Suaranya tercekat tanpa mampu mengucap satu patah kata lagi, begitu juga bibirnya yang berubah kelu tanpa mampu merasakan nikmatnya bahagia karena hari ini ia wisuda. Dadanya sakit, dan hatinya teriris seolah-olah daging tubuhnya pun ikut terpotong-potong oleh kejamnya pisau kehidupan. Pikirannya berkecamuk, begitu juga dengan perasaannya yang terus merutuki diri dan juga nasib buruknya.
Apa tak boleh sedikit saja aku merasa bahagia?
Tak bolehkah sedikit saja aku melihat senyum bangga di wajah mereka?
Apa salahku sampai dengan cara seperti inilah aku justru berpisah dengan mereka?
Jahat!
Jahat!
Napasnya memburu cepat, secepat gerak kakinya yang terus menyibak kaki-kaki orang didepannya. Kesal, rutukan, sedih dan hancur bergumul menjadi satu memenuhi dirinya yang tengah kehilangan. Ditengah kesibukan acara wisuda yang seharusnya penuh suka cita, mengapa ia dari banyaknya dan dari ribuan umat manusia yang hadir disini yang harus mengalami hal kejam seperti ini?
Dadanya sakit, saking sakitnya terus ditekannya kuat. Tidak ada yang mengerti apa yang coba dilakukan oleh seorang mahasiswi dengan kebaya longgar dibalut baju kebesaran wisuda seperti dirinya ditengah kericuhan rektor, dosen dan juga wisudawan lain yang tengah berbahagia dengan melempar tawa, ucapan selamat dan senyuman. Tapi, cukup! Ia tidak peduli, benar-benar tidak peduli.
Apalagi setelah mendengar kabar dari sambungan telepon beberapa menit lalu dan siapa pula yang mampu menahan kepiluan sedemikian rupa seperti ini jika mengalami apa yang ia alami saat ini. Benar-benar kejam!
Nana berhenti sejenak, setelah mengatur napasnya yang memburu cepat dan juga air matanya yang sedari tadi tidak mau diajak kompromi untuk setidaknya mengumumkan pada dunia, bahwa ia tegar. Ia tegar, jadi tolong jangan kasihani wanita rapuh ini dengan tatapan heran campur kasihan kalian!
Beberapa menit lalu.
Wajahnya sumringah tanpa mampu ditutupinya lagi tentunya. Senyum manis khas milik gadis itu terbit. Suaranya berusaha dilirihkannya saat bertanya sudah sampai mana keluarganya, dengan sabar ia berharap semoga jawabannya adalah mereka sudah sampai parkiran dan tinggal masuk untuk bergabung ke dalam aula kebesaran ini saja.
“Halo mak? Halo?”
Suara diujung telepon terdengar amat bising oleh lalu lalang orang hingga Nana menjarakkan ponselnya sedikit dari daun telinga yang terbalut jilbab berwarna cerah tersebut.
“Aa halo mbak?”
Deg, tanpa sadar jantung Nana berdetak cepat. Itu bukan suara ibunya, itu suara yang amat asing milik seorang wanita.
“I-iya halo? Ini siapa? Ini kan ponsel ibu saya, anda siapa?” Nana menundukkan kepalanya kebawah supaya tidak mengganggu para wisudawan lain termasuk Nia dan mamanya.
“Halo mbak? Halo? Maaf mbak jaringan disini jelek, halo? Apa anda dengar suara saya, halo?”
“Iya saya dengar, halo mbak?”
“Mbak, saya tim medis yang nangani keluarga anda.”
“Apa, tim medis?” Kening Nana sampai berkerut mendengar informasi aneh tersebut.
“Maksudnya gimana?” tanyanya lagi.
“Keluarga anda kecelakaan mbak di Minas. Mobilnya masuk jurang dan terbakar, semuanya meninggal di lokasi kejadian mbak. Halo mbak? Halo? Bisa anda ke Minas sekarang mbak?”
“Halo mbak? Anda dengar suara saya mbak?”
Nana diam, pendengarannya seolah menuli. Namun air matanya tak membisu seperti bibirnya dan tak kelu juga. Air mata itu pula tak seperti lidah yang walau tidak memiliki tulang, namun mampu mengucap kalimat dusta, ia jujur dan bahkan teramat sangat jujur menyampaikan isi hatinya yang terluka. Air mata itu terus jatuh membasahi kedua pipinya tanpa berniat untuk mereda barang sekejap. Nia yang melihat kondisi sahabatnya tiba-tiba menangis bukan main langsung terkejut begitu juga yang lainnya, namun Nana tak menggubris perlakuan sahabatnya barusan begitu juga dengan perlakuan yang lainnya.
“Nana?”
“Na, lo kenapa?”
“Na, jawab!”
“Nana!”
“Woy, kenapa?!”
Tiada yang didengarnya, berkali-kali tubuhnya diguncang namun wanita itu tetap diam. Tanpa mengucap atau bahkan menoleh pada yang lainnya, Ia bangkit dan melangkah pergi begitu saja. Hari itu, untuk pertama kalinya dunianya seakan runtuh, gelap dan tak bersahabat.
...*...
BLAM!
Detak jantungnya berdebar, bukan oleh cinta namun oleh ingatan yang menyakitkan itu. Nana membuka kedua matanya berat lalu menyeka air mata yang meluruh jatuh tanpa diminta di kedua pipinya pelan. Padahal tadi ia hanya tiduran setelah selesai bicara panjang lebar sama sahabatnya ditelepon, tidak menyangka sampai ketiduran dan teringat akan kejadian hari itu lagi. Tidak mudah memang melupakan sesuatu yang membekas seperti di hati walaupun hari telah berganti bulan dan bulan telah berganti tahun pula.
