Cello membawa Raina ke sudut kampus yang sepi. Raina yang meski ketakutan, berusaha menenangkan diri. Cello adalah teman Raina dari SMA. Hubungan mereka tidak pernah baik, Cello selalu saja mencari gara-gara dengan Raina. Entah apalagi kali ini.
"Lepas, Cell. Tangan gue sakit."
Cello melepaskan tangan Raina, namun sebagai gantinya ia menghempaskan Raina dengan kasar ke sebatang pohon di belakang sebuah gedung yang sepi. Raina meringis kala merasakan tajamnya goresan ranting di bahunya.
"Apa yang udah elo omongin ke Naya? Berani ya elo ngomong yang enggak-enggak tentang gue? Cari mati elo?" Cello mencengkeram lengan atas Raina, sikap tubuhnya tampak mengancam. Cowok itu kelihatan sanggup mencekik Raina saat itu juga.
Raina balas menatap Cello tanpa takut. Bibirnya melengkung, membentuk senyum miring. Jelas sekali gadis itu meremehkan Cello.
"Ngomong yang enggak-enggak? Ga punya kaca ya lo? Bukannya elo emang bener pernah ngehamilin cewek elo, dan saat tu cewek Lo minta pertanggungjawaban, elo minggat! Gue ngomong gak bener dari mana? Itu faktanya, Brengsek," jawab Raina kalem.
"Buat apa elo ngasih tahu Naya? Sekarang tuh cewek jadi ngejauhin gue. Jangan pikir gue bakal ngebiarin elo hidup tenang ya setelah ini."
"Gue ga mau lihat gadis baik-baik kayak Naya jadi rusak gara-gara elo. Cukup Kezia yang jadi korban."
"Sialan! Elo beneran udah bosen hidup ya?" geram Cello, memperkuat cengkeramannya pada lengan Raina. Raina menahan rasa perih yang mendera lengannya.
Sebelum Cello bertindak lebih jauh, sebuah tas kanvas melayang menghantam kepala belakang Cello. Cowok metal itu terkejut sehingga Raina bisa melepaskan diri.
"Banci beneran elo ya. Beraninya sama cewek," ejek Anya, si empunya tas. Gadis mungil itu melipat tangan di dada, memberi kesempatan Devon untuk membantu Raina.
"Gua gak ada urusan sama elo," Cello mendelik ke arah Anya yang hanya disambut dengan cengiran mengejek dari cewek berambut ungu itu.
"Inget ya ******, elo udah ikut campur sama urusan gue, jangan harap elo hidup tenang setelah ini." ancam Cello kepada Raina sebelum berlalu pergi.
"Dasar banci!" maki Anya kesal. Dilihatnya Raina sedang membenahi rambut dan bajunya yang berantakan.
"Elo ga apa-apa, Say?" tanya Anya cemas.
" Elo liat sendiri kan gue ga apa-apa. Tapi kayaknya gue mau ke toilet dulu deh. Gue tinggal dulu ya gaes?" jawab Raina.
"Gue anter ya? Siapa tahu si brengsek Cello itu masih ngincar elo." cemas Anya.
" Alah ga usah. Cello tuh cuma berani ngancem doang. Santai aja," tukas Raina kalem.
***
Tama membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap kepala dan hatinya bisa ikut dingin pula. Tadi adalah permainan terkacau yang pernah ia lakukan seumur hidup. Banyak umpan-umpan yang lolos begitu saja karena konsentrasi, tendangannya yang selalu melenceng jauh dari gawang, dan itu semua karena konsentrasinya buyar. Gara-gara gadis itu.
Setelah menyumbang satu gol di babak pertama tadi, ia minta diganti dengan pemain cadangan. Pelatihnya yang cemas, karena ia tahu Tama tidak pernah bermain seburuk itu, memaklumi.
"Gue harap masalah apapun yang jadi pikiran Lo cepet selesai dah. Ngeselin banget liat lo maen kaya tadi," kata Arsen. Tama mengangguk, malas mendebat ataupun beralasan.
" Sori, Bro." tukas Tama singkat.
"Iya, untung tim kita masih bisa menang. Ga usah dipikirin." kata Arsen sambil berlalu.
Susah baginya untuk mengakui bahwa ketolololan yang ia lakukan tadi disebabkan karena Raina. Mereka bahkan tidak saling mengenal, interaksi mereka yang paling dekat hanya pada malam itu. Saat ia menghajar cowok Raina dan mengantar gadis itu pulang.
