Banyu mengembuskan napasnya perlahan, mengurangi rasa gugup yang menyerangnya saat ini. Jarinya mengetuk-ngetuk meja sembari menunggu seseorang. Sesekali ia melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Waktu sudah semakin petang. Suasana kafe 'pun semakin ramai. Para pemuda pemudi mulai berdatangan memenuhi kursi kafe di sana. Sudah dua puluh menit ia menunggu, tapi seseorang itu belum juga datang. Pria itu hendak menelepon orang tersebut, namun ia urungkan tatkala ia melihat seseorang yang ia tunggu sudah berada di ambang pintu masuk. Dengan segera Banyu melambaikan tangannya.
"Maaf terlambat," ujarnya sembari duduk di depan pria itu.
"Huh, kerjaan aku hari ini sangat banyak," keluhnya. Kemudian ia memesan secangkir kopi seperti pria yang ada di hadapannya.
"Maaf aku tidak menjemput kamu," ucap Banyu sedikit menyesal.
"Tidak apa, lagi pula tempat ini sangat dekat dengan kantorku," gadis itu menyesap kopinya yang baru saja datang. "By the way, kamu mau ngomong apa? Aku juga ada yang mau aku sampaikan ke kamu," lanjut gadis itu setelah meletakkan kembali cangkirnya. Seutas senyum cantik ia lemparkan pada pria itu.
Jantung Banyu terasa berdetak lebih cepat lagi. Tenggorokannya terasa tercekat, suaranya seakan tidak bisa keluar saat ini. Tapi mau tidak mau ia harus tetap menyampaikan semua ini.
Banyu merogoh waist bag yang mengalung di dadanya. Kemudian mengambil sesuatu dan menyodorkannya kepada gadis itu.
Celin mengernyitkan dahinya melihat sebuah kertas berwarna biru tua, dengan tulisan berwarna emas yang Banyu sodorkan padanya. Keningnya semakin mengerut saat ada dua nama yang tertera dihalaman depan kertas itu.
'Banyu & Jingga'
"Nyu, apa maksud kamu?." Matanya mulai memanas, ia tahu betul kertas apa itu. Tapi ada apa ini? Kenapa nama gadis lain yang tertulis di sana.
Banyu memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat kekecewaan yang dipancarkan oleh Celin.
"Banyu lihat aku! Apa maksud semua ini, Nyu?" tanyanya lagi. Kali ini ia sudah tidak bisa membendung air matanya.
"Cel, kamu tenang dulu, biar aku jelasin." Banyu mencoba menenangkan Celin saat semua mata mulai memandangi mereka.
Banyu mengambil beberapa uang dari dompetnya, menaruhnya ke atas meja, kemudian mengajak Celin keluar dari kafe tersebut dan membawanya ke sebuah taman yang tak jauh dari sana.
Banyu menghela napasnya sebelum menjelaskan semuanya pada gadis ini.
"Maafkan aku, Cel." Kata pertama yang ia keluarkan tentu tak membuat Celin tenang.
"Bunda menyuruhku untuk segera menikah, maka dari itu aku melamarmu kapan hari itu." Banyu menjeda kalimatnya sejenak.
"Tapi sayangnya kamu masih menolak. Dan pada akhirnya Bunda memberiku pilihan." Banyu terdiam kembali, menatap Celin yang masih mendengarkan apa yang akan ia ucapkan.
"Dua hari setelah aku melamar kamu, Bunda menyuruh aku untuk menghubungi kamu dan menanyakan itu kembali, jika dalam waktu dua puluh empat jam aku tidak memberikan jawaban pada Bunda, maka aku harus menerima perjodohan dari Bunda,"
Dan saat itu, aku mencoba menghubungi kamu berkali-kali, tapi kamu sama sekali tidak bisa dihubungi. Pada akhirnya aku harus menyerah, dan menerima tawaran Bunda," jelas Banyu panjang lebar.
"Kenapa kamu tidak mencariku di rumah, atau kantor?" tanya Celin tanpa memandang Banyu.
Banyu terdiam. Bagaimana ia tidak kepikiran untuk itu.
"Aku terlalu tertekan saat itu, aku tidak bisa berpikir jernih, aku bingung," jelas Banyu.
Tidak ada reaksi apapun dari Celin. Ia hanya memandang lurus ke depan dengan air mata yang berjatuhan.
Banyu memegang kedua tangan Celin. "Cel, aku minta maaf untuk ini. Mungkin ini sudah jalan Tuhan. Ku mohon jangan pernah membenciku."
