Happy reading...
Cicitan burung di cerahnya pagi menyemangati siapa saja yang memulai hari. Namun semangat itu nampaknya tak menular pada Alena yang masih terbaring di atas tempat tidurnya.
"Auntie, bangun! Mau ikut nggak ke rumah Opa Wira?" Pekikan Queena memekakan telinga Alena. Dengan malas Alena turun dan melangkah ke arah pintu kamarnya.
"Queen, bisa nggak sih kamu nggak teriak?" tanya Alena malas sambil menguap.
"Auntie dari tadi Queen pangil-panggil nggak ngejawab. Ya Queen teriak aja," sahut Queena sambil mengikuti Alena menuruni tangga.
"Pagi, Pa. Pagi Kak," sapa Alena pada Papa Evan dan Alvin juga Laura.
"Pagi, Sayang. Kebiasaan kamu kok belum berubah sih? Memangnya kamu nggak malu kalau bangun kesiangan begini di rumah mertuamu?"
Alena menggeleng pelan dan mengucapkan terima kasih pada Laura yang menghidangkan sarapan untuk mereka.
"Queena cantik, boleh Auntie minta tolong? Tolong ambilkan susu ya," pinta Alena.
"Auntie kan udah gede, kok masih minum susu?" tanya Queena sambil membuka lemari pendingin.
"Auntie ini masih dalam masa pertumbuhan. Kalo Auntie nggak minum susu, nanti bisa-bisa tumbuh ke samping, bukannya ke atas. Bahaya itu," kelakar Alena.
"Bahayanya apa, Auntie?" tanya Queena dengan raut wajah yang penasaran.
"Bahayanya, apa ya? Mmm oh itu, nanti Auntie bisa-bisa dimarahi sama Uncle Riky." Sahutnya asal.
"Kalau nggak mau tumbuh ke samping, ya tumbuh ke depan dong, Len."
"Tumbuh ke depan? Emang bisa, Kak?"
"Iya. Memangnya bisa, Dad?"
Alvin menatap gemas pada putrinya yang selalu ingin tahu banyak hal itu.
"Bisa, Sayang. Auntie nanti perutnya ke depan, jadi gendut karena ada Baby-nya."
"Auntie mau punya Baby? Asik, Queen jadi punya adik baru," pekik Queena senang.
Alena membulatkan matanya pada Alvin dan hanya kekehan ringan yang diberikan Alvin padanya. Evan dan Laura menggeleng pelan melihat hal tersebut.
"Mau ikut ke rumah Wira nggak?"
"Nggak, Pa. Alena mau ke kampus. Terus mau ke butiknya Kak Amie. Nanti sore pulang lagi ke rumah."
"Nggak nginep lagi di sini?" tanya Laura.
"Kasihan Mama, Kak. Kalau nggak ada Alena, Mama ngobrol sama siapa? Papa lebih suka membaca di ruangannya."
"Alena, pertimbangkan tentang memiliki anak. Kasihan mertuamu, mereka pasti ingin segera menimang cucu."
Mendengar ucapan papanya, Alena terdiam sesaat. Lalu kembali menyuapkan makanannya.
"Tanggung sebentar lagi, Pa. Satu tahun lagi," sahut Alena datar. Ia sudah mulai merasa bosan dengan permintaan tersebut.
***
Alena memarkirkan motor matic-nya di parkiran kampus. Ia terlihat menyapa beberapa orang yang ditemuinya. Alena pun berjalan menuju kantin, tempat biasa ia nongkrong bersama teman-temannya.
"Hai, Len! Sini, aku mau minta traktiran sama kamu," ujar Nindy, salah satu sahabatnya.
"Hmm, enak saja. Gantian dong, kan kemarin aku yang traktir kamu."
"Iya deh. Tapi es teh aja ya," sahut Nindy.
"Curang ah," delik Alena.
"Tumben kamu ke kampus di hari libur. Kak Riky nggak pulang lagi?"
Alena menggeleng malas.
"Ckck, kasihan. Pantas saja lemas, ternyata nggak ketemu suami. Jangan sampai jamuran ya." Kelakarnya.
"Bukan jamuran lagi, malah udah berakar panjang sampai ke inti bumi," timpal Alena asal.
"Apa yang sudah berakar?" tanya seorang pria yang langsung membungkam tawa kedua wanita itu.
"Itu, e..." Nindy melirik pada Alena, berharap bantuan dari sahabatnya itu.
"Pohon di rumah papaku. Iya, hehe. Pohonnya sudah tua jadi mungkin akarnya sudah sampai di inti bumi," sahut Alena kikuk.
"Oh, aku kira apa. Len, ke perpus yuk. Aku butuh banyak referensi nih. Tugasmu selesai nggak?" Tanyanya.
"Sedikit lagi, besok kan hari terakhir ngumpulinn. Kalo sampai lewat, bisa dikasih nilai F. Pak Dosen kan si raja tega," ujar Alena.
"Maka dari itu, ayo kita ke perpustakaan."
"Malas ah, kamu sama Nindy aja."
"Sorry ya, Ka. Aku nggak bisa. Cowokku nelepon," sahut Nindy yang memperlihatkan ponselnya.
"Ayo dong, Len. Sebentar saja," pinta Kamil.
"Oke. Nggak pake lama ya, aku mau nyicil tugas nih."
"Siap, Nyonya." Sahutnya.