Tapi ia pun harus jujur, bahwa sejak malam itu ia tak bisa melepaskan Raina dari pikirannya. Kini ia tak bisa lagi pura-pura tak peduli saat mereka tak sengaja berpapasan di kampus. Ia tak bisa lagi mengendalikan degub jantungnya yang menggila begitu melihat gadis itu berada disekitarnya.
Itu sebabnya, Tama tidak tahu harus bereaksi bagaimana saat keduanya bertemu, masing-masing baru saja keluar dari toilet. Tama mematung. Raina nampak terkejut awalnya, tapi bibirnya segera menyunggingkan seutas senyum.
"Hai." gadis itu menyapa. Tak lagi angkuh atau sok merendahkan seperti dulu.
Tama membalas senyum itu dengan kikuk.
"Hai. Elo baik-baik saja?" tanya Tama, tanpa sadar menelusuri wajah dan lengan gadis itu. Memar keunguan di tulang pipi itu memudar, entah karena benar-benar sembuh atau trik make up. Juga sudut bibir yang berdarah, kini tak terlihat kalau bibir itu sempat terluka. Tapi ia melihat lebam kemerahan di pergelangan tangan Raina. Lebam itu masih terlihat baru. Pasti karena si cowok gondrong tadi yang menarik paksa gadis itu.
Raina menyadari tatapan Tama. Ada setitik rasa muncul di hatinya. Tak pernah ada yang menanyakan hal semacam itu padanya, tak juga keluarganya. Ucapan kecil tapi tulus itu menyentuh hatinya.
"Gue baik baik aja kok. Lagian luka gini doang mah biasa," jawab Raina santai, mengedikkan bahu. Giliran Tama yang mengernyit tidak paham. Gadis macam apa yang dengan entengnya mengatakan kalau ia terbiasa terluka?
"Oh ya, Tama, jaket elo masih di gue. Kapan-kapan bisa gue bawain." kata Raina.
Tama menggeleng.
"Enggak usah dibawain. Gue yang bakal mampir ke tempat elo," cowok itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan handphone.
"Kasih nomor elo," Tama menyerahkan handphonenya kepada Raina, meminta gadis itu mengetikkan nomornya. Raina berusaha keras menahan bibirnya agar tidak tersenyum lebar. Namun ia tak bisa mencegah pipinya memerah seperti gadis lugu yang sedang kasmaran.
"Udah." kata Raina.
"Nanti gue chat elo kalau mau mampir." kata Tama sambil mengantongi kembali handphonenya.
Raina mengangguk.
Berusaha keras menahan debaran jantungnya yang menggila hingga ia takut jantungnya melompat keluar.
"Gue duluan."
Cowok tinggi tegap itu berlalu. Meninggalkan Raina yang terpaku di tempatnya dengan pipi merona.
Tabokan keras pada punggungnya membuat Raina kembali menginjak bumi. Umpatan pun meluncur otomatis dari mulutnya.
"Sialan elo Ceng, sakit beneran ini punggung gue. Elo mukul ga kira-kira," gerutu Raina. Anya menatapnya, nyengir.
"Lagian juga elo ngapain bengong sambil senyum-senyum sendiri di depan toilet? Kesambet setan toilet baru nyaho."
"Kalo setannya secakep Tama sih gue mau," lirih Raina.
"Whaaaat? Siapa tadi elo bilang? Tama? Tama yang mana?" cecar Anya heboh. Raina balas nyengir.
" Apa sih. Gue salah ngomong tadi," balas Raina santai.
"Jangan bokis elo Na!" Kesal Anya. Raina tertawa.
"Entar juga gue ceritain. Santai aja Ceng. Tapi sekarang gue laper. Temenin makan yuk. Eh ngomong- ngomong si Devon mana?"
"Tu monyet cabut duluan katanya ngerjain tugas kelompok. Elo utang janji sama gue ya Say. Awas aja kalo pura-pura lupa".
Raina terkekeh. Dirangkulnya sahabatnya itu dengan sayang. Dia hanya punya sedikit sahabat, dan Anya salah satu dari yang sedikit itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
bundanya Fa
aq baca novel 5 part awal n klo bagus lanjut. n unt yg ini aq mau lanjut.
2022-07-08
0
Dewi Damayanti
keeen critanya😍😍
2022-07-06
0
another Aquarian
Tama nieh ya, diem-diem suhu.. Lagaknya minta no telpon aja udah bikin meleleh 🤭
2022-04-18
0