Di kos, sore hari
Inda, Syafira dan Lana makan malam bersama di kamar Inda sembari menonton televisi.
"Kamu kenapa, Na, kok mukanya kusut gitu?" tanya Inda.
"Mewek tuh tadi di rumah sakit, nggak kuat menghadapi kejamnya kota besar," jawab Syafira.
"Nggak ya. Tadi itu nggak tahu aja aku lagi sensitif apa gimana gitu ngadepin kata-kata dokter yang agak ngeselin jadi jengkel banget."
Syafira dan Inda mendengarkan sambil asyik menyantap makanan mereka.
"Sebenernya ada sebab tambahan juga sih. Sebelumnya, interview-nya kan agak susah dan lama. Meski akhirnya diterima, aku belum lega aja. Ditambah yang tadi itu jadi meledak rasanya," tambah Lana.
"Aku ngerti rasanya diplonco di hari pertama kerja. Sering digituin di tempat kerja baru. Sebenernya mereka juga nggak secara khusus 'plonco'in kita. Cuma, kita diplonco oleh keadaan karena adaptasi sama karakter orang yang baru banget kita kenal. Kalau di kantorku yang sekarang ini bosnya rada edan jadi nyantai banget," kata Inda.
"Betul, Nda. Tumben pinter," puji Syafira.
Inda bersungut-sungut.
"Eh, tapi dokter Nathan sama Dokter Dion itu emang karakternya aneh apa gimana sih?" tanya Lana.
"Bukan aneh, tapi usil. Kalau Dokter Nathan nggak terlalu, Dokter Dion yang parah. Tapi akhir-akhir ini emang Dokter Nathan lebih usil daripada dulu."
"Nggak terlalu apanya, tengil gitu. Dan nggak cuma usil, Fir, aneh juga si Dokter Nathan pujaan kamu itu. Masak dia bilang 'jangan bunuh diri ya'. Kok bisa sampai ke sana, ngomong yang lebih wajar kan bisa misalnya 'jangan sedih ya'."
Syafira tertawa terbahak-bahak. "Buwahahah. Tadi itu aku yang bilang kamu mau bunuh diri."
"Pantesan aja, ulah kamu ternyata. Gimana kalau mereka pikir aku punya mentalitas yang nggak bagus dan punya pikiran yang pendek? Tanggung jawab kamu," protes Lana.
"Kamu tuh harusnya terima kasih sama aku. Kalau nggak digituin, Dokter Dion itu nggak bakal berhenti gituin kamu."
"Bener Syafira, Na. Kadang orang harus dibombardir biar nggak bertingkah," bela Inda.
Lana mengangguk. "Iya juga sih."
***
Hari kedua bekerja
Lana sebenarnya sudah sedikit merasa lega. Hal itu berkat Inda dan Syafira yang sudah menghiburnya di kos semalam, ditambah dokter Ani yang membeberkan kelakuan Nathan dan Dion yang sering usil kemungkinan disebabkan oleh masalah masing-masing.
Perasaan kesal terhadap Nathan dan Dion sudah tidak lagi terlalu mengganggu. Dia kini merasa lebih bersyukur atas pekerjaan yang dia dapatkan, teman-teman yang baik dan kehidupan yang tidak rumit. Dibandingkan dengan Nathan dan Dion, hidupnya jauh lebih enteng.
Setidaknya saat ini. Pertengkaran dan perceraian orang tua jelas tidak akan dialami Lana yang hidup sendiri. Masalah belum memiliki keturunan seperti Dion juga tidak dialaminya sekarang, meski beberapa tahun yang akan datang bisa saja dia mengalami hal itu.
Meski mood-nya sudah membaik, dia tetap bingung, wajah seperti apa yang akan dia tunjukkan di depan Nathan dan Dion. Dia meletakkan berkas pasien dengan perlahan di hadapan Nathan. Karena bingung, dia memilih untuk tidak berkata apa-apa.
Nathan melirik Lana. Melihat wajah tanpa ekspresi Lana, Nathan kembali merasa bersalah. "Ehm, masih kesel ya?"
Lana kaget dengan pertanyaan itu. Dia berharap Nathan mengabaikan saja, ternyata dia memperhatikan. Dia tidak menjawab dan hanya memaksa diri tersenyum kecil.
Sepanjang hari, Lana tidak berbicara ketika memberikan berkas pasien kepada Nathan mau pun Dion. Jika ada pertanyaan, dia hanya menggeleng dan mengangguk sebagai jawaban.
Lama-lama, Lana merasa asyik melihat dua dokter itu merasa bersalah. Tanpa disadarinya, dia sudah membuat Nathan dan Dion kelimpungan.
***
Seminggu Lana bersikap dingin tanpa ekspresi terhadap Dion dan Nathan. Mereka akhirnya cemas.
