Waktu Yang Singkat

Hari itu.

Waktu ibarat roda yang berputar, melaju tanpa henti, seperti kehidupanku yang terus bergulir dari waktu ke waktu, sudah hampir satu tahun aku bekerja di sini, tidak hanya teman, rekan kerja, atau bahkan pengalaman aku dapat, namun semua itu harus aku tinggalkan sebagai kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan, itu semua terlepas karena sesuatu yang membuatku sempat depresi, tidak ada kehidupan untukku setelah orang yang aku cintai meninggalkanku untuk selama-lamanya.

Kring kring kring, suara panggilan masuk dari tante Dinar.

“Halo tante, ada apa?” seru Tias.

“Halo Tias, apa kamu bisa ke rumah sakit Sejahtera sekarang?” ujar tante Dinar panik.

“Rumah sakit? Memangnya siapa yang sakit tan?" ucap Tias.

“Mamah mu masuk rumah sakit,” sahut tante Dinar.

“Apa!" ucap Tias terkejut.

"Mamah masuk rumah sakit, kok bisa? Ya sudah aku segera ke sana,” lanjutnya panik.

Beberapa menit kemudian.

Setibanya.

Namun sesampainya di rumah sakit, aku melihat air mata mereka terjatuh, entah apa yang ku lihat itu nyata atau hanya sekedar mimpi, namun harus kah ku terima kepahitan ini, kenyataan bahwa mamah telah pergi meninggalkan ku.

“Pah, apa yang terjadi,” ucap Tias seraya menghampiri papah yang sedang tersedu menangis.

Namun tarikan tangan bang Putra yang serentak memelukku seraya menangis, membuatku semakin sakit.

“Mamah sudah pergi,” lirih Putra.

Ucapan yang terdengar di telingaku, membuat hatiku sakit bak ditusuk pedang yang tajam.

“Tidak! Tidak mungkin, mamah baik-baik saja, tidak mungkin mamah meninggal!” ucap Tias seraya menepis pelukan Putra.

Ucapan ku dipungkiri setelah dokter keluar dari kamar mamah berada, memang benar mamah telah meninggalkan ku, dan itu membuat kesadaran ku hilang.

Blug! Tias terjatuh.

“Yas, Tias bangun nak,” seru papah seraya membangunkan Tias yang terjatuh pingsan.

Setelah beberapa menit kemudian.

Bagaimana aku bisa menerima ini, sedangkan aku saja masih bergantung pada mamah, bahkan aku tidak tahu, apa aku bisa melanjutkan hidupku tanpa mamah di sampingku.

“Sekarang anak mamah sudah besar, dan sebentar lagi akan menikah, kalau pun mamah pergi, kamu tidak akan kesepian lagi, karena ada suami kamu yang menemani mu,” ucap mamah seraya mengelus rambut Tias.

“Aku tidak ingin menikah mah, hidupku sudah cukup bahagia berada di samping mamah, bang Putra bilang kalau mamah akan pergi meninggalkan aku, itu tidak benarkan mah?” ujar Tias seraya memeluk mamah dengan air mata yang berlinang.

“Mamah memang akan pergi, mamah di sini karena mamah ingin melihat mu dan memeluk mu untuk yang terakhir kalinya, karena tadi pas sarapan pagi, kamu langsung pergi ke kantor,” ucap mamah yang masih mengelus rambut Tias.

“Mamah jangan pergi, bagaimana aku bisa tanpa mamah,” lirih Tias menangis.

“Kita akan bertemu dan berkumpul lagi nanti, kamu jaga diri kamu baik-baik, dan kamu harus janji sama mamah, jangan biarkan kesedihan mengurung diri kamu, karena mamah tidak ingin itu terjadi sayang, mamah di sini sudah bahagia, jadi mamah harap kamu pun bisa bahagia, ya nak!” ucap mamah seraya mencium kening Tias.

“Sekarang mamah harus pergi, ingat jangan biarkan kesedihan mengurung mu,” lanjutnya seraya melepaskan pelukannya dari Tias.

“Tidak mah, jangan tinggalkan aku, mamah!” teriak Tias.

Dengan nafas tergesa-gesa, aku kembali sadar dari mimpi yang menyayat hati, aku tidak percaya mamah meninggalkan ku dengan begitu cepat.

“Tias, nak kamu sudah sadar,” seru papah yang sudah berada di samping Tias.

“Pah!” rintih Tias seraya memeluk.

“Tias, papah tahu apa yang kamu rasakan, dan papah pun juga merasakan hal yang sama, tapi semua ini sudah ke hendak Tuhan, kita tidak bisa menghalangi ini semua,” ujar papah dengan mata yang berkaca-kaca.

“Tapi mengapa mamah pergi begitu cepat pah, tidak bisakah Tuhan membiarkan mamah hidup hingga aku menikah dan memiliki anak nanti,” ucap Tias seraya tersedu-sedu menangis.

“Kematian itu tidak ada yang tahu, kita tidak bisa menawar kapan kita harus mati sayang, kamu harus bisa mengikhlaskannya,” ujar papah.

“Sekarang kita antar mamah ke pengistirahatan terakhirnya yah, papah mau siap-siap dulu, kamu juga yah nak,” lanjutnya seraya menolehkan pandangan kesedihannya dari Tias.

5 menit kemudian.

Entah mengapa hati ini masih tidak percaya akan apa yang sedang terjadi, namun haruskan aku mengantarkan mamah yang jelas-jelas untuk terakhir kalinya.

“Tias, nak apa kamu sudah siap?” ujar papah dibalik pintu kamar Tias.

“Iya pah,” sahut Tias.

Setibanya di pemakaman.

Selamat jalan mah, semoga mamah bahagia di sana, walau aku tidak bisa berjanji apa aku bisa bahagia setelah mamah pergi, namun aku senang mamah mengatakan kalau mamah bahagia di sana, walau hanya dalam mimpi, tetapi bagaimana aku bisa menjalani ini semua, dan apa kesedihan itu benar-benar akan mengurungku.

Terpopuler

Comments

TharSul.W

TharSul.W

keren😃

2021-05-12

1

Kira

Kira

kalo boleh saran, buat movement perpindahan waktu kejadian, tempat lbh baik di perjelas lagi. contoh : jangan pakai "hari itu" melainkan "hari senin" jadi lebih nyata, satu lagi jangan pakai "setibanya" dan "beberapa menit kemudian" kalo udh pake "namun sesampainya di rumah sakit ..." karena udh mewakili kedua kata tsb. intinya banyak pemborosan kata juga.

btw, ceritanya menyentuh hati karena aku pernah di posisi Tyas. cmn bedanya aku di tinggal ibuku saat usia 3 tahun.

2021-05-02

1

MamiihLita

MamiihLita

ikutan nangis😭😭

2021-04-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!