Kecewa, gundah, gelisah, marah, mengiringi Aina yang mencoba menelpon pria yang seharusnya menjadi suaminya saat ini, Alee.
Tidak di angkat.
Sial. Aina membanting ponselnya di atas tempat tidur dan kembali menangis tergugu di atas sana. Ia tengkurap dengan wajah terbenam di atas bantal.
Braakkkk
Pintu terbuka dengan kerasnya membuat Aina mengangkat wajahnya dan menatap siapa yang telah melakukan sesuatu yang keras pada pintunya yang tak bersalah itu.
"Mama," ucapnya sembari mengusap air mata yang menetes di kedua pipinya. Aina menelan ludahnya karena menahan takut dan berdiri menatap mamanya yang melangkah mendekat padanya.
"Mama minta kamu jangan menangis untuk pria itu lagi." Ada penekanan kata pada "pria itu" dari nada yang diucapkan mama Metta. Ia kembali lebih dekat pada Aina dan mengangkat tangannya di bahu Aina.
Bukannya senang, tapi Aina lebih pada takut berlebihan.
"Davian lebih kaya daripada calon suamimu itu dan mama ingin kamu lebih menghargai dirinya sebagai suami."
Metta mengangkat sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman sinis.
"Jika tidak, maka ...."
"Iya, aku akan melakukan yang mama minta." Ucapnya cepat seakan tahu kalimat apa yang akan diucapkan oleh mamanya.
"Good. Sekarang tolong bereskan pakaian kamu. Kamu tahu kan dimana kopernya?"
Apa yang diucapkan Metta penuh dengan makna. Kini apa yang bisa Aina lakukan. Dia pun mengikuti perintah Metta tanpa perlawanan sedikitpun.
Melihat mamanya sudah keluar dari kamar, ia membanting kopernya ke atas lantai.
"Bagaimana dengan papa?" matanya merah dan menatap ke sana kemari memikirkan cara untuk membawa papanya ikut serta pergi bersamanya.
"Aina, apa paman boleh masuk?" ucap seorang pria setenga berbisik.
Aina menjatuhkan tatapannya pada paman Firman yang berada di ambang pintu. Gadis itu mengangguk dan mengizinkan pamannya masuk menemui dirinya yang sedang kacau.
Mungkin kedatangan paman Firman akan memberikan sedikit oksigen untuk nya bernapas lega.
"Bagaimana jika mama tahu paman menemui diriku sekarang?"
"Tidak Nak, mamamu sudah pergi dan perawat papamu juga masih berada di dalam kamar memberi makan siang untuk papamu,"
Aman. Aina bisa menghirup napas lega.
"Jika mamamu menyuruhmu pergi, maka pergilah. Biarkan papamu paman yang jaga, bagaimanapun juga dia adalah adikku dan sudah tugasku menjaganya sampai kapanpun,"
"Paman," Aina menggigit bibir bawahnya menahan air mata yang sudah membendung.
Selain itu paman Firman juga mengatakan bahwa Davian adalah pria yang baik, Aina bisa meminta tolong padanya agar keluarganya bebas dari cengkraman Metta.
"Percayalah pada suamimu itu, dia orang yang baik dan ...." belum sempat Firman mengucapkan kalimat panjang lebar, Metta sudah berdiri di ambang pintu dan. membentaknya.
"Pergi! Aku tidak ingin kau meracuni pikiran anak tiriku!"
Metta melangkah mendekati keduanya.
"Jika kalian berkonspirasi untuk menjahati diriku, maka aku tidak segan melakukan sesuatu pada istrimu Firman, dan ... papamu, Na," tatapan matanya seakan menusuk jantung Aina.
"Metta, sadarlah sebelum karma menimpa dirimu!" ucap Firman pelan namun dengan nada memperingatkan.
Metta mendengus." Sebenarnya simpel sekali permintaanku. Jangan melawan ku, turuti apa yang aku mau. Kalian sudah enak tinggal di rumahku secara gratis. Aku juga memberikan pernikahan terbaik untuk Aina juga. Davian lebih kaya daripada Alee, jadi kau lebih pantas dengannya Na!"
Aina memutar bola matanya jengah.
"Mama tidak pernah merasakan cinta, karena itu mama melampiaskan semuanya dengan kejahatan yang tidak tahu malu ini!"
Plakk
Tamparan keras mendarat di pipi Aina hingga menimbulkan bekas merah di sana. Entah kenapa saat itu keberanian Aina bangkit hingga ia mengeluarkan kata-kata yang lama ia simpan di hatinya.
