"Aster! Bangunnn ih!"
Mata lentik itu terbuka. Sosok Vanesa berkucir dua menyambut. Sontak Aster berdiri lantas memeluknya sangat erat seakan takut sahabatnya menghilang. "Vanesa huaaa! Kok lo bisa masuk ke kamar gue?"
Sahabatnya itu berusaha mendorong tubuh Aster sekuat tenaga. "Sesak ini sesak!" Tangannya menahan kedua bahu Aster agar tak lagi memeluknya, tapi perempuan satu ini begitu keras kepala dan berhasil merangkul Vanesa. "Kamar pala lo kotak. Ngelindur ya?"
Aster merenggangkan jarak keduanya, menatap Vanesa dengan mata lebar. "Masa nih ya! Tadi itu gue ngimpi aneh! Gue jadi putri di Istana terus ada pelayan namanya Sari."
"Idih, ngimpi gitu doang. Udah, lepasin gue! Gue masih normal nggak mau disangka kelainan. Mending lo belajar lagi deh."
Aster melepas rangkulan di pinggul Vanesa sebab merasakan adanya ikat pinggang. Ia melirik pakaian yang melekat di tubuh sahabatnya dengan lamat-lamat dari atas sampai bawah. Atasan putih berjas identitas dengan bawahan rok pendek kotak-kotak.
"Eh, kok ..."
Aster kembali bercermin melihat diri sendiri. Ia mengangkat kedua tangan dan pakaian yang sama juga ia kenakan. Terakhir kali bukankah Aster mengenakan baju tidur? "... Kok kita bisa pakai seragam sekolah hari Senin sih, Nes?
"Iyalah, kan ini hari Senin. Gimana sih lo? Eh, gimana tuh belajar sistem kebut semalem udah kelar?"
Perempuan di depannya masih dilanda kebingunagan. Itu artinya apakah Aster bermimpi sambil jalan? Dalam istilah medis disebut sleepwalking.
"Ditanya malah bengong! Pasti belum, kan? Malah keenakan tidur di jam kosong Bu Imel."
"Duh, iya-iya gue belajar. Udah sana lo balik ke bangku." Aster membalikkan tubuh Vanesa, mendorong punggungnya agar menjauh.
Usiran halusnya kali ini mendapat tatapan kesal. Aster sedang tidak ingin diganggu. Ternyata benar-benar mimpi, aneh sekali kalau sungguhan terjadi.
Dilihatnya jam tangan yang selalu melingkar di pergelangan. Sekarang pukul delapan tepat, mapel Biologi sepuluh menit lagi. Aster harus cepat-cepat. Pertama dia merogoh buku tebal di dalam tas, sungguh tidak mengira akan benar-benar membawanya ke sekolah. Aster menjadi penasaran dengan apa saja yang tubuhnya lakukan saat bermimpi.
Selanjutnya, Aster mencoba fokus membaca nama ilmiah tumbuhan.
"Bawang Putih ... Allium sativum, Bawang Merah ... Allium cepa."
Kegiatan ini belum lima menit ia lakukan, tetapi rasa kantuk kembali mendera tatkala membalik halaman kedua.
***
Sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Namun kedua kelopak seolah dibalur lem karet super lengket. Aster tidak menghiraukan panggilan itu.
"Aster ...."
"Aster ...."
Sampai telapak tangan dingin menepuk pipinya berkali-kali. Memang dingin, tetapi lama-kelamaan berubah hangat. Membuat Aster ingin melihat siapa yang berbuat demikian.
Mata Aster melebar ketika jakun di atas naik turun seperti ombak pasifik. Garis rahang tegas diselingi hidung mancung. Mulutnya sedikit terbuka menikmati pesona makhluk yang kini menggendongnya seperti aksi-aksi penyelamatan Putri Kerajaan. Laki-laki itu melirik. "Belum puas melihatku, Putri Tumbal?"
Aster menunduk gelagapan. Dapat ia rasakan area pipinya memanas. Ketahuan mencuri pandang sangat memalukan. Detik berikutnya dia memberontak, memukul dada bidang di dekatnya. "Turunkan aku sekarang!"
Permintaan itu langsung dituruti, membuat pemilik rambut sepinggang menggaruk belakang leher. Semudah itu? Tunggu sebentar ... ini di mana lagi?! Aster membatin frustrasi sambil menjambak rambutnya kasar. Tubuhnya berputar-putar menangkap lingkungan asing untuk kedua kalinya. Bisa-bisanya dia kembali ke mimpi!
"Ini, aku di mana?" tanya Aster. Lirih.
"Istana Apung," jawabnya singkat.
"Kenapa aku dibawa ke sini, Kak? Dan kau ini siapaku?" Aster bertanya lagi. Usia laki-laki ini mirip siswa sepantaran SMA, wajar kalau Aster memanggilnya dengan sebutan 'kak'.