"Bro." Dion masuk ke ruangan Nathan saat semua pegawai poli bersiap untuk pulang termasuk Lana.
"Kenapa, Bor?"
"Si perawat baru itu kok kayaknya masih marah sama kita ya?"
"Tumben peduli amat? Biasanya kalau ngerjain orang nggak pernah mikirin dia marah apa enggak," timpal Nathan.
"Iya, gue emang nggak peduli, tapi orang lain biasanya hari berikutnya atau lusa udah nggak gimana-gimana lagi tuh."
"Mungkin lu lagi apes kali ini."
"Bukan gue doang kali, lu kan juga ikutan."
"Terus gimana, biarin aja atau mau sujud-sujud minta maaf?"
"Gue semalam mikirin ini. Apa mungkin orang-orang yang gue kerjain sesakit itu sampai salah satu atau beberapa dari mereka ngutuk gue."
"Serem amat lu bocah tua. Kok sampai ke sana mikirnya?"
"Lu tahu sendiri sampai sekarang gue belum punya keturunan. Jangan-jangan ...."
"Itu sih karena Tuhan belum ngasih aja. Apa iya orang biasa punya daya kutuk sampai merubah takdir orang lain?"
"Katanya bisa, saat orang dalam keadaan teraniaya. Nah, apa ada orang yang segitu teraniaya sama kelakuan gue? Eh kita?"
"Kok kita? Gue nggak ngerasa dapet sial tuh."
"Ngaca dong, bocah tengil, jodoh belum ada. Lu nggak ngerasa seret jodoh gitu?"
Nathan diam sembari berpikir kalimat apa yang bisa dia gunakan untuk menyangkal omongan Dion.
"Ditambah masalah ...." Dion tidak berani melanjutkan.
Kata-kata Dion mengingatkan Nathan pada masalah yang sedang dihadapi orang tuanya dan memang itulah yang dimaksud Dion.
"Bener juga. Aku baru nyadar kalau ternyata hidupku menyedihkan. Makasih ya udah ngingetin," kata Nathan sambil beranjak pergi.
"Lha lha lha kok jadi ngambek gitu sih, Bro. Jangan marah dong!" Dion mengikuti Nathan menuju area parkir.
"Siapa yang marah?"
"Eh, gue udah hafal, Bor. Kalau lu udah manggil aku-kamu gitu berarti lagi naik darah."
Nathan tidak mau berhenti. Dia meneruskan langkah kemudian memasuki mobilnya. Karena tidak mendapatkan respon, Dion ikut masuk ke mobil Nathan.
"Heh, ngapain lu? Keluar sana! Mobil lu mau ditinggal?"
"Habis, lu nggak jawab. Kok mendadak jadi sensitif gitu sih?"
"Bukan sensitif, tapi baru nyadar aja. Terus enaknya gimana?"
"Besok bisa kita mulai dengan si perawat baperan itu. Kita minta maaf yang serius."
"Gimana sih, mau berubah kok masih ngatain 'baperan'?"
"Akh, yang ini kan dia nggak denger. Anggep aja ini terakhir kali gue ngatain orang, heheh."
***
Hari berikutnya, Lana masih lebih banyak diam. Dia masih ragu-ragu apa akan bersikap seperti itu seterusnya di depan Nathan dan Dion. Dia malah menikmati sikap Nathan dan Dion yang semakin merasa bersalah.
"Lana, nanti setelah jam kerja, kamu ada acara?" tanya Dion.
Lana menggeleng.
"Kamu masih nggak mau ngomong sama saya ya?"
Lana bingung menjawab pertanyaan Dion, alhasil dia hanya diam tanpa ekspresi.
Duh nih orang ternyata sulit dibujuk. (Dion).
"Nanti saya mau traktir kamu makan. Oke?"
"Nggak usah repot-repot, Dok!" Lana salah tingkah dan terpaksa harus menjawab untuk menolaknya.
"Kenapa emangnya?"
"Dokter kan sudah punya istri, saya kan nggak enak dikiranya apa."
"Jangan khawatir, ada Nathan juga. Nggak bakal ada yang salah paham."
Lana diam sejenak dan berpikir-pikir bagaimana sebaiknya.
Jangan-jangan mereka sekongkol buat culik aku. Bahahah, halu amat sih aku. Buat apa mereka culik aku? Minta tebusan ama siapa emangnya? Eh, tapi ini kan Dokter Dion si raja jahil, kalau aku malah diiket terus dilarung gimana? (Lana).
to be continued...
Jogja, February 7th 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Bucinnya Nunu ☆•,•☆
usil juga ternyata si Lana🤭
2021-12-29
1
Ardika Zuuly Rahmadani
ampun si lana mikir kejauhan kali
2021-11-08
1
Aprillia
bener" di kerjain balik sama lana 😂
2021-03-31
2