Perkenalkan namaku Karinina. Orang biasa memanggilku Karin. Usiaku 23 tahun, Aku baru saja lulus kuliah dan mulai bekerja. Jangan salah sangka ya, aku bukanlah tokoh utama di cerita ini. Aku sekedar saksi dari sekelumit cerita ini.
Aku adalah orang yang sangat terinspirasi dengan kisah wanita yang sangat aku kagumi. Dia adalah panutan dalam hidupku. Wanita yang sudah rela merawatku meskipun aku bukanlah putri kandungnya.
Namanya Ajeng, wanita yang aku panggil ibu. Kisahnya berawal mundur di 25 tahun yang lalu. Masih di tahun sembilan puluhan.
Saat itu sebuah mobil terparkir di antara bahu jalan. Di dalamnya, sang pemilik yang sedang kelelahan terlelap. Cuaca siang itu memang begitu panas. Pria yang berada di dalam mobil bernama Afsal.
Dalam lelapnya, Afsal bermimpi. Ia bertemu seorang bidadari yang sedang memukul - mukul dedaunan yang menghalangi jalanya di sebuah hutan. Terdengar cukup halus suaranya bidadari itu di telinganya. Dia begitu cantik dan bersinar. Dalam mimpi itu, Afsal tergerak untuk menolongnya. Hingga tangannya terulur hendak meraih jemari sang bidadari namun tiba tiba seperti ada kabut yang menghalangi keduanya. Sekuat tenaga, Afsal mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan ......
Braaak ..., Tangan Afsal seperti membentur sebuah dinding kaca. Afsal terbangun dari lelapnya mimpi. Namun tangannya terasa sakit karena benar benar mengenai kaca pintu mobil. Sejenak Afsal memejamkan matanya kembali, mengumpulkan seluruh kesadarannya. Saat kembali membuka mata, Ia seperti menangkap bayangan bidadari dari balik kaca pintu mobilnya.
Dia terlihat begitu nyata, Bidadari dengan wajah oval, bibir mungil, hidung mancung dengan rambut yang tergerai sebawah bahu. Afsal tidak mengedipkan matanya lagi. Pria itu terdiam, bidadari yang berada dalam mimpinya hadir begitu nyata.
Mendadak jantung Afsal berdegup kencang. Sesekali ia mengusap wajahnya sendiri. 'Ini bukan mimpi, dia begitu cantik bersinar" perasaan Afsal bergemuruh. Setiap inchi wajah cantik di depannya sungguh tercetak dengan sempurna. Afsal semakin limbung saat tiba - tiba wajah di balik kaca jendela mobilnya itu tersenyum. Dan mulai detik ini, Wajah itu telah mencuri seluruh hati Afsal.
Di luar mobil yang sedang terparkir, seorang gadis belia sedang memantas diri di kaca jendela pintu mobil. Gadis itu tidak menyadari dari dalam mobil ada mata yang sedang menatapnya dalam. Setelah puas menatap pantulan wajahnya di kaca jendela, gadis itu tersenyum dan pergi meninggalkan mobil yang terparkir di bahu jalan.
Gadis belia itu bernama Ajeng. Ia melangkah ke sebuah warung bakso untuk menemui sang pujaan hati. Keduanya berjanji untuk kembali bertemu di tempat ini. Pujaan hati yang sudah hampir tiga tahun ini menemani hari harinya.
Damar sudah lebih dulu sampai di warung bakso. Dia duduk di meja paling ujung agar tidak mengganggu pengunjung yang datang belakangan. Damar melambaikan tangan saat melihat Ajeng telah sampai dan memasuki warung. Seperti biasa Ajeng terlalu menarik diantara beberapa orang yang berlalu lalang. Damar begitu cepat mengenalinya meski sudah tidak bertemu selama enam bulan.
Kemudian keduanya duduk berhadapan. Menanyakan kabar selama mereka terpisah. Tatapan keduanya begitu dalam. Segenap rasa rindu tertumpah lewat senyum juga genggaman tangan keduanya. Banyak cerita yang terucap dengan degup jantung yang menggebu. Memberi hawa hangat dengan sensasi yang mendebarkan namun candu. Mungkin ini rasanya dimabuk asmara.
