Hari ini, sepulang kuliah Jingga akan bertemu dengan Bunda Ika dan Banyu untuk membeli sepasang cincin untuk pernikahan nanti.
Huh...
Menikah. Mengingat semua itu membuat Jingga hanya bisa mengembuskan napasnya pasrah. Ia hanya berusaha yakin, Banyu adalah orang yang baik. Bukan pria brengsek yang suka menggoda para wanita.
Jingga menghentikan sebuah taksi yang tengah melintas, setelah keluar dari gerbang kampusnya.
Sebenarnya bunda Ika menyuruh Banyu untuk menjemput Jingga. Namun dengan berat hati Jingga menolak, dengan alasan dia akan mampir ke suatu tempat terlebih dahulu. Tapi yang sebenarnya adalah, Jingga tidak ingin Kevin melihatnya dijemput oleh pria lain. Ia takut Kevin akan berbuat hal yang tidak diinginkan kepada Banyu. Terlebih tadi malam mereka baru saja bertemu.
Jingga turun dari taksi, saat ia tiba disebuah mall. Ia menelepon Bunda Ika, menanyakan di mana tempat mereka akan bertemu.
Setelah ia tahu di mana calon mertuanya berada, Jingga bergegas menaiki eskalator menuju lantai tiga. Buru-buru ia mencari toko perhiasan yang katanya terletak di dekat eskalator tersebut.
Jingga membuka pintu toko tersebut, setelah berhasil menemukannya. Ia tersenyum cerah ke arah Bunda Ika yang tengah melambaikan tangan dengan sebuah majalah dipangkuannya. Tidak lupa, Banyu juga sudah duduk dengan begitu keren di samping sang bunda.
"Maaf ya Bun, Jingga lama. Jalan lumayan macet tadi," ucap Jingga sembari menautkan pipinya dengan Bunda Ika.
Wanita paruh baya itu tersenyum manis kepada Jingga, kemudian menyuruh calon menantunya itu untuk duduk disebelahnya.
"Tidak apa-apa sayang. Banyu juga baru sampai." Ujar Bunda Ika sembari menggenggam tangan Jingga.
Satu hal yang membuatnya menerima pernikahan ini, karena perlakuan Bunda Ika terhadapnya. Ia merasa nyaman berada didekat wanita paruh baya ini, ia merasakan kasih sayang seorang ibu yang jarang dan bahkan belum pernah ia rasakan dari mamanya sendiri.
Mereka berbincang sebentar, kemudian Bunda Ika meminta seorang pegawai wanita untuk membawa beberapa cincin pernikahan edisi terbatas. Bunda Ika ingin memberikan cincin yang berkualitas bagus untuk menantunya ini.
Setelah menemukan cincin yang cocok untuk Jingga dan Banyu, Bunda Ika mengajak mereka untuk makan siang di restoran yang ada di sana.
Sekali lagi Jingga merasakan kehangatan keluarga bersama mereka. Senyum tulus terus tersungging pada bibir tipis gadis itu. Membuat aura kecantikannya menguar begitu saja.
"Ehm, Jingga. Bunda kasih tahu kamu lagi, Banyu itu keliatannya aja dewasa, tapi kalau di rumah... "
"Bun..." Banyu menatap ibunya jengah, sudah banyak rahasia yang telah dibuka oleh ibunya sendiri hari ini.
Ya, sedari tadi Bunda Ika membeberkan semua aib Banyu pada calon menantunya.
Bunda Ika tertawa lebar, membuat Jingga mau tak mau juga ikut terkekeh melihat ekspresi kesal Banyu.
"Banyu itu kalau di rumah orangnya manja, jadi kamu harus luangin banyak waktu untuk Banyu nanti saat kalian sudah menikah." Bunda Ika terkekeh.
"Terus aja, Bun. Terus, buka semua aib Banyu." Ujar Banyu kesal, mengundang gelak tawa Jingga dan Bunda Ika secara bersamaan.
Tawa mereka terhenti saat ponsel Bunda Ika berbunyi. Ia menyingkir sedikit untuk mengangkat telepon tersebut. Setelah selesai ia buru-buru mengambil tasnya hendak pulang.
"Sayang, kalian ke butik berdua saja ya. Ayah meminta Bunda untuk datang ke kantor. Jadi, Bunda harus pulang sekarang. Maaf ya."
"Iya, Bun. Tidak apa-apa." Jingga terseyum, lalu ikut berdiri.
"Ayah pasti mau mesra-mesraan sama Bunda," Banyu mencibir.
"Aww, " pria itu meringis saat satu cubitan mendarat pada pinggangnya.
