Seorang laki-laki muda turun dari motor sambil melihat takjub ke kanan dan kiri. Pemandangan di tempat barunya ini sangat indah sekali, membuat matanya tak bosan memandang. Laki-laki tersebut bernama Abimanyu Ramadhan. Dia adalah seorang dokter muda yang ditugaskan di puskesmas Desa Sekar Taji.
Begitu sampai di tempat barunya, Abi bergegas masuk ke dalam rumah kontrakannya dan membereskan rumah tersebut.
Saat sedang menyapu di ruang depan, dirinya melihat seorang perempuan cantik sedang berjalan kaki sendirian. Saking terpesonanya, ia sampai bengong beberapa menit.
"Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?" Abi bermonolog sambil terus menatap perempuan itu. Ketika perempuan itu hilang dari pandangannya, Abi merasa kecewa.
"Yah ... hilang," gumamnya penuh kekecewaan.
"Dokter, tolong! Tolong anak saya sakit tidak mau makan." Seorang ibu berusia kepala lima lari tergopoh-gopoh mendekati rumah Abi sambil menangis tersedu-sedu. "Hiks ... Cantika."
Abi langsung menaruh sapunya dan menenangkan si ibu tersebut. "Ibu tenang, ya? Saya akan bantu Cantika." Abi langsung bergegas mengambil kotak obat dan peralatan medis. "Mari, Bu?" Abi mengajak si ibu untuk bergegas menemui Cantika.
Sepanjang jalan si ibu terus menangis. Bahkan bahunya sampai naik turun karena menangis.
Begitu sampai di rumahnya, si ibu langsung menarik Abi dan mengajaknya ke sebuah kamar. "Itu Cantika, Dok." Si ibu menunjuk seekor kucing kampung berwarna hitam.
Abi langsung lemas, ia hampir saja terduduk jika tidak ingat ini keadaan genting. Dia ingin sekali menolong, tapi dirinya bukan dokter hewan.
"Dokter, kok malah bengong. Ayo, tolong, Dok!" Si ibu menarik-narik tangan Abi sambil memohon.
"Ibu ... maaf, ya? Saya dokter manusia, bukan dokter hewan." Abi berbicara sangat hati-hati untuk memberikan pemahaman kepada sang ibu.
"Dokter tidak berguna! Sana pergi!" Tiba-tiba saja sang ibu mengamuk hebat. Dia sampai melempar semua barang yang ada di dekatnya. Rumah yang terbuat dari kayu itu mungkin bisa roboh kalau tak dikendalikan karena kekuatan si ibu begitu dahsyat.
"Ada apa ini?" Seorang perempuan berdiri di depan pintu sambil melihat pertengkaran itu. Dia bernama Caca Calina.
Begitu melihat perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta, Abi jadi diam tak bergerak. Hingga kepalanya dipukul oleh sang ibu, barulah Abi tersadarkan.
Abi buru-buru keluar dari rumah ibu tersebut dan menghampiri Calina. Ia memperkenalkan diri di hadapan pujaan hatinya itu. "Abimanyu Ramadhan, panggil saja Abi. Saya dokter yang bertugas di puskesmas."
Calina menyambut uluran tangan Abi. "Caca Calina. Panggil saja Calina." Ekspresi Calina sangat datar, tidak ada manis-manisnya sama sekali. "Ada apa tadi? Kok ribut-ribut?" tanyanya.
"Si Ibu minta saya tolongin anaknya yang sakit. Tapi ternyata anaknya itu kucing. Saya nggak tau harus berbuat apa, la wong saya dokter manusia, bukan dokter hewan," tutur Abi. Dia menjelaskan perkara yang terjadi baru saja.
Brak!
Si ibu menutup pintu dengan keras, membuat Abi dan Calina berjingkat kaget.
Calina hanya mengangguk saja, kemudian dia pergi dari hadapan Abi. Dia kira ada kejadian apa ribut sekali, ternyata hanya salah paham saja.
"Hey, tunggu!" Abi meminta Calina untuk berhenti. Namun Calina tak menggubrisnya. Pujaan hati Abi itu tetap pergi. Tak memperdulikan perasaan Abi yang tak karuan ini.
Abi lalu berjalan pelan menuju rumahnya. Sesekali dia menendang kerikil jalanan yang ditemui. Selama dua puluh enam tahun hidup, dirinya sama sekali belum pernah pacaran. Juga belum pernah merasakan jatuh cinta seperti sekarang ini.
"Kayaknya aku familiar dengan wajah itu." Abi bermonolog sambil terus berjalan.
Dirinya memutuskan untuk berhenti sejenak di bawah pohon akasia dan membuka ponselnya.
"Ya ampun! Dia artis, ternyata. Pantes aja mukanya kayak familiar." Abi terus memandang foto Calina tanpa berkedip.
Aura mahal Calina mampu menyihir hati Abi. Tipe perempuan Abi memang yang dingin-dingin seperti itu.
