Rick berubah menjadi lelaki yang dingin dan kejam pada para atlet yang dia latih. Pelatihan kini semakin keras. Bagi yang tidak mampu dan protes, Rick malah memberikannya surat pengunduran diri menjadi atlet. Tak ada hal lain di pikirannya selain kemenangan.
Hari ini adalah hari pertandingan yang dinanti-nantikan. Semua channel televisi dan media cetak olahraga tengah meliput pertandingan rugby. Tim yang dilatih oleh Rick maju ke perempat final. Semua media menyoroti Rick yang telah mampu membawa timnya menuju final.
Pertandingan selesai. Babak selanjutnya akan dilanjutnya minggu depan. Saat keluar dari stadion, Rick langsung diserbu para wartawan yang ingin mewawancarainya. Miranda salah satunya. Tubuh lincahnya berhasil membuatnya sampai di area paling dekat dengan Rick.
Miranda terpesona dengan karisma yang dibawa Rick. Para wartawan mulai bertanya dan dijawab Rick tanpa basa-basi.
"Setelah istri Anda meninggal, apakah benar Anda memperkeras cara Anda melatih tim?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Miranda yang langsung disetujui oleh wartawan lain yang ingin mendapatkan jawaban.
Tapi berbeda dengan Rick. Dia terdiam dan menatap Miranda tajam, membuat nyali orang yang ditatapnya menciut seketika.
"Istriku tidak ada hubungannya dengan cara saya bekerja," ucapnya tegas kemudian berjalan menuju mobilnya.
Mobil Rubicon hitam itu kini melaju menjauhi kerumunan wartawan. Rick menatap kaca spionnya dan terlihat pantulan Miranda di sana.
"Shit!" umpatnya. "Wartawan menyebalkan!"
Natasha, manajer yang sedari tadi mendampingi Rick menatap Miranda lekat. "Hey kau! Kemari!"
Miranda yang merasa terpanggil menepuk dadanya. "Aku?"
"Ya. Kemarilah!" balas wanita tomboy berambut cepak itu.
Miranda mendekat. Natasha langsung meraih kalung identitas pers yang dipakai Miranda. "Kau dari majalah Rabbit?"
Miranda mulai merasakan ada yang salah dengan ini. Dia tahu Natasha adalah manajer tim sekaligus sahabat Rick. Apakah ini ada hubungannya dengan pertanyaannya barusan?
"I...iya.. Apakah saya berbuat salah?" tanya Miranda.
Nat hanya tersenyum miring lalu pergi dengan mobil sportnya.
Perasaan tidak enak langsung menyelusup ke dalam hati Miranda.
***
Ide brilian ini muncul begitu saja. Nat memacu mobilnya menuju kantor Rabbit Magazines. Sesampainya di sana dia langsung menuju ruangan direkturnya. Dia mengenali direktur itu. Beberapa kali dia telah melakukan kerja sama.
"Halo Mister Laurence!" sapa Nat saat diperbolehkan masuk ke dalam ruangan direktur Rabbit Magazines.
Lelaki bertubuh gempal itu langsung menyambut Nat dengan hangat. "Halo Nat. Sudah lama kita tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?"
"Yah, aku baik."
"Kemarilah, silahkan duduk."
Nat duduk di hadapan Laurance yang hanya terhalang meja kerja.
"Apa yang membawamu kemari?"
"Aku ingin mengkonfirmasi apakah benar di sini ada wartawan yang bernama Miranda Khiel?"
Raut wajah Laurence langsung menegang. "Ya, apa yang dia perbuat? Apakah dia telah mencoreng nama baikmu?"
Nat terkekeh. "No. No. Aku ingin mengajukan kerja sama."
Laurence kembali santai. "Kerja sama apa?"
"Aku ingin perusahaanmu menuliskan sebuah buku biografi. Dan aku ingin Miranda yang menulisnya."
"Hahaha... kau ingin orang-orang mengenalmu?"
"Oh tidak. Aku bukan ingin kau menulis buku tentang diriku. Tapi tentang Rick."