Panggilan 'nyonya' di sematkan teman-teman Alena sejak ia menikah. Panggilan itu sebenarnya sebuah olokan karena diantara mereka, baru Alena yang sudah berumah tangga.
Alena terkenal supel. Ia memiliki teman hampir di setiap fakultas di kampusnya. Ia juga cukup aktif di organisasi mahasiswa yang ada di kampus tersebut.
Sesampainya di perpustakaan, Alena dan Kamil berjalan menyusuri lorong.
"Kamu cari ke sebelah sana, Ka. Setahuku buku-buku tentang hukum ada di sana. Aku mau ke sini ya," ujar Alena.
Kamil mengacungkan ibu jarinya. Dan berlalu mencari buku sesuai jurusannya. Ia dan Alena beteman di organisasi dan berbeda jurusan, karena Alena mahasiswi akuntansi.
Setelah menemukan buku yang cocok, Alena duduk di kursi yang tersedia di sana. Saat sedang asik membaca, deheman seseorang mengagetkannya.
"Eh kamu, Gam. Di sini juga," ujar Alena pelan.
"Sendiri?" tanya Agam.
"Sama Kamil. Kemana ya anak itu, kok belum kelihatan."
"Kamil anak hukum?"
"Iya. Memangnya aku kenal sama Kamil yang mana," sahut Alena datar.
"Tadi aku bertemu di depan. Dia sepertinya buru-buru," ujar Agam.
"Dasar dodol! Dia yang ngajak, dia juga yang ninggalin," dengus Alena kesal.
"Ya udah, biar aku aja yang nemenin."
"Terima kasih, Gam. Tapi aku sepertinya harus pergi sekarang. Mau cari Pak Dosen Killer. Mau nyicil tugas, bye..."
Alena berlalu hendak mengembalikan buku yang tadi dibacanya. Kedua alisnya tertaut menyadari Agam yang mengikutinya dari belakang.
"Kamu ngambil buku di sini, Gam? Bukannya kamu itu anak manajemen?"
"Ya kan sama hitung-hitungan. Kebetulan aja yang aku cari ada di sini. Sah-sah aja kan? Keluar yuk!"
Alena terperanjak dan menatap heran pada tangannya yang digenggam dan ditarik oleh Agam. Pria itu nampak cuek dengan tatapan beberapa orang yang berpapasan dengannya.
"Eh, bisa nggak tangan ini dikondisikan." Alena menepuk tangan Agam yang masih menggenggam tangannya.
"Oh maaf, Len. Lupa," sahut Agam kikuk.
"Lupa apa sengaja? Udah ah, aku mau cari Nindy aja." Alena berlalu dari hadapan pria itu dengan langkah besarnya. Agam hanya bisa menatap langkah Alena dengan seringaian terukir di wajahnya.
Sepulangnya dari kampus, Alena menyempatkan mampir ke butik Amiera. Selain ngobrol dan makan siang, Alena juga melihat-lihat beberapa baju hasil desain Amiera.
"Kak, Lena pulang ya." Ujarnya.
"Oke, lain kali ke sini lagi ya. Main juga ke rumah Daddy. Kak Mey sudah sering menanyakan kamu. Memangnya kamu nggak kangen sama Kakak Zein dan anak-anak?"
"Kangen dong. Iya deh nanti kalau ada waktu senggang. Pulang dulu ya!"
"Maaf nggak bisa nganter ke depan," ujar Amiera.
Alena mengacungkan ibu jarinya. Ia sengaja pulang karena tidak mau mengganggu Amiera yang kedatangan pelanggan.
Alena mengendarai motornya. Hari mulai sore dan jalanan juga mulai padat dengan kendaraan yang berlalu lalang. Sesampainya di rumah, Alena merasa heran karena suasana terdengar ramai dari luar.
"Oh iya ya, kan mama kedatangan saudaranya." Gumamnya.
"Sayang, sini! Kenalkan ini adik mama. Tante Hesty, mamanya Ajeng. Nah kalau yang itu baru, Ajeng. Hes, ini Alena. Istrinya Riky."
"Sore, Tante. Saya Alena."
"Sore. Kamu masih sangat muda, Len." Ujarnya.
"Iya ya. Riky pinter kan? Oh ya, Alena. Tante Hesty ini waktu kalian menikah sedang di luar negeri, jadi nggak bisa datang."
"Ooh..." Alena tersenyum kikuk.
"Sudah pulang, Sayang?"
Alena yang merasa mengenali suara itu langsung menoleh. Seketika raut wajahnya terlihat bahagia melihat pria yang sedang menuruni tangga.
"Kak Riky?" Setengah berlari Alena menghampiri suaminya. Riky merentangkan tangannya dan memeluk erat wanita yang masuk dalam pelukannya itu.
"Katanya nggak akan pulang," ujar Alena yang tersenyum malu.
"Aku rindu, Sayang." Sahutnya.
"Alena juga," bisik Alena yang kembali memeluk Riky.
Mama Widiya dan juga adiknya hanya bisa mengulumkan senyum melihat tingkah mereka. Lain halnya dengan Ajeng yang mendelik seolah tidak suka.
"Heh, lebay." Decihnya pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Wakhidah Dani
siriik ya Ajeng...
2021-10-07
0
mita purwanti
torrr sumpah penasaran banget qw😁
2021-03-11
2
IrnaMahdaR
Tuh kan, si Riky pulang. Aku yakin itu wkwk
2021-03-11
1