“Pekanbaru? Apa aku mampu ….”
Nana menghela napasnya berat hingga tanpa sadar meneguk ludahnya kasar. Gemuruh detak jantungnya pun sejak tadi masih berdentum tidak karuan. Tapi, keputusannya untuk kembali mencoba mengaktifkan ponsel penuh kenangan itu juga bukan tanpa alasan, sebelumnya ia benar-benar sudah meyakinkan dirinya untuk mencoba bangkit, itu artinya dengan mencoba ke Pekanbaru dan bertemu dengan orang-orang di masa lalunya adalah proses dari berdamai dengan keterpurukannya sendiri.
Nana menghela napasnya berat hingga terdengar oleh Nia di ujung telepon. Seakan tahu dan paham apa arti dari helaan napas barusan, Nia mengulum lafadz basmalah untuk sekali lagi meyakinkan sahabatnya tersebut.
“Na ….”
Kesadaran Nana langsung kembali ke permukaan setelah mendengar panggilan Nia barusan, hingga wanita itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali.
“Aaa, iya Ni?”
Terdengar Nia juga turut menghela napasnya di ujung telepon.
“Masih berat ya buat lo untuk ke Pekanbaru, Na? Apa permintaan gue terlalu berat buat lo? Atau, kalau lo memang nggak sanggup ke Pekanbaru, gimana kalau gue yang ke Rokan Hilir? Lo lagi disana sekarang kan?” tebak Nia.
Nana terlonjak tidak percaya mendengar tebakan sahabatnya itu. Bagaimana Nia bisa tahu kalau dia sekarang ada di Rokan Hilir?
“Nggak perlu kaget, gue memang tahu lo di Rokan Hilir. Kan gue udah bilang ada cari lo, cuma nggak nemu. Apa alamat rumah lo udah pindah sekarang?”
Nana menggelengkan kepalanya pelan, “Bukan alamat rumahku yang udah beda, cuma kamu kan udah lama nggak kesini sejak kamu pindah pas SMP dulu, jelas bentuk rumah aku udah beda dari yang dulu gitu juga sama lingkungannya, tetangga dan juga jalan. Makanya kamu ngga tahu, maaf Nia ….” Sesalnya lirih.
“Aa udah ah, jangan minta maaf terus. Nggak penting sekarang kalau lo salah atau nggak, yang penting gue paham kan? Lagipula bisa dengar suara lo lagi sekarang itu yang lebih penting buat gue. Artinya, usaha gue selama ini buat nemuin lo nggak sia-sia, iya kan?” kekehnya.
Hati Nana rasanya teriris sekaligus senang mendengar ucapan dari sahabatnya barusan, padahal ia sudah menghilang sampai tiga tahun lamanya namun ternyata sahabatnya itu masih terus percaya sampai hari ini datang.
“Makasi ya Ni, mau berapa kali dipikirin pun kamu emang keren banget sih. Tapi, gimana kamu bisa tahu kalau aku emang lagi di Rokan Hilir sekarang?”
“Tahu aja, soalnya disana kenangan keluarga lo tinggal.”
Sekali lagi Nana menghela napasnya berat, tanpa sadar bulir bening di kedua pipinya turut meluruh jatuh dan langsung di sekanya cepat.
“Kalau mau nangis, didepan gue aja langsung biar gue temenin jadi lo nggak nangis sendirian,” gerutu Nia yang dibalas tawa renyah oleh Nana, ah sahabatnya ini.
“Aku aja yang ke Pekanbaru, in syaa Allah nggak apa-apa kok.”
“Alhamdulillah yaa Allah … oke! Gue tunggu lo besok ya! Beberes gih, btw baru nyadar kita udah teleponan hampis satu jam, Na. Gila nggak tuh? Hahaha!” Kedua matanya sampai tak percaya melihat durasi panggilan yang tercetak jelas disana.
Terdengar Nana pun mengulum tawa renyahnya.
“Ya udah, kalau gitu di udahin dulu teleponannya biar aku bisa beberes buat besok, kirim salam ya buat om dan tante,” ingatnya.
“Ke abang gue nggak?” goda Nia.
“Yaa Allah masih juga ya, udah ah. Assalamu’alaykum ….”
“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh, daaaaaa Na!” Tutupnya riang.
Sambungan telepon itu sudah ditutupnya seirama dengan gerakan tubuhnya yang menghempas ke belakang tepat ke atas ranjang. Pandangannya kembali menatap layar ponsel tersebut lalu beralih menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih susu. Ternyata, hidup itu bisa sejungkir balik ini ya rasanya?