"Durhaka kamu ya," Bunda Ika berkacak pinggang. "Kamu yang bayar semua ini." Wanita paruh baya itu melotot pada putranya
"Iya," Banyu menggosok pinggangnya yang masih terasa sakit.
"Jingga sayang, Bunda pergi dulu ya. Kalau dia macem-macem sama kamu, kamu telepon Bunda aja, atau kamu hajar sendiri kalau mau."
Banyu memutar bola matanya jengah, mendengar ucapan sang bunda.
Jingga tersenyum sembari mengangguk, kemudian mencium tangan Bunda Ika, sebelum wanita paruh baya itu melenggang meninggalkan mereka berdua.
"Hati-hati, Bunda." Jingga melambaikan tangan pada Bunda Ika, saat wanita itu membuka pintu restoran tersebut.
"Mau habisin makannya dulu, atau langsung ke butik?" tanya Banyu.
"Ehm, Mas Banyu buru-buru? atau ada janji sama teman?"
Jingga merasa canggung menggunakan panggilan 'mas' pada Banyu. Pasalnya panggilan seperti itu terdengar sangat mesra. Dan semua ini tentu berhubungan dengan Bunda Ika. Beliaulah yang menyuruh Jingga memanggil Banyu dengan embel-embel 'mas' dan bukan 'kak'. Karena menurutnya, panggilan 'kak' terlalu muda untuk usia Banyu yang hampir kepala tiga.
Banyu tersenyum kecil mendengar Jingga mengganti panggilannya dengan 'mas'. Gadis itu selalu menuruti setiap perintah sang bunda. Tak pernah meolak mentah-mentah. Gadis ini benar-benar memiliki kesopanan yang tinggi diusianya yang masih muda.
"Enggak juga. Beberapa hari ini aku nggak akan sibuk, karena bunda nyuruh kita untuk menyiapkan pernikahan. Kamu 'kan tahu, pernikahan kita ini terlalu mendadak. Jadi semua orang termasuk kita harus ikut terlibat agar semuanya cepat beres."
"Kalau begitu kita makan dulu aja ya mas, aku masih laper." Ucap Jingga sedikit malu. Tapi kemudian ia tersenyum saat mendapat anggukan dari Banyu.
Sepuluh menit kemudian mereka keluar dari restoran tersebut. Mereka berjalan menuju basement untuk mengambil mobil Banyu, kemudian menuju butik langganan keluarga Banyu.
Di dalam mobil mereka sama-sama terdiam. Tidak tahu apa yang harus dibicarakan karena mereka memang belum terlalu kenal. Belum tahu topik apa yang bisa mereka bahas bersama.
Lima belas menit berlalu masih dengan keheningan. Namun segera terpecahkan saat Jingga mulai membuka suara.
"Mbak Celin ternyata cantik ya kalau dilihat dari dekat."
Banyu menoleh sembari mengernyitkan keningnya. Sedetik kemudian ia teringat dengan pertemuan tak terduga mereka tadi malam bersama kekasih mereka masing-masing. Kemudian Banyu mengangguk tanda setuju.
"Sebenarnya sayang loh, kalau mas Banyu lebih milih aku daripada Mbak Celin. Aku jauh banget dari dia." Ujar Jingga jujur. Tadi malam ia merasa insecure dengan Celin. Pasalnya Jingga terlalu jauh dibandingkan Celin. Usia yang terpaut cukup jauh membuat Jingga merasa begitu kecil.
"Kenapa seperti itu?" tanya Banyu heran.
Jingga menoleh, "Mbak Celin itu kelihatan banget kalau udah dewasa. Nggak kayak aku yang terlihat masih seperti bocah." Jingga terkekeh sendiri, menyadari dirinya memang masih terlalu muda untuk menikah.
"Semua orang pasti memiliki kelebihan sendiri-sendiri, Ji. Aku yakin kamu punya potensi tersendiri. Hidup kita tidak harus sama dengan orang lain. Kelemahan kita dan orang lain itu tidak akan pernah sama. Dan semua ini adalah pilihan ku, ya meskipun sedikit terpaksa." Banyu tersenyum lebar pada kalimat terakhirnya.
Bibir gadis itu membentuk senyum simpul yang begitu indah. Ada rasa hangat menyelimuti dadanya. Ia tak menyangka akan mendapatkan respon sepositif ini dari Banyu. Meskipun kalimat terakhir yang mengatakan terpaksa juga sedikit mencubit hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
sherly
kalian berdua anak yg nurut Ama ortu pasti dijamin akan bahagia...
2023-05-29
0
Atha 😘😘
🆗🆗🆗🆗💪💪💪👍👍👍👍
2022-06-23
0
Siti Nahwa
aku penasaran sama celin gimana responx klo dikasih tau klo banyu udah mo nikah
2022-04-27
1