"Lo kenapa lagi sih Nyu? Pagi-pagi muka lo udah lesu gitu?." Tanya Kikan pada sahabatnya yang terlihat tak bersemangat. Kikan duduk di sebelah kiri Banyu.
Banyu diam saja, tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan dari Kikan.
"Heh, cerita dong, jangan dipendem sendiri. Jadi bisul tahu rasa lo." Kekeh Kikan. Ia menggoyangkan tubuh Banyu agar merespon. Kikan terus saja mengoceh menyuruh Banyu untuk bercerita, tapi Banyu sama sekali tidak mengeluarkan suaranya. Kikan yang sudah lelah akhirnya menyerah. Ia berdiri hendak meniggalkan Banyu. Tapi ucapan Banyu membuat kakinya tak mampu lagi untuk berjalan.
"Gue disuruh nikah sama bunda." Tangan Banyu mencekal pergelangan tangan Kikan, meminta untuk tidak pergi.
Deg
Kikan membulatkan matanya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.
"Duduk Ki, gue mau cerita." Pinta Banyu, ia menarik tangan Kikan untuk duduk kembali.
Dengan perasaan malas bercampur sedih, Kikan duduk kembali. Pandangannya tiba-tiba kosong.
"Bunda nyuruh gue nikah." Ujar Banyu lagi.
"Terus?." Kikan bertanya dengan perasaan yang hancur.
"Tapi Celin belum bisa kalau harus nikah bulan ini." Banyu tampak bersedih saat mulai menceritakan apa yang sedang ia pikirkan.
"Bunda nyuruh gue nikah bulan ini. Dan kalau Celin enggak bisa, bunda mau jodohin gue." Lanjutnya bercerita.
Kikan melebarkan matanya lagi. Astaga dijodohkan? Apa artinya gue enggak akan bisa dapetin Banyu?. Batinnya bertanya entah pada siapa.
"Gue udah coba hubungi Celin, tapi dari tadi ponselnya mati." Banyu mendesah frustasi. Sejak tadi ia sudah mencoba menghubungi Celin hingga puluhan kali, tapi sama saja tidak ada jawaban dari sana.
"Gue harus gimana Ki?" Banyu menyandarkan kepalanya pada bahu Kikan.
Menahan sesak dalam dadanya, Kikan mencoba tersenyum secara paksa. "Semua keputusan ada sama lo Nyu. Cuma lo yang bisa nentuin. Gue sebagai sahabat cuma bisa ngedukung sama ngasih semangat." Jawabnya sambil menahan air mata yang hampir terjatuh.
"Ki, seandainya gue nikah sama cewek yang bunda jodohin sama gue, apa Celin bakalan marah?" Tanya Banyu meminta pendapat.
Kikan tersenyum. Ia mengusap punggung Banyu. "Setiap orang yang pernah menjalin ikatan cinta pasti akan merasakan kecewa jika harus berpisah Nyu. Celin pasti akan marah dan kecewa." Kayak gue, gue juga kecewa Nyu, gue enggak nyangka bunda bakal jodohin lo. Ucap Kikan hanya dalam hatinya.
"Terus gue harus gimana Ki? Gue enggak mau nyakitin hati bunda dengan terus mengulur pernikahan, tapi gue juga enggak bisa kalau harus nyakitin hati Celin. Gue masih cinta sama dia." Ujar Banyu frustasi.
"Ya lo pilih aja, hati siapa yang mau lo pertahanin. Lo coba hubungi Celin terus sampai nanti malem, kalau dia tetap enggak ngangkat telpon dari lo, berarti Tuhan nyuruh lo untuk ngejaga hati bunda." Saran Kikan seakan ia tak merasakan kesedihan.
Banyu menegakkan tubuhnya. "Thanks ya Ki, lo udah mau dengerin gue." Banyu menggenggam tangan lentik sahabatnya.
Kikan tersenyum hambar. Kemudian ia berdiri dan mengatakan pada Banyu ia harus segera bersiap, karena sebentar lagi cafe akan buka.
Entah Banyu tidak peka atau memang dia terlalu fokus dengan pikirannya, ia tidak bisa melihat kesedihan yang tergambar pada wajah Kikan.
......................
Cefe masih terlihat sepi saat tiga gadis masuk ke dalam sana. Mereka bertiga duduk di tempat yang sama seperti bebeberapa waktu yang lalu. Mereka memandangi taman bunga dan kolam ikan mini dari balik tembok kaca.
Mata Jingga sama sekali tidak beralih dari sana. Bibirnya tersenyum melihat keindahan yang tersaji di sebelah kirinya.
Keyra dan Riana juga tersenyum melihat Jingga menikmati pemandangan di sana. Mereka merasa bahagia saat pikiran Jingga teralihkan sementara waktu. Mereka berdua berharap kehidupan Jingga akan semakin baik setelah ini. Entah apa yang akan terjadi, antara perjodohan itu dibatalkan atau dilanjutkan, semoga itu menjadi yang terbaik untuk Jingga.
Lamunan mereka bertiga dibuyarkan oleh seorang pelayan cafe yang mendatangi mereka. Keyra memesan beberapa makanan ringan saja dan tiga jenis minuman untuk mereka bertiga.
"Ji.. " Panggilan Keyra membuat Jingga menoleh.
"Lo udah enggak apa-apa?" tanya Keyra perlahan.
Jingga tersenyum, ia menggeleng kecil. "Enggak apa-apa." Jawabnya singkat.
