Hebatkan, demi membatalkan acara makan malam dengan keluarga mantan kekasihku aku harus rela merasakan sakit karena ada tulang rusukku yang retak. 5 jam yang lalu aku baru saja selesai menjalani operasi dan setelah siuman sejam kemudian, telingaku benar-benar panas mendengar ceramahan ka Geri, mama dan papa juga Talseya, kakak perempuanku yang harusnya masih berada di Dubai karena profesinya sebagai pramugari pesawat Emirates.
“Kamu dengar nggak kakak bicara!” ka Geri kembali menekan suaranya.
“Iya kak, iya!” jawab pelan.
“Kalau kamu emang udah bosan hidup sini, kakak cekik sampai mati.” Ka Seya memberikan tatapan tajamnya. Aku malah terkekeh. Ternyata mereka semua sayang padaku.
Aku berhenti terkekeh saat merasakan rasa sakit dan panas di bagian punggung bawahku, oh sial sakit sekali. Kenapa juga aku melompat dari mobil dengan begitu bodoh seolah-olah tubuh terbuat dari besi.
Sial! aku benar-benar bodoh.
“Permisi.”
Pintu ruangan inapku digeser pelan dan aku mendengus melihat siapa yang muncul dari balik pintu bercat putih itu.
“Eh Nak Bagas,” sapa papaku dengan suara antusias, seantusias dia memarahiku tadi.
“Kasi nasihat deh sama calon istri kamu yang bebal ini!” ucap Kak Geri lalu menarik ka Seya keluar dari sana sementara ayah dan ibu juga saling memberi kode lewat mata dan akhirnya mereka memutuskan meninggalkanku bersama Bagas, mantan kekasihku yang disebut keluargaku sebagai calon suami.
“Berapa tulang rusuk kamu yang patah?” tanyanya dengan nada dingin, senyuman juga tidak ada di bibirnya.
“Cuma 3,” balasku datar.
“Dan kamu setenang ini? Kalau kamu emang nggak makan dengan keluarga aku, batalin aja nggak usah sok ngelompat dari mobil dan membahayakan diri kamu seperti ini.”
Aku diam. Membiarkan lelaki itu terus bicara.
“Emang sehina itu ya keluarga aku sampai nggak pantas makan malam bersama kamu?”
Aku melotot, aku nggak pernah berpikiran keluarga Bagas sampai sehina itu. Selama aku menjalin hubungan dengan bagas di masa lalu, keluarga laki-laki itu benar memperlakukan aku dengan sangat baik bahkan sangat antusias ketika mendengar berita aku yang sedang mengandung saat itu. Saat kami berpisah aku masih sering berkomunikasi dengan orang tuanya dan adik perempuannya, Wita. Aku hanya benci dengan Bagas, tidak dengan keluarganya.
“Gue nggak pernah berpikir sampai seperti itu!”
Aku memalingkan wajah, aku tidak ingin laki-laki seperti Bagas memanfaatkan kelemahanku untuk menyakitiku lagi.
“Terus kenapa Re? Kenapa?” tanya Bagas dengan nada frustrasi.
“Gue hanya nggak bisa! Nggak bisa!”
“Dan kamu pikir setelah melakukan hal ini aku akan berhentin menjadikan kamu milik aku! Nggak, aku tetap akan melakukannya. Kita akan tetap menikah.”
“Lo egois!” sinisku.
“Ya, aku bakal seegois ini untuk mempertahankan semuanya,” ucapnya dengan nada tegas.
Tanpa sadar air mataku menetes, entah apa yang terjadi ke depannya yang pasti aku tidak ingin memulai sesuatu yang pada akhirnya akan menyakitiku.
***
Selama 3 hari dirawat di rumah sakit aku merasa bosan bukan main. Tidak bisa ini dan itu, segala hal harus dibantu oleh orang lain baik itu perawat maupun keluargaku. Aku merasa tidak berdaya dan tidak berguna. Saat- saat inilah aku baru menyesalai perbuatan sok superheroku beberapa hari yang lalu hingga membuatku bak orang lumpuh seperti ini.
Aku memang bodoh.
Untuk apa aku terjun dari Mobil, aku bisa saja membatalkan pertemuan itu atau setelah sampai di sana aku kabur. Setelah semuanya aku akhirnya sadar tingkat kebodohanku masih berada pada tahap mengkhawatirkan.