"Ajeng, pesan apa? " suara Damar menyudahi rasa yang terus menggoda. Pertanyaan itu hanya basa basi belaka, Sebenarnya Damar begitu hafal makanan favorit Ajeng di warung ini.
"Bakso kuah dan es alpukat " berdua mengatakan hal yang sama. Kemudian saling pandang dan tersenyum penuh arti.
Mereka sungguh mengenal satu sama lain. Ini adalah liburan akhir semester bagi Damar. Ia sedang Menempuh pendidikan Tinggi di sebuah universitas Negeri terkemuka. Sedangkan Ajeng masih di bangku SMA kelas tiga.
Damar memiliki wajah yang rupawan dengan tinggi 173 dan otak yang cemerlang. Mereka merajut kasih sudah hampir tiga tahun. Siapapun akan mengatakan mereka adalah pasangan yang serasi.
Ini adalah janji temu setiap Damar pulang berlibur ke kota asalnya.
"Makannya pelan pelan, Jeng! Baksonya panas" Ucap Damar sangat perhatian saat melihat wajah Ajeng yang di penuhi keringat karena rasa pedas dari kuah bakso yang panas
Ajeng hanya mengangguk pelan. Sesekali ia menarik ingus yang akan keluar dari hidungnya. Ia merasa malu saat di tegur oleh sang kekasih. Damar mengulurkan tisu pada Ajeng untuk menghapus keringat. Gadis itu terlihat kepayahan.
"Sudah aku bilang, jangan terlalu banyak sambalnya"
Ajeng mengangguk dengan mimik wajah yang malu malu saat kembali damar memperingatinya.
"Minum dulu jus alpukat ya!" Damar menyodorkan gelas berisi jus alpukat.
"Terima kasih"
Interaksi keduanya diam diam di perhatikan oleh sosok Afsal yang tadi begitu penasaran. Mata elangnya terus memantau. Percikan percikan rasa cemburu membakar hatinya begitu saja. 'Aku pasti bisa memiliki kamu' Afsal bergumam lirih.
Ajeng bangkit dari bangku menuju toilet di ujung bangunan. Afsal dengan gerak tak mencurigakan mengikuti gadis itu dari belakang. Tanpa curiga Ajeng masuk kedalam toilet. Setelah menuntaskan hajatnya, Ajeng segera keluar. Dia berjalan dengan santai namun langkahnya terhenti saat sosok Afsal justru berdiri menghalangi jalannya. Ajeng menatap pria yang seolah menghadangnya. Tentu saja Ajeng merasa takut, namun gadis itu berusaha tenang.
"Permisi, om. Saya mau lewat " Ajeng berusaha sopan meski ada rasa takut dan juga jengkel.
Afsal tersenyum sinis mendengar panggilan Ajeng untuknya. Pria itu terlihat tidak suka di sapa dengan sebutan om. Kemudian tanpa di duga, Afsal mencekal tangan Ajeng.
"Apa aku setua itu?" Mata elang Afsal mengintimidasi Ajeng. Ajeng mencoba melepaskan tangannya dari cekalan Afsal 'Pria ini sangat menakutkan dan tidak sopan. Haruskah aku berteriak?' Lain di hati lain pula yang dilakukan. Rasa takut lebih mendominasi Ajeng
" Ah, ah maaf mas.." Ajeng mengubah panggilannya. Ajeng meminta maaf dan meminta pria asing itu untuk melepaskan cekalannya. Ternyata berhasil. Cekalan tangan afsal mengendur hingga Ajeng bisa bernafas lega
Afsal tersenyum mendengar panggilan Ajeng yang sudah berubah. Rasanya menyenangkan sekali suara lembut itu memanggil mas untuknya. Ada desiran aneh yang menghangat di dadanya
"Kamu tau? kamu akan terus memanggilku dengan sebutan ini. Dan jangan takut, aku tidak akan menyakitimu" Suara Afsal melunak dan terdengar lebih lembut bahkan di sertai kekehan. Tidak semenyeramkan seperti awal tadi mereka bertemu.
Setelah terlepas dari cengkraman Afsal. Ajeng segera berlari ke depan menuju Damar.
"Kita pulang, ya" suara Ajen terdengar gugup. Ia meminta Damar untuk segera meninggalkan tempat ini. Gadis itu tidak ingin bertemu lagi dengan pria asing yang tadi ia temui.