Celin tak menjawab, ia semakin terisak dengan apa yang Banyu katakan. Dadanya terasa sesak. Ia tidak terima dengan semua ini, tapi ia bisa apa?. Celin menangis, wajahnya ia tutupi dengan kedua tangannya. Apa salahku Tuhan. Jeritnya dalam hati. Sedetik kemudian ia merasakan sebuah tangan melingkari tubuhnya, ia bisa menciun aroma parfum Banyu yang begitu menyengat.
Banyu mengusap punggung Celin. Ia bisa merasakan kesedihan Celin. Hatinya juga hancur, tapi ia bisa apa.
"Maafkan aku," ucapnya sekali lagi dengan suara bergetar.
*
*
*
Tak jauh beda dengan Celin, saat ini Kikan juga tengah terpuruk dengan adanya undangan berwarna biru itu.
Deva sebagai sahabat tentu tahu, apa yang Kikan rasakan saat ini. Ia hanya bisa merengkuh gadis itu, menenangkannya ke dalam dekapannya.
"Udah Ki, jangan nangis terus." Deva mengusap lengan Kikan, menyalurkan kekuatan dari sana. Ia tahu gadis ini begitu mencintai Banyu. Ia sering merasa iba, karena Banyu tak pernah melirik Kikan untuk dijadikan kekasih. Meskipun begitu tapi, rasa sayang Banyu kepada Kikan jauh lebih besar daripada rasa sayangnya untuk para mantan pacarnya dulu.
"Kenapa, Dev? Kenapa Banyu nggak pernah ngelihat gue? Apa kurangnya gue?" Kikan masih menangis. Tak sanggup mendengar kabar bahagia sahabatnya itu. Mungkin terdengar jahat, tapi itulah yang hatinya rasakan saat ini.
"Lo nggak kurang, Ki. Tapi mungkin karena Tuhan emang nggak ngejodohin kalian. Lo gadis paling beruntung yang bisa selalu dapet perhatian dari Banyu, yang bisa selalu deket sama dia. Lo harusnya bersyukur akan itu. Dan mungkin lo emang ditakdirkan untuk orang lain." Deva mengusap air mata Kikan yang masih saja membasahi pipinya.
"Lo gadis cantik, lo gadis yang kuat, dan juga pinter. Pasti banyak yang suka sama lo di luar sana tanpa lo ketahui."
Tangis Kikan mulai berhenti.
"Biasanya lo kalau habis nangis gini pasti laper," goda Deva.
Kikan memukul lengan pria itu dengan mengerucutkan bibirnya.
Deva terkekeh. "Lo laper nggak? Mau gue masakin sesuatu?" tanya Deva dengan seulas senyum yang begitu tampan. Ia beranjak berdiri dan menuju dapur.
"Kulkas lo kosong, Ki." Teriak Deva dari dapur. Tak berapa lama, Kikan mendekat.
"Iya, gue lupa belum belanja," jawabnya.
"Ya udah, kita supermarket sekarang, sekalian jalan-jalan."
Kikan mengangguk. Ia kemudian pamit untuk mencuci muka dan berganti pakaian.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua sudah berjalan menjauhi flat milik Kikan.
Kikan melirik Deva, ia bersyukur masih memiliki pria ini yang selalu ada untuknya selain Banyu. Terutama saat ia sedang menangisi Banyu. Deva satu-satunya orang yang tahu bagaimana perasaannya pada Banyu.
*
*
*
Berbeda dengan Banyu yang dengan berani mengungkapkan semuanya pada Celin. Jingga lebih memilih mendiamkan Kevin, dan menitipkan undangan pernikahannya pada kedua sahabatnya beserta undangan teman-temannya yang lain. Ia bahkan tak membalas setiap pesan yang Kevin kirimkan dan tidak mengangkat panggilan suara dari kekasihnya itu.
Jingga tidak peduli bagaimana keadaan Kevin saat ini. Yang terpenting sekarang ia hanya ingin menenangkan diri dan menguatkan hati. Ia tidak ingin terlarut dengan apa yang terjadi saat ini. Jingga sudah memasrahkan semuanya pada Tuhan akan kehidupannya dimasa depan.
Jangan lupa like dan komen
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
sherly
penyelesaian Masalah antara yg dah dewasa Ama yg msh otw dewasa.. KL banyu to the point kalo jingga lebih baik diam dan kabur
2023-05-29
0
Lily Miu
untuk deva mungkin hehehe
2023-03-19
0
Lily Miu
hehehe udah.takdirnya dr author🤭
2023-03-19
0