Membayangkan rasa sakit saat aku terjun dari mobil ka Geri sore itu, rasanya lebih baik aku mengedit puluhan novel semalaman dari pada harus merasakan sakitnya mencium debu aspal jalanan.
Untung saja tak lama setelah atraksi aku terjun dari mobil aku langsung pingsan dan tak merasakan apa-apa.
“Ri, ajak Remin Dan Ririn ke sini dong. Bosan banget gue.”
Panggilanku lewat aplikasi whatsapp bersama Riando sudah berlangsung selama 20 menitan dan sebelum mengakhirinya aku mengatakan keinginanku agar besok lelaki itu menjengukku bersama istri dan dua anak kembarnya yang menggemaskan.
“Dih maksa banget nih tante,” cibirnya.
“Terus Bagas sering jengukin lo di situ?”
Aku mendengus. Ujung-ujungnya Riando pasti menanyakan mantan kekasihku itu.
“Udah kek mandor tiap beberapa jam bolak-balik kemari, ampe gue beneran muak,” ujarku dengan suara sengaja dikeraskan agar lelaki yang sedang duduk di sofa ruang inapku itu dengar dan tersinggung.
“Harusnya lo senang, ada yang jengukin. Jangan sok nolak gitu kalau nyatanya lo nyaman dapet perlakuan gitu.”
Aku mendengus muak.
“Senang pala lo! pala gue tiba-tiba sakit, udahan ya!”
Tanpa menunggu balasan dari Riando aku segera memutuskan sambungan telpon kami. Semakin lama lelaki itu menjadi sama menyebalkannya dengan Bagas.
“Apa!” ucapku dengan mata melotot saat memergoki Bagas yang menatap ke arahku.
“Kamu semakin cantik kalau lagi marah,” godanya dengan bibir yang tersungging miring.
Sialan! Kenapa pipiku terasa memanas.
“Cantik pala lo!”
Aku berbalik membelakanginya, malas menatap wajah laki-laki itu. Apalagi kalau ingat Liam, aku pasti tidak ingin menatap wajah Bagas.
“Nggak baik- baik marah-marah gitu,” ucap Bagas sembari menghampiriku dan mengecup ujung rambutku. Hal itu membuatku langsung menahan napas, sudah lama sejak terakhir kali kami dalam posisi sedekat ini.
“Re,” panggilnya dengan suara serak.
Dulu, mendengar dia memanggilku dengan panggilan istimewa itu aku merasa sangat special karena hanya dia yang mengunakan singkatan nama tengahku sebagai panggilan untukku. Tapi sekarang rasanya tidak seuforia dulu, banyak hal telah berubah dengan pelan-pelan termasuk perasaanku.
Dia semakin maju dan mencium sisi leherku dan membuatku semakin menahan napas.
“Menjauh dari gue sebelum tangan gue mukul lo tanpa ampun!” ancamku.
“Aku nggak bisa Re!”
Lelaki itu perlahan naik di atas tempat tidur pasien yang kugunakan dan masuk ke dalam selimut khusus pasien sambil menelusupkan tangannya untuk memeluk pinggangku.
Entah apa yang terjadi yang kurasakan hanyalah seragam pasienku terasa lembab dan basah juga pundak Bagas yang bergetar.
“Maaf, aku nggak ada saat Liam pergi. Maaf aku nggak bisa memberikan pundak saat kamu nangis saat itu, maaf meninggalkan kamu dengan sejuta luka, maaf.”
Suara sengau Bagas mengudara dalam kamar inapku yang sudah cukup sunyi. Laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya dengan disertai isakan kecil.
“Terus apa alasan lo ninggalin gue saat itu?” tanyaku pelan.
Dapat kurasakan tubuhnya menegang sesaat dan akhirnya ranjang pasien itu bergerak, Bagas memutuskan turun dari sana.
“Sudah malam, kamu perlu istirahat. Aku pulang, ka Seya sudah sampai di parkiran rumah sakit.”
Dia pergi meninggalkanku tanpa menjawab pertanyaanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
mintil
jelas marah lah ditanya g jwb
2021-07-28
2
Bibit Iriati
penasaran, apa alasan Bagas??
2021-03-26
3