"METTA!"
"Apa? Kau mau aku tampar juga?" teriak Metta lebih keras menatap tajam Firman yang hampir kehilangan kendali.
Dada Firman naik turun, terasa gumpalan kemarahan di dadanya siap meledak kapanpun menghantam Metta yang berdiri tegak di hadapannya.
"Keluar dari kamar Aina sekarang!" bentak Metta pada Firman.
Firman menatap Aina dengan iba sebelum akhirnya ia meninggalkan kamar gadis itu.
Kini tinggal Aina yang menangis dan Metta yang menatapnya sadis.
"Jangan pernah bermain-main denganku sebelum aku hilang kesabaran pada pria tua yang sekarat itu!"
Aina segera mengangguk dan tak ingin berucap apapun lagi.
**
Davian sudah bersiap untuk pulang sore itu. Tak lupa ia mampir ke rumah nya untuk menjenguk mereka sekaligus mengambil koper yang telah di siapkan Agil.
"Vian, bagaimana dirimu di sana sayang?" Dara memeluk anaknya dan mencium keningnya.
"Umi, Dav sudah dewasa, malu jika Umi memperlakukan aku seperti ini!"
Dara tersenyum kecut sebelum menjauhkan dirinya dari anaknya.
"Apa kau bahagia menikah dengan ... siapa?" bahkan nama menantunya saja Dara tidak hafal.
"Aina Umi." Dav tersenyum," Masih satu hari, jadi Dav belum terlalu merasakan bahagia tidaknya, tapi yang jelas Umi tidak perlu khawatir, Dav bisa menjaga diri Dav,"
"Umi percaya padamu. Kau sudah dewasa dan Umi hanya bisa mendoakan pernikahanmu langgeng dan bahagia ya,"
"Nah, itulah yang Dav inginkan Umi. Semakin lama tinggal bersama, Dav pasti akan semakin mengenal Aina."
Tak lama kemudian Agil membawa turun koper Dav yang berisi pakaian dan beberapa barang penting yang harus ia bawa.
Setelahnya ia pamit untuk kembali ke rumah Metta dan Dav juga bilang bahwa dirinya juga akan tinggal di rumah sendiri dalam waktu dekat ini.
Rumah itu hadiah dari Metta, tapi Dav berencana akan mengambil alih rumah itu atas namanya dengan cara membelinya. Metta pasti akam menyetujui usulan Dav. Yang jelas dia tidak suka jika dia di atur oleh mertuanya yang sepertinya menyimpan sesuatu yang membuat Dav curiga.
Di dalam mobil Dav sudah mempersiapkan uang tunai dan juga cek untuk mengambil alih sertifikat rumah baru yang disediakan Metta.
Sesampai di rumah, saat baru saja ia masuk ke kamar, dirinya sudah di kejutkan dengan gambar telapak tangan di pipi istrinya.
"Kenapa pipimu?" tanya Dav hendak menyentuhnya.
"Jangan di menyentuhku!" dengan sigap Aina memundurkan langkahnya hingga mepet pada lemari di belakangnya.
Dav menghela napasnya. Ia memasukkan ke dua tangannya pada saku di celana yang ia kenakan." Siapa yang menamparmu?" pertanyaan berikutnya membuat Aina tak bisa atau tak ingin menjawab.
Merasa tidak akan ada jawaban, Dav mengambil salep di dalam kopernya dan menarik duduk Aina walau gadis itu memberontak tapi tak berhasil. Tubuhnya terduduk di tepi tempat tidur dengan mata menatap Dav yang mengoleskan salep di pipinya.
'Sepertinya memang ada sesuatu yang terjadi di keluarga ini.'
Gadis itu menahan sakit dengan meringis dan mendesis.
"Tahan, sebentar lagi akan selesai!"
Dalam hatinya Dav ingin menyelidiki apa yang terjadi di rumah ini, pasti ada sesuatu yang terjadi. Tamparan di pipi Aina menjelaskan bahwa apa yang dipikirkan tentang rumah ini adalah benar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
𝓡𝓕 AINI
cerita penuh teka teki
2021-02-17
0
🐿️⃝🍾ᴛͩʜᷞʏͧʏᷠᴀͣ🌏✰͜͡w⃠࿐
knp GK jujur aja sih😤
2021-01-30
0
ARSY ALFAZZA
like like ❤️
2021-01-28
0