"Rick Foley? Pelatih timnas rugby?"
"Ya. Dia kini sedang berada di puncak karirnya. Aku ingin namanya membekas di masyarakat. Buatkan aku buku biografi tentangnya. Kurasa itu akan membuat perusahaanmu menghasilkan keuntungan yang banyak."
Mata Laurence berbinar mendengar hal itu. "Baiklah aku setuju. Tapi apakah kau sudah sepakat dengan Rick soal ini?"
"Tenang, dia akan kuurus. Dia pasti setuju. Ingat, aku ingin wartawan itu yang menulisnya. Siapa namanya tadi? Mira..Miranda?"
"Ya tentu. Sesuai dengan keinginanmu." Laurence berdiri dan menjabat tangan Nat sebagai tanda deal.
***
"Miranda!" seru Bryan yang muncul dari balik kubikelnya.
Miranda berdiri. "Ada apa?"
"Kau dipanggil Tuan Laurence ke ruangannya," jawab Bryan. "Cepat!"
Suasana hati Miranda mulai tak karuan. Apakah ini gara-gara wawancara tadi siang dengan Rick? Setelah merapikan pakaiannya dia berjalan menuju ruangan atasannya.
Di dalam ruangan, dia langsung disambut wajah serius Laurence yang sedang membaca curiculum vitae milik Miranda.
"Kau dulu pernah menulis buku?" tanya Laurence tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas di tangannya.
"Ya tuan. Tapi itu sudah lama, saat aku masih kuliah."
"Apakah kau tidak kehilangan bakat menulismu?"
"Dengan menjadi jurnalis di sini, aku semakin terampil dalam menulis Tuan."
Laurence tersenyum lalu menyimpan kertas ke atas meja. "Aku ingin kau menulis lagi. "
Mendengar hal itu membuat Miranda kembali bersemangat. "Apa yang harus aku tulis Tuan?"
"Aku ingin kau menulis sebuah biografi."
Mendengar biografi, Miranda semakin bersemangat. Dengan kata lain dia akan menjadi dekat dengan salah satu tokoh penting di negeri ini. "Siapa yang harus kutulis biografinya tuan?"
"Aku ingin kau menulis biografi Rick Foley. Pelatih timnas rugby kita."
Glek!
Pelatih dingin dan pemilik tatapan tajam setajam silet itu? Oh Tuhan! Apakah ini buntut dari pertanyaanku yang menyinggung soal mendiang istrinya?
"Kau masih mendengarku?" tanya Laurance membuyarkan lamunan Miranda.
"Ya. Tentu Tuan. Akan aku lakukan sesuai dengan keinginanmu."
"Aku ingin buku ini rampung selama tiga atau empat bulan. Kau bisa melakukannya?"
Miranda mengernyitkan dahinya. "Yah itu bisa diusahakan, tapi bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jurnalis Tuan?"
"Aku bebaskan kau dari tugas itu. Sekarang fokusmu adalah menulis biografi itu. Mengerti?"
Miranda mengangguk. "Baik Tuan."
"Kau boleh pergi."
Miranda keluar dari ruangan direkturnya dengan tatapan hampa. Bryan menatap Miranda dengan tatapan penasarannya. Bryan mengikuti temannya itu sampai di kubikelnya.
"Apa yang terjadi? Kau tidak dipecat kan?" tanya Bryan.
Miranda menggeleng. "Tuan Laurence ingin aku menulis buku."
Bryan mulai ceria. "Baguslah! Bukankah itu impianmu selama ini? Menjadi seorang penulis?"
"Aku disuruh menulis buku biografi."
"It's oke. Anggap itu sebagai permulaan. Lalu, siapa yang akan kau buatkan biografinya?"
"Tuan Laurance memintaku menulis biografi Rick Foley."
"Wah! Kenapa kebetulan sekali? Bukankah beberapa minggu lalu kau menuliskan artikel mengenai dia yang kehilangam cintanya?"
Miranda mengangguk. Bryan tidak memahami perasaannya saat ini. Takut dan tegang ditambah dengan perasaan antusias di saat yang bersamaan. Selama empat bulan ke depan dia akan selalu berada dekat dengan Si Pelatih Kejam itu.