Keyra dan Riana saling berpandangan. Mereka tahu Jingga adalah gadis yang kuat, dia pasti bisa menjalani semuanya.
Mereka bertiga masih sibuk dengan pikirannya masing-masing saat mereka selesai dengan makanan mereka.
Jingga mengucapkan terima kasih kepada dua sahabatnya yang sudah mau menemani dirinya. Ia berpamitan pada mereka berdua untuk pulang terlebih dahulu. Ia berencana untuk mengunjungi rumah sakit tempat papanya bekerja.
......................
Papa Arta menatap heran pada putrinya yang berkunjung di jam kuliah seperti ini.
"Kamu bolos Ji?"
Jingga mengangguk dengan kepala bersandar pada pundak sang papa.
"Ada apa? Tumben anak papa yang rajin ini bolos, tidak biasanya." Papa Arta mengelus lengan Jingga.
Bukannya menjawab gadis itu malah memeluk papanya dengan erat.
"Kamu kepikiran dengan ucapan mama kamu tadi?" tanya papa Arta dan mendapatkan anggukan dari Jingga lagi.
Papa Arta menghela napasnya. Ia kemudian mengusap kepala putri bungsunya penuh sayang. "Papa tahu itu berat untuk kamu. Papa sebenarnya juga tidak suka dengan cara mama kamu." Papa Arta menghirup udara yang ada disekitarnya sebelum melanjutkan ucapannya.
"Tapi sepertinya lebih baik kamu mengikuti perintah mama."
Jingga membelalak, ia menegakkan badannya dengan cepat. Matanya menatap mata lelah sang papa.
"Kenapa papa malah menyuruhku untuk mengikuti mama, apa papa sekarang tidak sayang lagi denganku?" Tanyanya sendu. Hanya papa yang menyayangi dirinya, tapi kenapa dia malah membela mama sekarang.
"Papa sangat sayang sama kamu Ji... " Papa Arta memegang bahu Jingga dengan erat.
"Dengarkan papa... " Ia menatap mata Jingga dalam.
"Papa tahu kamu sering diperlakukan tidak baik oleh kakak dan mamamu. Papa pikir jika kamu menikah dengan pria itu kehidupanmu akan jauh lebih baik. Tidak akan ada lagi yang menghinamu, tidak akan ada lagi yang merendahkan dan meremehkan kamu sayang." Ucapnya memaparkan sebuah alasan yang menurutnya benar.
"Bagaimana nanti kalau ternyata suamiku itu orang yang jahat, kejam, dan dingin seperti cerita-cerita novel yang aku baca."
Papa Arta tertawa kecil, ia tidak menyangka putrinya akan terbawa dengan bacaan fiktif yang sering dibacanya. "Kamu tenang saja, papa sudah melihat bagaimana calon suamimu itu. Dia pria yang baik, papa merasa dia cocok dengan kamu." Ujarnya jujur.
"Bagaimana dengan Kevin? Aku masih punya pacar pa... "
"Ji.. Papa tidak suka dengan Kevin, apa papa belum pernah bilang ke kamu?" Tanya papa Arta, kemudian Jingga menggeleng.
"Papa sebenarnya tidak terlalu suka dengan kekasih kamu itu. Beberapa kali dia datang ke rumah dia tidak pernah menemui papa. Dia juga tidak pernah meminta izin kepada papa saat mengajak kamu keluar." Jingga tertunduk, semua yang dikatakan oleh papanya memang benar, Kevin tidak pernah sekalipun menemui papanya.
"Papa berkesimpulan dia bukan laki-laki baik. Jika dia baik dia pasti akan meminta izin kepada papa jika ingin mengajak kamu makan ataupun jalan-jalan. Tapi bahkan sekalipun papa tidak pernah bertemu dengan dia." Papa Arta menghela napasnya.
"Papa ingin kamu mendapatkan yang terbaik Jingga." Papa Arta mengangkat dagu Jingga hingga mata mereka bertemu.
"Baiklah, Jingga akan menerimanya tapi ini karena papa, bukan karena mama." Ucapnya pasrah.
Papa Arta memeluk putri keduanya itu penuh sayang. "Maafkan papa ya, tapi papa yakin pria itu baik untuk kamu." Ucapnya lagi disela mereka berpelukan.
......................
Banyu duduk diam di dalam kamar. Sedari tadi ponsel Celin masih tidak bisa dihubungi. Ia belum rela jika harus menikah dengan wanita lain. Tapi ia juga tidak mau mengecewakan bundanya.
Ceklek
Pintu kamar Banyu terbuka, nampak sang bunda memegang handle pintu. Wanita itu berjalan mendekati putranya yang duduk tenang di bibir ranjang.
"Bagaimana?" Tanyanya terus terang.
Banyu menatap sang bunda yang sedang memegang pundaknya.
"Apa tidak ada toleransi lagi?" Tanya Banyu penuh harap.
Bunda Ika menggeleng.
Banyu menghela napasnya dalam-dalam. Otaknya mulai berpikir. Bunda lebih berharga.
Baiklah mungkin memang mereka tidak ditakdirkan bersama.
"Baiklah, Banyu ikut bunda saja." Jawabnya pasrah.
Bunda Ika tersenyum, kemudian memeluk putra kesayangannya. "Bunda memberikanmu yang terbaik sayang." Ucap bunda Ika, tetapi tidak mendapat jawaban apapun dari Banyu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Indiani
lanjut toor saya suka alur ceritax...
2023-03-28
0
Lily Miu
mama dan kakak yg aneh
2023-03-19
0
Lily Miu
baik bgt
2023-03-19
0