Ntahlah, ntah kejutan apa lagi yang akan menjungkir balikkan dirinya kedepan. Nana mengulas senyum manisnya seraya menutup kedua bola mata dengan iris berwarna coklat gelap miliknya.
...*...
Tepat tiga tahun lalu, Pekanbaru.
Suasana di aula yang sudah didekorasi sedemikian rupa dengan banyak kepala memakai topi kebanggaan mereka tidak lupa untuk merias diri terlebih dahulu sehingga terlihat apik di hari yang banyak ditunggu ini terdengar riuh oleh kalimat-kalimat dari banyak pasang bibir. Wajah-wajah penuh bahagia tampak jelas memenuhi ruangan aula namun dari semua itu ada satu wajah yang tampak cemas seraya sibuk melengok ke arah pintu masuk.
Hari ini adalah hari wisuda Nana dan teman-temannya juga. Ada teman seangkatan, ada teman sejurusan bahkan sekelas dan ada juga teman beda jurusan, beda fakultas dan juga beda angkatan. Intinya hari ini mereka sama-sama di wisuda. Seperti biasa wanita yang baru memasuki angka 22 awal itu hanya menggunakan riasan sederhana hingga jika ia terus saja mengeluarkan keringat karena khawatir, bisa-bisa pas bertatap muka dengan pak rektor nanti, riasan mukanya sudah habis semua.
“Udah ah cemasnya, riasan mukamu nanti beneran nggak bersisa, mau?” ucap Tia teman segengnya seraya menepuk jidatnya pelan dengan tisu kering.
Nana langsung melengok ke arahnya seraya tersenyum kecut.
“Bener, kamu bilang mau keliatan cantik didepan mama kamu. Ada abang kamu juga yang bakal dateng kan? Udah cemasnya, palingan di jalan ada macet makanya mereka lama. Kan bisa aja, iya kan?” Tambah Sasa.
“Iya Na, kali aja ada macet makanya mereka belum datang. Sabar, banyakin doa aja, oke?” timpal Alisa.
Nana sekali lagi hanya mampu mengulas senyum kecutnya hingga dari ujung kanan terlihat seorang wanita muda bersama ibunya sibuk menyibak kaki yang lain menuju ke arah dirinya dan langsung mengisi dua kursi kosong di sebelah Nana.
“Mikirin apa?” tegurnya riang hingga membuat Nana mendongakkan wajahnya hingga tampak wajah Nia penuh cengiran kuda didepannya.
“Nia ….”
“Jangan kebanyakan mikir, abang gue juga belom nyampe katanya di Duri lagi macet. Kita sama lagi nunggu, lo nggak sendiri jadi jangan pasang muka jelek kek gitu, oke?” usul Nia.
“Btw, kalau sampe nama lo dipanggil mereka belom datang juga, culik mama sama papa gue aja, gimana?” usulnya lagi hingga mampu membuat Nana tersenyum geli.
“Bener kata Nia, ada om sama tante. Kenapa kamu khawatir sih?” tambah mama Nia seraya mendekapanya erat.
“Tan ... te ….” Rengek Nana.
“Nggak apa-apa, biasa kok ini, namanya juga macet.” Hibur mama Nia seraya mengusap punggungnya teratur hingga senyum Nana terulas sempurna.
Perasaan Nana yang tadi sudah membaik karena kedatangan dari Nia dan juga mamanya menguap setelah satu jam kemudian tepat saat mahasiswa dari jurusannya sudah dipanggil kedepan satu persatu. Detak jantungnya semakin berdentum tidak karuan, keringat dingin turut membasahi telapak tangannya dan ….
Drrrrrttt … drrrrrrrttttt … drrrrrtttt ….
Ponselnya bergetar pelan mengaburkan rasa cemasnya. Tanpa membuang waktu lagi langsung di angkatnya cepat, hingga terdengar suara gemerosok dan ribut-tibut tidak jelas dari ujung telepon. Nana menjauhkan ponselnya lalu sekali lagi menatap nama yang terpampang jelas disana, ‘My Parents’.
“Bener kok, mamak yang nelpon, tapi kok bising banget?”
“Halo mak, halo … udah sampe mana?” tanyanya lagi.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Lia Shechibie'slove
aku baru ngeh Thor, si Naysila ngurung dri selama 3thn karena keluarganya kecelakaan waktu mau dtg ke wisuda Naysila 😭😭😭😭😭
2022-07-22
0
Eman Sulaeman
semangat
2022-04-15
0
Miah Restiana
masih nyimak... lanjut
2021-07-30
1