***
"Are you crazy? Apa yang ada di pikiranmu?" teriak Rick pada Nat yang murka setelah Nat membicarakan soal biografi.
"Rick. Tenanglah! Ini bagian dari strategi pemasaran agar lebih banyak perusahaan yang akan menjadi sponsor timnas," jelas Nat berusaha menenangkan Rick.
"Apakah sponsor kita saat ini tidak cukup? Kenapa harus aku yang dikorbankan?" Rick masih tidak menerima.
Nat terkekeh. "Siapa yang mengorbankanmu? Sekarang kau sedang berada di puncak karirmu sebagai pelatih. Kau harus mengukir namamu sebagai bagian dalam sejarah!"
"Aku tidak peduli."
"I'm so sorry Rick. Tapi aku sudah menandatangani kontraknya dengan perusahaan penerbitannya."
"Shit!"
Selalu seperti ini. Pada akhirnya Rick tidak bisa membantah Nat. Meski Nat usianya lebih muda, tapi Nat sudah dia anggap sebagai kerabatnya sendiri.
'Ding Dong'
Bel rumah Rick berbunyi. Nat duduk di sofa sambil menunggu Rick membuka pintu rumahnya. Saat dia membuka pintu, terlihat wanita berambut ikal pirang kecokelatan berdiri di sana. Wajahnya tampak familiar. Hingga akhirnya Rick menyadari bahwa wanita itu adalah wartawan menyebalkan yang menyinggung mendiang istrinya tempo hari.
Rick berpaling menatap Nat dengan wajah malasnya. "Are you kidding me?"
Nat berdiri dan wajahnya sumringah melihat kedatangan Miranda. Dia segera menyambut Miranda.
"Halo. Kau wartawan yang waktu itu?" sapa Nat.
Miranda mengulurkan tangannya. "Ya. Hai. Aku Miranda."
Nat membalas jabatan tangan Miranda. "Natasha. Kau boleh memanggilku Nat. Ini Rick. Kau pasti sudah kenal."
Rick menatap kedua wanita menyebalkan di hadapannya. Lalu dia berjalan dan duduk di sofa tanpa membalas jabatan tangan Miranda.
"Kemarilah." Nat mempersilahkan Miranda duduk di sofa di hadapan Rick.
"Jadi kau yang akan menulis buku biografi Rick?" tanya Nat mengkonfirmasi.
"Ya. Tuan Laurence memintaku begitu. Selama empat bulan ke depan, aku akan mengikuti keseharianmu.. Tuan Rick?" jelas Miranda.
Rick memutar bola matanya pada Nat dan meleparkan isyarat tak terima. Tapi Nat hanya membalasnya dengan senyuman.
"Lakukanlah apapun yang dapat membantumu untuk menulis biografi itu. Bila perlu kau boleh tinggal di sini. Kamar tamu di sebelah sana kosong. Bukankah itu akan membantumu untuk menuliskan kebiasaan Rick sewaktu malam?" ucap Nat tanpa kendali.
"Jika itu boleh akan mempermudah pekerjaanku," kata Miranda sambil memandang Rick meminta persetujuan.
Nat dan Miranda menatap Rick. Lagi-lagi Rick tidak dapat membantah.
"Lakukanlah apa yang kau inginkan. Tapi ingat aturannya. Jangan pernah berisik di rumah ini. Aku tidak suka. Jangan berkomunikasi denganku jika tidak ada hal yang tidak perlu," jelas Rick seolah tengah mendirikan benteng tinggi diantara keduanya.
Baiklah. Aku setuju! Untuk apa berinteraksi dengan lelaki tua dingin seperti dia?
"Setuju." Miranda mengangguk.
♤♤♤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Yanti Daok
bagus' aq suka cerintanya
2023-03-09
0
Novianti Ratnasari
sekarang boleh benci tapi bentar lagi bucin
2023-03-05
0
ERa Ben
Hmmm.. Lampu hijau..
2022-06-08
0