"Aku bukan kakakmu, ke depannya jangan memanggilku 'Kakak'. Mulai sekarang panggil aku Pangeran Ketujuh." Usai menjelaskan hal itu, dia langsung memasuki gerbang besar yang terbuka lebar dengan sendirinya, seolah menyambut orang penting. Tentu saja. Dia pangeran!
Aster terpaksa mengikuti pemuda itu karena dirinya sangat asing akan tempat ini. Gerbang yang Aster tebak adalah gerbang masuk ke Istana menutup perlahan, tetapi menimbulkan suara debuman yang keras. Ternyata berdiri seorang pria kekar di baliknya. Pengawal mengunci pintu masuk dengan kayu raksasa seolah Aster akan terkunci di sini selamanya.
Pangeran Ketujuh menoleh ke arah Aster yang sedang menoleh ke belakang menatap gerbang masuk. Pangeran Ketujuh menggandeng tangan Aster untuk mengajaknya masuk lebih dalam. "Lambat."
Aster terdiam membiarkan pipinya merona. Rasanya ingin langsung tidur ke kamar supaya bisa kembali ke dunia nyata. Mimpi ini terlalu indah. Tangan Pangeran hangat dan nyaman.
"Pangeran Ketujuh, bolehkah saya tau kita mau ke mana?"
"Hm?" Pangeran Ketujuh memberi lirikan misterius, membuat jantung Aster berhenti memompa satu detik.
"Makan siang. Berjalan dari perbatasan sampai ke sini sangat melelahkan. Bukankah begitu?" tanya Pangeran Ketujuh bermaksud menyindir bahwa Aster tiada rasa lelah karena ke sini menumpang gendong.
"Iya ...." Detik berikutnya, Aster termenung memikirkan alasan dirinya dikirim ke Istana Apung. Lalu, Istana sebelumnya bernama apa dia sendiri tidak tahu. Hanya Sari yang ia ketahui.
"Kenapa kau tidak makan? Apa perutmu sudah kenyang?" tanya Pangeran Ketujuh ketika para pelayan selesai menata menu.
Meja bundar melonjong ini penuh makanan yang menggiurkan. Aster tertegun. Dia tak pernah melihat makanan selengkap ini, seperti perjamuan keluarga menengah ke atas yang mana tiada waktu barang sekedar membayangkan. Sayangnya, di kursi sebanyak ini hanya diduduki dua orang.
Aster sedikit canggung. "Karena Pangeran Ketujuh belum menyentuh satu pun makanan. Selain itu, saya merasa kenyang," jawabnya jujur disertai senyum simpul. Mungkin di dunia nyata, Aster sarapan sangat banyak sehingga kenyang pun dibawa mimpi.
Laki-laki berambut pirang tertawa keras, membuat dahi Aster berkerut. "Memang ada yang lucu, ya?" Tanpa sadar logatnya keluar.
"Kau Putri Tumbal yang unik," ucap si pirang sambil bangkit memutari meja. Dia menarik kursi di samping Aster sebelum menempatinya.
"Apa maksudmu Putri Tumbal?"
"Aku takkan menjelaskan dua kali. Saat ini aku sangat lapar." Pangeran Ketujuh mengusap puncak kepala Aster, semakin turun gerakan tangannya berhenti pada tengkuk leher.
Aster tersentak ketika dirinya dipeluk tiba-tiba. "Saya ... saya memang tidak tahu."
Pangeran Ketujuh berbisik. "Darah ... aku butuh darahmu." Wajahnya pucat pasi dan warna merah menjalar pada mata pangeran, tetapi Aster tidak menyadari empat taring di mulutnya tumbuh lebih panjang. Hanya saja, ia merasakan bulu kuduk meremang di area tengkuk.
"Aku sungguh tidak tahu apa pun!" Aster mendorong dada di depannya sekuat tenaga. Mata mereka bersitatap. "Maksudku ... aku bukan Aster yang asli! Mungkin saja roh kami bertukar saat aku terbangun," ungkapnya seraya meremas kerah baju, menandakan bahwa dirinya sungguh tak habis pikir kejadian aneh ini.
"Penciumanku tajam. Wangi darah jarak ribuan kilometer masih bisa kulacak. Berhentilah membual!"
"Membual apa maksudmu?" Aster mencoba berdiri menghindari gigitan Pangeran Ketujuh. Namun, kekuatan laki-laki cukup besar untuk menarik lengannya supaya kembali terduduk. Sebenarnya ia ketakutan, bahkan suaranya bergetar. "Kau ini makhluk apa, Kak?"
"Makhluk pecinta darah manis," bisiknya tepat di daun telinga. Mata Aster melebar. Apakah ...? Vampir!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
kelincipincang
ceritanya keren semamgat kakakkk
2023-07-19
0
Wow Aksi Aster udah bikin deg-degan😍
2023-06-23
0