"Kenapa? Tuh, jus kamu masih separuh" tentu saja Damar heran. Tidak biasanya Ajeng ingin cepat cepat pulang. Mereka belum lama menghabiskan waktu.
"Emm..." Ajeng ragu mengungkapkan alasan yang sebenarnya. "Perut aku sakit" itu yang terlintas di kepala Ajeng. Alasan yang sangat masuk akal dan tidak mungkin akan di tolak oleh Damar.
"Ya, sudah. Ayo pulang" benar saja, Damar langsung menuruti permintaan Ajeng tanpa banyak tanya.
Tentu saja Damar lebih memikirkan kenyamanan Ajeng dari pada egonya yang masih ingin terus bersama.
Kemudian Damar menggenggam tangan Ajeng erat memberi perlindungan. Dia tidak mau Ajeng kenapa napa.
"Beli obat dulu ya?" Ucap damar saat mereka sudah menaiki motornya.
"Pulang aja, dibawa tidur sembuh, kok" Ajeng tetap menolak. Gadis itu hanya ingin segera pergi dari tempat itu saja.
Afsal hanya bisa menatap bidadari impiannya pergi bersama pemuda lain. Meski kesal ia bertekad untuk menemukan dimana gadis itu tinggal. Ia bergegas menuju mobilnya.
Pria dengan rambut putih sudah menunggu Afsal di dekat mobil yang terparkir. Beliau adalah ayah dari Afsal.
"Maaf yah, Afsal cape di dalam mobil terus jadi keluar untuk mencari Angin " Afsal berkata sembari membukakan pintu mobil untuk sang Ayah.
"Ayah sudah tau alamatnya?" Kembali Afsal bertanya. Rasanya ia sudah kehilangan fokus untuk menemani sang ayah. Ada tujuan lain yang ingin ia cari, menemukan sang bidadari yang sudah mencuri hatinya.
"Tenang saja, Ayah sudah menemukan alamat teman ayah. Tidak jauh dari sini, kok. Ayo jalan" .
Kemudian mobil itu melaju menuju ujung perkampungan. Sebuah rumah yang sedikit terpencil bangunannya dari rumah - rumah lain. Beruntungnya, jalan menuju kesana sudah sangat bagus. Melewati hamparan sawah dan beberapa kebun yang menghijau. Tidak rugi pemandangan di daerah ini sangat menyejukkan.
Mobil Afsal berhenti di sebuah rumah yang cukup besar, dikelilingi halaman yang luas juga asri. Bangunan rumah itu sedikit unik seperti rumah rumah tempo dulu. Afsal menikmati suasana rumah yang sedang ia singgahi. Bukan seperti rumah kebanyakan di daerah sini. Terlihat lebih menonjol di banding yang lain. Di belakang rumah juga terdapat kolam ikan yang diatasnya di bangun sebuah gazebo.
Ayah Afsal sudah mengetuk pintu dari tadi. Sepertinya pemilik rumah sedang tidak ada di tempat. Kemudian Ayah Afsal duduk di teras sembari menunggu sang pemilik. Tak lama muncul wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya. Wanita itu masih mengenakan mukena putih. Mungkin saja beliau sedang solat tadi makanya tidak kunjung membuka pintu untuk menyambut tamu mereka yang datang.
Seulas senyuman ramah terurai dari wajah teduh itu.
"Silahkan pak, mau bertemu siapa?"
"Kamu lupa siapa aku?" Ayah Afsal langsung mengenali istri temannya itu.
Wanita itupun mengernyitkan dahinya, memilah memori dalam kepalanya yang sudah menumpuk. Ayah Afsal akhirnya terkekeh, sudah terlalu lama mereka tidak bertemu. tentu saja istri sahabatnya sudah lupa. Apalagi fisiknya sudah berubah tidak lagi muda seperti dulu
" Aku Hasyim kalau kamu lupa. Setelah menikah kalian merantau ke sini. Dan aku masih tetap di kampung. Sejak mertuamu meninggal, Akbar tidak pernah lagi datang"
" Ya ampun, mas Hasyim, maaf saya benar benar tidak ingat tadi. Sudah lama sekali tidak bertemu. Masuk dulu mas"
Kemudian mereka masuk ke dalam rumah yang cukup besar. Ruangan tamu dengan kursi sudut warna hijau beralaskan karpet coklat.
