Saat itu juga ku buang rasa keterkejutanku, dan aku pun tersenyum sambil mengucapkan salam.
“Assalamu'alaikum...”
“Wa'alaikumsalam...”, jawaban terdengar olehku dari bibir mereka berdua.
Di jalan, aku terus melamun. Aku masih belum
percaya dengan yang ku alami. Sampai saat di depan gerbang pondok pun, aku baru sadar. Ternyata Pak Satpam dengan wajah garangnya telah berdiri tegap di depanku. Aku hanya bisa unjuk gigi.
“He...Bapak,” ucapku dengan mimik tanpa dosa.
“Shaffat...” ucap Pak Satpam, aku tahu beliau pasti akan menyemburku dengan kemarahan beliau. Sebelum itu terjadi, aku langsung berlari
sekencang˗kencangnya. Menerobos gerbang yang hanya tertutup, tak terkunci itu.
“Maaf, Pak!!!”, ucapku dari tengah halaman
pondok. Terlihat dari tempatku berdiri, beliau
geram denganku. Namun tak ku pedulikan itu semua.
Dan tanpa ku sadri pula, dari atas lantai empat.
Para sahabatku sedang menertawakanku. Saat aku tahu itu, aku pun ikut tertawa dengan kelakuan kocak ku sendiri.
Para sahabatku tertawa setelah ku ceritakan
semua tentang satpam yang marah padaku.
“Kamu memang orang yang terkocak, Shaf. Yang pernah ku temui di Singason.” ucap Halwa.
“Benarkah Halwa?, memangnya Singason ini
kota kecil?” ucapku.
“Em… iya˗iyalah! Kan lebih luas Mexudo.” ucap Halwa.
Tawa pun meledak, “Ya jelas saja, tapi mengapa kamu bandingkan dengan kota Mexudo? Yang
jelas˗jelas lebih luas?” ucapku.
“Tapi lebih luasan Negaraku, Ingodesia...” ucap Zakia tak mau kalah, yang jelas memang pasti menang dia bila sebuah kota di banding dengan Negara.
“Eits!, lebih luas Negara kita juga kok, ya kan Shaf?, Mann?,” ucap Salwa, sambil menatap kita
bergantian.
“Iya!” jawabku dan Manna.
“Iya deh... Si orang Argbec.” ucap Halwa dan Zakia.
“Sudah˗sudah... kita tidak boleh saling
membanggakan terlalu berlebihan begitu.” ucap
Manna, meredakan perselisihan.
Dan dia melanjutkan, “Entah itu Halwa dan Layla orang penduduk asli Amanka ini. Entah itu Zakia, orang penduduk Ingodesia. Ataupun kita bertiga, orang penduduk Argbec.” ucap Manna.
Kita semua mengangguk, dan tak lama kemudian
adzan maghrib bersahutan. Meskipun Amanka Selatan kebanyakan non muslimnya, tapi di sini tetap ada kota pemukiman orang Islam. Saat ini nama kota ini bernama Singason. Tapi terdengar berita, bahwa kota ini akan diganti nama. Entah apa. Yang penting aku bersyukur nyantri di kota ini, bersama para sahabat yang berbeda˗beda asal daerah juga.
Walaupun Singason sangat kalah keislamannya
bila di bandingkan dengan di Afifor, kota
kelahiranku di Argbec. Kecuali di pondok˗pondok
pesantren yang ada di Singason.
Setelah malam datang menggantikan maghrib,
dan bel tidur telah terdengar, aku menggelar
tikarku serta selimutku. Aku pun berbaring dan
menutup tubuhku sampai leher, dengan selimutku.
“Shaf, Shaf!” Manna tiba˗tiba memanggilku,
dia berbaring di sampingku membaringkan tubuhnya.
Aku pun berbalik badan, dan menoleh padanya. Dan memanggilku sambil berbisik.
“Ada apa ?” jawabku, sambil berbisik pula.
“Lanjutkan ceritanya.” ucap Manna.
Aku sudah menduganya, aku pun tersenyum. Dan aku pun menceritakan pada Manna apa yang telah aku baca tadi, saat berada di perpustakaan pribadi milik Pak Mega J.
...****************...
Keesokan harinya, seperti biasa. Aku mandi
mendahului temanku yang lain. Entah mengapa hari ini aku begitu rajin melakukan seluruh yang biasa aku lakukan, setelah aku mandi ada Zakia yang sudah berdiri di kamar mandi. Menatapku diam, kedua matanya membulat.
“Kenapa?, apa ada yang salah?” tanyaku.
Tiba˗tiba para sahabatku yang lain juga keluar dari kamar, melihatku dan tawa mereka pun pecah. Ha Ha Ha
“Memangnya ada yang salah, apaan sih?” tanyaku lagi, tapi mereka tertawa. Dan semakin terkekeh. Apalagi Halwa, sampai
terpingkal˗pingkal.
“Sudah, sudah, kasihan Shaffat. Coba lihat tuh dia!...” ucap Manna. Aku hanya menggaruk kepala yang tidak terasa gatal sama sekali.
“Shaf, kita nertawai kamu karena... Kamu ngapain mandi sebelum shubuh?” ucap Salwa dengan
hati˗hati, dan dia akhirnya juga tertawa.
“Kan kalau nanti mandinya, takut telat...” jawab Shaffat dengan polosnya.
Sontak mereka semua tertawa. “Ini hari jum'at, Shaf...” ucap Manna.
“Mmmm…masa sih?” ucapku. “Em,,, gak papa
sih! Aku takut telat datang ke rumah seseorang,
kok!” elakku. Walau aku sendiri dalam hati tertawa tertahan˗tahan.
“Alasanmu bagus!” puji Halwa, yang sejatinya hal itu mengejekku.
Aku pun meletakkan kedua tanganku dan di lipat di depan dada lalu berkata, “Lalu apa mau kalian?”
“Ayo cerita˗cerita seperti biasa!” rajuk mereka kepadaku, sudah ku duga… pekikku dalam hati.
Aku pun menjawab, “Kok bilang sama aku? Ini
kan giliran Manna?” aku mengerutkan kening.
“Aku tahu kok Shaf, kalau kamu tadi malam
diam˗diam cerita˗cerita, hanya sama Manna.” ucap Zakia dengan nada tak enak di dengar, aku rasa mereka cemburu. Dan terlihat olehku mimik wajah Zakia dan yang lainnya seketika murung.
.
.
.
✍
kelanjutannya besok
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Fans Beratmu
aku serasa seperti digowo Jero ceritone
2021-03-13
3