Dia disini?

Kuamati betul-betul foto tersebut. Meski mataku mengantuk tapi aku masih bisa melihat dengan jelas. Difoto tersebut terpampang sebuah bangunan asrama dimana tempat aku tinggal sekarang. Meski tidak begitu jelas karena foto diambil saat malam hari namun masih bisa terlihat karena cahaya lampu yang ada diteras asrama. Pintu, jendela, teras, tanaman bunga-bunga semuanya terlihat sama.

Seketika aku bergegas keluar kamar, kuraih jilbab segi empatku. Kusampirkan dikepalaku sekenanya.

Aku keluar ke teras asrama. Mataku beredar hendak mencari seseorang, namun tak kulihat siapapun. Saat mataku melihat kearah barat ndalem Ibu Nyai, kulihat bayangan seseorang berjalan kearah selatan menuju area pondok putra.

Asramaku menghadap keselatan, tepat berhadapan dengan kediaman Ibu Nyai dengan jarak sekitar 20 meter. Ndalem Ibu Nyai memiliki dua pintu utama. Satu menghadap pondok putri dan satunya lagi menghadap pondok putra, hal ini bertujuan agar memudahkan para tamu laki-laki dan perempuan saat bertandang ke ndalem pengasuh pesantren ini, karena ruang tamu antara laki-laki dan perempuan terpisah.

Posisi ndalem Ibu Nyai tepat berada ditengah-tengah antara pondok putra dan putri. Dan disamping kanan rumah ada sebuah pintu yang langsung menuju dapur.

Disamping kiri rumah terdapat tembok pembatas setinggi sekitar 2 meter, disana terdapat pintu kecil yang menghubungkan pondok putra dan putri. Disitulah aku melihat bayangan orang itu yang entah siapa aku tidak tahu, aku kehilangannya karena terhalang tembok pembatas.

"Mungkinkah dia disini?" Batinku.

Kulihat lagi ponselku, kulihat akunnya sudah off. Padahal aku belum sempat bertanya darimana dia mendapatkan foto tersebut.

"Njenengan kok bisa dapat foto itu darimana? Jangan-jangan njenengan memata-matai kulo ya?". Kubalas pesannya meski akunnya sudah off. Tak apalah biar dia membalasnya besok.

Aku kembali lagi ke kamarku, indri ternyata masih belum naik ke panggung tempat tidurnya.

"Ada apa Hil, kok kamu sampai keluar keteras? Wes malam lho." Tanya indri dengan suara yang lirih karena takut membangunkan teman yang lainnya.

"Nggak kok, cuma nyari signal." Kilahku.

"Ooh.." indri membulatkan mulutnya.

"Ya wes. cepetan tidur. Nanti bisa telat bangun sahur lho." Imbuhnya lagi.

Aku mengangguk. Kubaringkan badanku lalu kutarik selimut, akan tetapi rasa kantukku seketika hilang gara-gara foto itu.

Hatiku gelisah tak menentu, sebentar miring kekiri, sebentar lagi miring kekanan hingga ranjang tidurku menimbulkan suara decitan halus. Entah jam berapa aku mulai terlelap aku tak ingat lagi.

Keesokan paginya aku baru mendapat balasan darinya, kubuka pesan mesenger diaplikasi pesbuk.

"Kulo mondok disini juga dek,"

Aku sedikit terkejut membaca pesan darinya, kenapa bisa sampai kebetulan dia mondok disini juga. Terbesit dalam pikiranku mungkinkah kami memang jodoh dan dipertemukan disini. Aku mengulas senyum sambil membayangkannya.

"Iya kah?, tapi dulu njenengan bilangnya mondok di Jombang?"

"Sampun pindah sejak 2 bulan lalu, hehe.."

"Kenapa pindah kang?" tanyaku lagi

"Biar lebih deket rumah".

Aku baru ingat dulu dia memang pernah mengatakan kalau dia tinggal di kota ini.

