi untuk Fatima dan mencium pipi putrinya yang masih terlihat kesal.
"Fatum mau warna apa?"
"Mau jaket yang seperti Kakak sama Kak Amar," ucap Fatum sambil mengunyah nasi goreng yang disuapkan papinya.
"Jaket yang mana?" Meydina menautkan alisnya.
"Seperti yang dipakai kemarin." Rengeknya.
"Oh, jaket denim. Waktu itu katanya nggak mau."
"Sekarang mau, Mi."
"Pakai aja punya kakak," ujar Zein.
"Beneran boleh, Kak?"
"Hmm," angguk Zein.
"Asik..." Fatima berlari ke kamar kedua kakaknya. Tidak lama kemudian, ia keluar dengan jaket denim milik Zein yang dikenakannya.
"Kak, ini untuk baby ya. Sudah kecil, lihat nih cukup." Tunjuknya.
"Boleh, ambil aja." Sahutnya kemudian meneguk air minum.
"Lihat, Pi. Sudah cukup ya."
"Iya. Tapi itu jaket anak cowok, Sayang. Nanti beli sama Mami ya," ujar Maliek yang kembali menyuapi putrinya.
"Biarin ini aja, Pi." Sahutnya manja.
"Ya sudah, pakai dulu aja yang itu. Kalau main ke butik Auntie, nanti kita beli," sahut Meydina.
"Yes."
"Ayo sarapannya habiskan. Kakaknya udah pada habis tuh," ujar Salman.
Fatima mengangguk dengan semangatnya. Setelah semua selesai, mereka berpamitan pada kakeknya. Mereka juga berpamitan pada Maliek yang sedang menjawab panggilan dari Riky.
Saat ini, Zein dan Amar sudah duduk di bangku kelas dua. Sementara Fatima di taman kanak-kanan tingkat dua. Mereka satu sekolah dengan Queena yang duduk di kelas satu. Meydina mengantar kedua putranya, kemudian menunggu Fatima di sekolahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
iza_melan🍁
insting kelelakian, ky bojoku.. yg paham q lg PMI alias Palang Merah Ibu² mlh dia dr pd diriku, diriku trlalu cuek 😅😅
2021-03-14
1
Milah Kamilah
uh kelurga yg manis
2021-03-11
1
RSDP💖
suka deh ama anak" mey......bikin rame😀
2021-03-11
1