Ah, lagipula siapa yang tidak sedih jika harus kehilangan keluarga tercinta sekaligus dihari yang seharusnya bahagia? Benar-benar menyedihkan! Nana mengulas senyum kecutnya.
“Ayah, mamak, abang, aldi, angga, ayi … dulu dan sekarang, kalian memang luka yang nggak pernah bisa kuhadapi. Hem, ya aah udahlah. Lagipula, jika siap untuk mencintai berarti juga siap untuk terluka.”
...*...
Keesokan harinya, tepat jam empat sore lewat empat puluh menit di Pekanbaru.
Pagar besi berukuran tiga meter warna hitam kusam dibukanya pelan hingga tampaklah rumah bergaya minimalis modern bercat hijau muda dengan halaman rumah yang hanya mampu memuat sebuah mobil dan lima motor jika di parkir rapi. Nana memarkirkan CR-V putih susunya lambat setelah memastikan posisinya benar-benar sudah pas dan tidak terlalu memakan ruang. Kaki kanan yang dibalut kaos kaki berwarna nude beserta flat shoes warna hitam melangkah turun tidak lupa tangan kanannya turut menggamit tas warna hitam yang memang selalu dibawanya setiap bepergian.
“Alhamdulillah, sampai juga.”
Kedua sudut bibirnya mengulum senyum seraya menatap bangga pada bangunan rumah didepannya.
“Cie, udah sah ya jadi hak milik ….” Kekehnya sendiri teringat rumah itu akhirnya berhasil dibelinya juga.
Bukan rumah mewah, hanya rumah biasa dengan kamar tidur tiga dan kamar mandi dua. Istimewanya karena ini rumah pertama yang diinginkannya dahulu saking jatuh cintanya dengan Pekanbaru dan bermimpi untuk tinggal di kota ini untuk bekerja setelah lulus kuliah. Yah, walaupun sampai terpuruk sebelumnya, sebenarnya Nana tidak benar-benar menutup dirinya dari Pekanbaru jika boleh jujur.
Tepatnya sudah sejak satu tahun lalu ia mencoba untuk membuka diri dengan kota penuh kenangan ini, hanya saja untuk kembali menyapa orang-orang dari masa lalunya itu yang masih terasa berat olehnya. Tapi tidak masalah, karena setelah satu tahun itu berakhir, disinilah ia sekarang untuk kembali menyapa sahabatnya nanti dan teman-teman dari masa lalunya juga.
“Haaaaatchhhim!”
Ini adalah sambutan hangat pertama dari tubuhnya setelah membuka daun pintu yang sengaja di cat warna putih cerah, maklum, habis dibeli langsung ditinggal lagi. Ia memang lebih banyak menghabiskan harinya di Rokan Hilir, kalau bosan disana baru pulang ke Kisaran, kampung halamannya. Walaupun punya dua outlet usaha kecil di Pekanbaru, belum cukup juga untuk menjadi alasan bagi Nana menahan dirinya di kota ini.
“Yaa Allah, berdebu banget, mana hidung sensitif sama debu lagi,” gerutunya seraya mengambil ponsel dari dalam tas.
Baru saja Nana hendak menghubungi Nia, sahabatnya itu justru sudah menghubunginya duluan. Senyum Nana terulas tanpa sadar dan tanpa membuang waktu langsung menekan ikon warna hijau untuk segera menyambungkan telepon mereka.
“Iya Nia?”
“Udah sampe mana lo? Baru inget maren lupa nawarin, lo langsung ke rumah gue kan Na? Bukan yang di Garuda ya, rumah gue di Arengka sekarang.” Ingatnya.
“Alhamdulillah, ini baru juga nyampe Ni. Rumahku bedebu banget nih, kesini cepetan. Bantuin beresin, oke?”
Nia yang memang tadi menelepon Nana sambil tiduran sampai menegakkan tubuhnya tidak percaya mendengar permintaan sahabatnya barusan.
“Rumah? Gimana bisa? Lo punya rumah di Pekanbaru?”
Nana menganggukkan kepalanya tanpa sadar, “Iya ada, di Kartama. Makanya buruan kesini, bantuin beresin. Kalau sendiri nggak sanggup, kamu tahu kan hidung aku sensitif sama debu entar bersin mulu. Ya-ya-ya? Pliiiiiis ….” Ucapnya manja.
Nia menggelengkan kepalanya tidak percaya sekaligus keget juga.
“Tapi kok bisa sih? Kok gue nggak tahu kalau lo punya rumah disini. Belinya kapan?”
“Udah, ntar kukasi tahu tapi kesini dulu ya. Kutunggu, ntar lokasinya di share.”
“Okedeh, perlu bawa makan nggak? Laper nggak lo? Pengen makan masakan mama? A … tau ….” Ucapnya gantung seraya mencuatkan ide nakalnya yang baru saja terbesit dalam benaknya, “Lo mau makan masakan abang gue?”
“Hiiiii, apaan sih? Buruaaaan, nggak perlu bawa makanan ntar kita makan diluar aja. Aku tunggu, assalamu’alaykum Nia. Inget, nggak pake lama. Awas ya kalo lama!”
“Iyaaa, bawel ah! Wa’alaykumussalam.”
Panggilannya ditutupnya cepat walaupun kini ada tanda tanya baru didalam kepalanya. Nana punya rumah disini? Tapi sejak kapan? Lama tak berjumpa, entah mengapa rasanya sahabatnya itu penuh misteri sekarang.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Lia Shechibie'slove
Lanjut thor
2022-07-22
0
Eman Sulaeman
udah lama g ketemu gimana y
2022-04-15
0
Ayra Ayra
ceritanya lambat thor
2021-11-13
0