"Hem...nggeh pun". Balasku singkat. Tapi sebenarnya aku juga ingin mengatakan kalau aku sangat ingin bertemu dengannya, namun rasa malu dan gengsi mengusai diriku saat ini.

"Ya wes. mandi sana. Baunya itu lho nyampek sini, haha.." ledeknya dengan dimbuhkannya emoticon tertawa. Tau aja kalo aku belum mandi.

"Yee... fitnah. Tapi bener ding". Kusematkan emoticon tertawa lebar sambil nangis-nangis. Malu juga sih ketahuan belum mandi.

"Nggeh pun, sana mandi".

Dia pun mengakhiri percakapan mesenger kami.

***

Tidak terasa puasa ramadhan telah memasuki lima hari, delapan hari sudah aku berada dipondok pesantren ini. Aku cukup betah disini, mbak-mbak pondok disini ramah semua dan tak segan untuk saling membantu satu sama lain.

Namun satu hal yang membuat telingaku risih, setiap saat setiap yang jadi topik pembahasan adalah Gus Abdillah. Mereka selalu membicarakan ketampanan Gus Abdi dan berandai-andai betapa beruntungnya jika bisa menjadi pendamping hidupnya.

"Ganteng apanya, orang kayak cewek gitu. Kulit putih bibir tipis, yang cewek aja kalah." Gerutuku dalam hati.

Jika mengingat kejadian waktu lalu saat Gus Abdi menabrakku dan meninggalkanku begitu saja tanpa sepatah katapun, hatiku merasa dongkol. Kok bisa-bisanya seorang Gus bersikap seperti itu. Sombong.

Apalagi setiap kali Gus Abdi mengajar dipondok putri, beberapa santri akan bergerumbul didekat jendela musholla untuk mengintip Gus Abdi lewat. Setiap kali ia lewat, bau parfumnya menyeruak menusuk hidung meski orangnya sudah menghilang.

"Gus iki mandinya pakek minyak wangi palingno, hidungku langsung mampet gini." Gerutuku setiap kali mencium bau parfum Gus Abdi. Indri yang mendengarnya hanya tertawa sambil geleng-geleng.

"Jangan terlalu benci, nanti bisa jadi cinta lho Hil," indri tertawa diakhir kalimatnya.

Dia memang sangat suka menggodaku.

"Amit-amit jabang bayik..!!" Aku mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri.

"Orang sombong kayak gitu kok banyak yang nyenengin, heran aku. Mereka itu sudah dibutakan dengan fisiknya saja." Aku mulai senewen.

"Jangan su'udzon dulu dong Hil, mungkin waktu itu Gus Abdi lagi buru-buru jadi gak sempet minta maaf."

"Orang cuma bilang maaf butuh waktu berapa lama sih ndri," ujarku kesal.

"Ya, wes. Terserah kamu lah, aku mau balik ke kamar". Indri berlalu meninggalkanku yang masih senewen didalam musholla.

Ketika aku akan melangkah keluar menyusul indri tiba-tiba ekor mataku melihat seekor kucing yang tertidur diserambi musholla, aku melihatnya lewat jendela kaca samping musholla.

Kuhampiri kucing dengan corak bulu belang telon itu lalu kuciumi saking gemasnya.

Kucing itu sepertinya kucing yang sama dengan yang kulihat dulu didapur ndalem lebaran tahun kemaren. Saat itu aku sedang bersilaturahmi halal bi halal kesini bersama keluargaku. Waktu itu aku habis dari kamar mandi karena kebelet. Letak kamar mandi dan dapur berdampingan.

Bedanya dulu ia masih agak kecil, sekarang sudah gembul dan bulunya lebat sekali. Mungking dia ini kucing blasteran, ibunya anggora bapaknya kucing kampung biasa atau sebaliknya.

"Tapi sepertinya aku pernah melihat kucing ini ditempat lain, dimana ya?" Gumamku.

Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!