Calina adalah artis dangdut yang beberapa tahun lalu sangat naik daun. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ia terlihat vakum. Calina tidak pernah muncul di layar kaca ataupun mengeluarkan lagu baru. Entahlah, Abi tidak terlalu update tentang Calina kala itu, karena dulu ia belum tertarik dengan sosok Calina.
Mulai sekarang barulah ia akan mencari tahu tentang Calina, karena ia baru tertarik sekarang.
"Ngapain atuh, Kang? Nyari jimat?" Seorang bapak-bapak yang sedang memanggul kayu bakar menegurnya.
"Bukan atuh, Pak. Saya teh lagi ngadem. Silir pisan di sini," ujar Abi sambil menirukan logat si bapak. Padahal Abi ini orang Jawa, bukan orang Sunda. Dia hanya modal percaya diri saja untuk menirukan aksen Sunda.
"Awas jangan lama-lama di situ. Di situ teh banyak ulat. Bisa-bisa akangnya bentol-bentol nanti."
Abi langsung berdiri dengan cepat. Sumpah demi apa dia tidak mau bentol-bentol.
"Mangga atuh, Kang. Saya duluan. Berat euih," ujar si bapak sambil meringis karena keberadaan.
"Iya, silahkan, Pak. Hati-hati," sahut Abi.
Begitu si bapak berlalu, dia pun langsung bergegas menuju rumahnya. Setelah sampai di rumah, Abi langsung mandi. Dia tidak mau gatal-gatal. Konyol sekali jika dia bentol-bentol, terutama di bagian wajah. Alamat tidak PD untuk bertemu dengan Calina.
Selesai mandi, Abi merasakan ada yang aneh di tengkuk dan lehernya. Dia merasakan gatal dan panas di sana.
"Ulat sialan!" Abi memekik di dalam kamarnya begitu menyadari dirinya telah terkena ulat.
Abi buru-buru memakai pakaiannya kemudian menuju puskesmas yang berada tepat di seberang rumahnya. Setelah sampai tujuan, Abi langsung mencari-cari obat alergi.
"Apa-apaan ini? Obatnya nggak lengkap gini." Abi terduduk lemas di sebuah kursi kayu.
Ponselnya yang ada di saku celana berdering. Setelah dilihat, itu adalah telepon dari sang ibu.
"Halo, Le. Gimana keadaan di sana? Kerasan?" Ibunya berbicara dari seberang sana ketika Abi telah mengangkat teleponnya.
"Kerasan, Bu. Ibu tau obat ulat, mboten? Maksud Abi, Abi kena ulat. Gatel panas."
"Biasanya Ibu kalau kena ulet ya pakai bensin saja, Le. Itu lho ... kamu ambil kain, terus dicelupkan ke dalam bensin, terus kain itu dipakai buat kompres."
"Cara itu ampun ya, Bu?" tanya Abi tak percaya. Ada-ada saja ibunya ini. Masa bensin bisa mengobati gatal-gatal akibat terkena bulu ulat?
"Yo ampuh. La wong ibu saja sering pakai cara itu, kok." Terdengar suara yakin dari ibunya di seberang sana.
"Ya sudah, Bu. Abi mau ngompres dulu. Ibu baik-baik di sana."
"Iyo, Le, Iyo. Semoga cepat sembuh anak lanang Ibu."
Abi langsung bergegas kembali ke rumahnya setelah telepon dengan sang ibu terputus. Dia lalu mengambil kain kemudian mencelupkannya ke dalam bensin yang ada di tangki motornya.
Setelah kain tersebut basah dengan bensin, ia langsung mengompres leher depan dan belakangnya. Leher Abi sudah mulai bengkak karena ulah ulat tersebut. Dirinya juga merasakan gatal dan panas bukan main. Jika tidak segera ditangani, takutnya akan menyebar sampai ke wajah.
Apalagi besok dia sudah mulai bertugas, masa iya bertugas dalam keadaan seperti ini?
"Semoga cara dari Ibu ini ampuh," gumam Abi sambil terus mengompres lehernya.
Dan ajaibnya, ketika malam hari Abi hendak tidur, bentol-bentol tersebut sudah hilang sempurna. Sungguh mujarab obat rekomendasi dari ibunya tadi. Kalau semua orang melakukan cara tersebut, bisa-bisa dokter tidak laku.
***
Kamus:
🌼 Mboten (Tidak)
🌼 Le atau Tole (Panggilan dari orang tua untuk anak laki-laki mereka)
🌼 Kerasan (Betah)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Tri Sulistyowati
orang Jawa ya
2021-08-18
0
Bunga_Tidurku
gue malah dibalur garem biasanya, untung dia pas oles2 bensin g sambil masak bs kesamber itu, hahahaha
2021-08-11
0
Viiy
wahhh ilmu buat gw yg msh SMA kgk tau apa² 😅
2021-07-19
1