"Sebentar, saya akan memberi tau Abahnya anak anak. Dia pasti senang sekali bisa bertemu mas Hasyim"
"Katakan padanya, ada tamu besar datang" pria itu terkekeh membayangkan reaksi sahabat kecilnya nanti. Afsal yang sedari tadi duduk di samping sang Ayah mulai bosan.
"Ini putra pertamaku" Pak Hasyim memperkenalkan Afsal. Afsal hanya mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan sopan.
Istri pak Akbar menuju ruangan tengah tempat keluarganya berkumpul. Kemudian ia menghubungi sang suami yang sedang berada di kios tokonya.
Ruang tamu kembali sunyi, Afsal yang sudah jenuh kemudian berdiri dan keluar untuk menghirup udara bebas. Ia duduk di teras sambil mengeluarkan rokok. Menatap rimbunnya pepohonan dan tanaman hias di pekarangan rumah.
Tak lama sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah. Afsal mematikan rokoknya dan masuk ke dalam ruang tamu.
Pak Akbar masuk ke dalam rumah. Sang istri memberi kabar tentang sahabat kecilnya datang berkunjung. Tentu saja ia tidak sabar untuk menemuinya. Keduanya saling berjabat tangan dan memeluk. Pelukan kas para pria.
"Apa kabar mas Hasyim?. Aku hampir tidak percaya kau bisa sampai di sini, di rumahku. Sudah lama sekali kita tidak bertemu"
Keduanya saling tatap dan memperhatikan penampilan masing masing. Sebuah senyuman yang selalu mengembang di bibir mereka. Betapa bahagianya masih di beri kesempatan untuk saling melepas rindu.
"Seperti yang kau lihat, aku masih sehat. Namun usia terus bertambah tentu aku sudah menua" ucap pak Hasim panjang.
"Ini putra pertamaku, Afsal" pak Hasyim memperkenalkan putra yang menemaninya
" Afsal om " Afsal mengulurkan tangannya sopan .
"Ya ya , kau sudah besar sekarang. Dulu terakhir bertemu dia masih umur dua tahun sepantaran anak pertamaku Bara"
"Kamu masih terlihat muda, Akbar. Lihatlah! rambutku sudah memutih semua"
Kemudian Tawa mereka lepas kembali.
"Sama saja, usia tidak pernah bohong meski rambutku belum banyak uban tapi kakiku sudah mulai sering sakit. Ngomong ngomong cucumu ada berapa?"
"Cucuku baru dua, itu pun dari anak keduaku yang perempuan. Putraku ini masih belum mau menikah. Dia hanya sibuk mengurus usahanya saja"
Kemudian seorang gadis belia muncul membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan beberapa toples camilan.
Kehadiran gadis belia itu menyita perhatian semua orang yang ada di ruang tamu. Tidak terkecuali dengan Afsal. Mata elang Afsal terus mengamati wajah yang tidak asing untuknya. Ya....bidadari yang sedari tadi elah mencuri hatinya muncul tanpa di duga.
Ini yang di namakan kebetulan. Takdir begitu berpihak pada Afsal. Dia tidak perlu repot repot mencari tahu dimana gadis itu tinggal. Teryata dia salah satu putri dari sahabat sang Ayah.
"Aku baru punya satu cucu. Dia sangat tampan dan menggemaskan. Putri keduaku Tantri yang memberikannya sedang Bara anak pertamaku baru saja menikah setahun yang lalu tapi belum mendapat momongan. Nah kalau yang ini putri bungsuku, nama Ajeng"
Ajeng menyodorkan tangannya kemudian mencium punggung tangan pak Hasyim dengan sopan. Afsal pun tidak mau ketinggalan, pria itumenyodorkan tangannya juga untuk berkenalan secara resmi. Bibir Afsal mengulas senyum saat menggenggam jemari lembut milik Ajeng.
"Namaku Afsal"
"Ajeng" Rasanya merinding ketika Ajeng berjabat tangan dengan Afsal. Genggaman itu terasa erat seperti enggan lepas. Ajeng mencoba untuk menarik jemarinya agar cepat terlepas dari genggaman Afsal.
Ini pertemuan mereka yang kedua. Sebuah pertemuan yang menjadikan hati Afsal semakin yakin akan sebuah takdir tentang dirinya dan bidadari pencuri hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments