"Kok, 'ha'?"
"Apa nggak sebaiknya chat di Chatsapp aja, Dok?"
"Emangnya kenapa kalau saya minta tolong kamu, nggak boleh?"
"Bo-boleh, nanti saya sampaikan."
Lana tidak kuasa menolak. Dia tidak ingin membuat masalah apalagi hanya karena hal sepele.
Dia keluar dari ruangan Dokter Dion dan mulai memanggil pasien berikutnya setelah menghela napas berkali-kali sembari menyabarkan diri sendiri. Pasien kali ini untuk dokter Nathan. Lana bersiap mengantarkan map ke ruangan Dokter Nathan. Otaknya sibuk merangkai kata untuk menyampaikan pesan Dokter Dion.
"Dok, ini pasien selanjutnya."
Dokter Nathan mengangguk
Lana belum beranjak dan masih berdiri memandang Dokter Nathan.
"Lhoh, kok masih di sini? Langsung panggil aja pasiennya."
"Anu, Dok, tadi saya diminta Dokter Dion menyampaikan ke Dokter kalau nanti siang Dokter Dion mau makan siang bareng Dokter Nathan di kafe Senarai," kata Lana dengan gugup.
Ekspresi Nathan datar. "Bilang sama dia, saya nggak mau!" tolak Nathan.
Lana mengernyitkan dahinya. Namun, lagi-lagidia tidak ingin membuat masalah dia hari pertama bekerja, jadi dia menurut saja. Dia mengangguk kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Ada apa dengan dua dokter itu? (Lana).
Saat harus mengantarkan map ke ruang Dion, dia menyampaikan penolakan Nathan. "Dokter Dion, kata Dokter Nathan, dia nggak mau makan di kafe Senarai, Dok," kata Lana.
Dokter Dion tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. "Kalau gitu, tolong sampaikan ke dokter Nathan kalau dia kurang ajar."
"Tapi, Dok ...."
"Tapi apa? Nggak usah khawatir, kamu kan cuma menyampaikan pesan." Dion menenangkan Lana.
Lana mulai bekeringat. Tapi dia menurut saja. Lagi pula, permintaannya tak seberat mengeringkan sebuah bengawan dengan sedotan, atau pun mengeruk sebuah gunung menggunakan sendok bebek. Dari 3 dokter yang menjadi area kerja Lana, hanya Dokter Ani yang bersikap dewasa.
Ya ampun, hari pertama kerja udah kesel. Hufh, sabar! Mereka itu sama-sama manusia makan nasi. Nggak beda sama aku. (Lana).
Di ruangan dokter Nathan, Lana menyerahkan berkas pasien dan siap menyampaikan pesan dari dokter Dion.
"Dok, anu, kata Dokter Dion, Dokter Nathan kurang ...."
"Kurang apa? Kurang gizi?"
"Kurang ... kurang ajar, Dok."
Nathan mengangguk-angguk.
"Fyuh." Lana sedikit lega karena tidak ada reaksi ekstrim.
"Itu Dokter Dion apa kamu yang bilang saya kurang ajar?"
"Eh lhoh, anu, itu Dokter Dion, sumpah Dok bukan saya." Lana salah tingkah, kebingungan dan ketakutan.
Ini duo dokter aneh pada kenapa sih, aaakk rasanya pengen pindah ke planet Mars. (Lana).
"Ya sudah, nggak usah pakai sumpah-sumpah segala! Emangnya ini pengadilan? Tolong panggil pasien berikutnya!"
Lana segera keluar dan memanggil pasien berikutnya.
Ke mana dokter Nathan yang santun tadi. Aku tarik kata-kataku. Ternyata dia tengil. Meski sama-sama makan nasi, pasti nasi dia udah kecampuran semacam tanaman racun yang diimpor langsung dari neraka. (Lana).
~
Pada jam istirahat, Lana makan siang di warung bakso dekat rumah sakit bersama Syafira.
"Kamu kenapa kok dari tadi diem aja?" tanya Syafira sembari mereka menunggu bakso selesai diracik.
"Aku benci kerja di sini. Aku pengen pindah."
"Lhoh kok gitu, ini baru hari pertama, Na. Yang namanya adaptasi itu pasti butuh waktu."
"Di tempat sebelumnya, orang-orangnya biasa aja."
"Emang di sini ada yang jahatin kamu?"
"Nggak jahat sih, tapi ngeselin sampai pengen makan tanah kuburan!"
"Siapa yang ngeselin? Setahu aku, di sini orangnya baik-baik kok."
"Dokter pujaan kamu itu, sama sohibnya, Dokter Dion," kata Lana sembari air matanya mulai bercucuran.
"Waduh kok malah nangis sih, sabar ya, Na. Ntar aku samperin tuh Dokter Nathan sama Dokter Dion."
"Jangan! Nanti aku tambah dibenci sama mereka," katanya masih sambil menangis.
Meski Lana melarang, Syafira akan tetap bicara kepada Nathan. Dia memiliki maksud lain, ada kerang di balik batu. Sembari mengkonfrontasi perihal sahabatnya yang bengek karena menangis, dia bisa berinteraksi dengan sang dokter pujaan hati.
Sambil menyelam minum sirup. Begitulah kira-kira niat Syafira.
Selesai makan, mereka kembali ke rumah sakit. Lana menuju nurse station, sementara Syafira mengatakan akan pergi ke toilet. Tentu saja dia berbohong karena dia akan mendatangi Nathan dan Dion.
Setelah sedikit berkeliling mencari, Syafira menemukan Dokter Nathan dan Dokter Dion di kantin. Mereka sedang mengobrol setelah menyelesaikan makan siang, terlihat dari piring bekas makan di hadapan mereka.
Sebenarnya dia ingin mendatangi satu persatu karena akan lebih personal dengan dokter Nathan, tapi karena kebetulan mereka sedang bersama, terpaksa Syafira bicara dengan mereka berdua.
"Permisi, Dokter Nathan, Dokter Dion. Boleh saya bicara sebentar?" ucap Syafira, tegas.
Dion dan Nathan saling menatap.
"Ya, silahkan," kata Dion.
"Mohon maaf, Dokter, kalau boleh tahu, tadi Dokter bicara kasar sama perawat baru yang bernama Lana?"
"Kok pertanyaannya gitu? Apa dia bilang kalau kami bicara kasar sama dia? Buktinya apa? Fitnah lho, bisa kutuntut ke pengadilan," kata dokter Dion.
Syafira tidak kehilangan akal menghadapi dokter Dion yang pintar bersilat lidah. "Begini, Dok, tadi waktu makan siang, Lana menangis. Dia bilang akan segera resign karena Dokter Nathan dan Dokter Dion."
"Lhoh, kalau dia mau resign itu kan bukan urusan kami." Dokter Dion masih saja bersikeras tidak mengaku sudah mengerjai Lana.
"Lana juga bilang kalau dia mau bunuh diri lho, Dok. Kalau terjadi, nama Dokter bisa tersangkut," kata Syafira mendramatisir keadaan agar Dokter Dion luluh.
"Udah udah, nanti kami minta maaf sama Lana," kata Nathan menengahi.
"Baik, saya tunggu." Syafira berpamitan dan pergi.
~
Dion dan Nathan berjalan menuju poli sembari bercakap-cakap tentang perawat baru yang sedang mereka plonco itu.
"Ternyata perawat baru itu ciut juga nyalinya," kata Dion.
"Udahan aja! Udah cukup anak orang lu bikin nangis. Sampai mau bunuh diri pula si Lana itu."
"Eh, kok gue? Lu juga."
"Gue kan ngikutin lu doang."
"Ckck, sama aja kali. Eh ssstttt, tuh si Lana," kata Dion sembari memberi kode kepada Nathan untuk diam karena telah dekat dengan meja Lana.
Perawat itu menunduk sembari memainkan ponselnya. Dion dan Nathan segera masuk ke poli masing-masing.
~
Lana sudah siap di mejanya untuk melayani pasien berikutnya. Kali ini untuk Dokter Ani.
"Kok lesu?" tanya dokter Ani yang melihat wajah redup Lana ditambah matanya yang sedikit bengkak.
Lana hanya menjawab dengan senyum kecut yang dipaksakan.
"Waktu jalan ke sini tadi, saya di belakangnya Dokter Dion dan Dokter Nathan. Saya dengar mereka nyebut nama kamu."
Lana kaget tapi raganya sudah terlalu lemas untuk memberikan reaksi.
"Mereka itu usianya masih tergolong muda. Dokter Nathan masih 30-an lebih sedikit, Dokter Dion mungkin 35 atau 36. Mereka masih suka usil dan jahil. Terutama Dokter Dion."
Tiba-tiba Lana menangis. "Maaf, Dok, kelepasan."
"Nggak apa-apa, nanti juga lama-lama terbiasa. Mereka cuma usil aja tapi nggak jahat kok," kata dokter Ani menenangkan. Dokter Ani memang lebih senior dan bijak. "Saya beritahu sesuatu tapi nggak usah kasih tahu siapa-siapa ya, ini cuma buat kamu aja."
Lana mengangguk.
"Dokter Dion itu sudah 8 tahun menikah dan belum memiliki keturunan. Sedangkan dokter Nathan kabarnya orang tuanya sedang akan berpisah. Kelakuan mereka akhir-akhir ini saya kira adalah pelarian mereka."
Mendengar hal itu, hati Lana sedikit tersentuh. Perasaan kesalnya berubah menjadi iba. Padahal dokter Dion adalah dokter kandungan. Pasti menjadi tekanan tambahan baginya.
Mereka melanjutkan pekerjaan. Lana kembali mengantarkan berkas pasien ke ruang Nathan. Dia mengetuk pintu, menyerahkan berkas tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Dia berdiri di hadapan Nathan dan siap menerima perintah jika dokter itu membutuhkan asistensinya. Lana menatap lantai dan menunduk, sedangkan Nathan membuka map sambil melirik wajah Lana.
Terlihat matanya yang merah dan agak membesar, khas mata orang sehabis menangis. Nathan heran dan penasaran. Sepertinya dia dan Dion tidak terlalu kejam mengerjai Lana tapi kenapa begitu parah sampai ingin bunuh diri.
"Lana, ehm saya merasa bersalah sama kamu."
Lana mengangkat pandangan untuk memandang Nathan dan mengangguk.
Merasa bersalah tapi nggak ada kata 'maaf'? Hih! (Lana).
"Jangan marah ya, saya cuma bercanda kok."
Lana mengangguk lagi tapi tidak bicara, hanya mampu berkata-kata dalam hati. Dia tidak bisa membohongi diri bahwa dia masih kesal kepada dua sejoli itu.
"Ehm, saya mohon, jangan bunuh diri ya, hidup itu anugrah lho."
Ha? Bunuh diri? (Lana).
Lana mengangguk ragu. Padahal sebenarnya dia kaget Nathan mengatakan tentang bunuh diri. Hanya karena masalah ini dan ingin bunuh diri? Rugi banyak!
Karena respon Lana sebatas itu saja, Nathan menganggapnya selesai. Kemudian, dia meminta Lana memanggil pasien berikutnya.
Setelah selesai dengan pasien di poli umum, Lana melanjutkan asistensi untuk dokter Dion. Dokter kandungan itu pun mengucapkan hal senada dengan Nathan tentang bunuh diri.
Apaan sih, siapa juga yang mau bunuh diri? (Lana).
to be continued...
Jogja, February 7th 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
desember
🤣🤣🤭
2024-02-22
0
Bucinnya Nunu ☆•,•☆
Di part ini aku ngakak mulu sakin lucunya
2021-12-07
1
Bucinnya Nunu ☆•,•☆
Sabar Lana, ingat atasan nggak pernah salah🤣
2021-12-07
0