"Tenri bisa apa, Daeng? Jika keputusan menikah dengan anak dari Daeng siga sudah diputuskan sejak kami masih kecil, maka Tenri hanya bisa menerimanya." ujar Tenri dengan kepala sedikit menunduk.
"Jika begitu, maka tanggal pernikahan bisa kita tetapkan secepat mungkin. Bapak senang kau mau menikah dengan Reno, Tenri." jawab Bapak Reno.
Pembicaraan hari itu pun berlangsung lancar, tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Yaitu tanggal 22 Desember, bertepatan dengan hari Ibu. Sebagai kado dari Reno untuk ibunya tersayang. Mengenai penetapan tanggal tersebut, sebenarnya bapaknya sendiri yang mengatur. Mengingat bahwa Reno sangat mencintai dan menyayangi ibunya maka dengan begitu dua anak beranak itu bisa semakin bahagia.
Tenri, gadis yang pemalu, pendiam namun sekaligus orang yang memiliki pendirian. Dia lulusan sarjana pendidikan, saat ini dia berprofesi sebagai tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah atas di Makassar. Baik Tenri atau pun Reno, keduanya belum pernah bertemu dan sudah digariskan bahwa pertemuan mereka hanyalah pada saat ijab qabul dilafaskan.
Pihak keluarga dari Reno sudah pulang, Tenri membereskan sisa-sisa makanan yang disajikan kepada para tamu tadi. Baru saja beranjak ingin ke dapur, sosok sahabat Tenri muncul dari arah pintu.
"Assalamu Alaikum, Tenri."
"Eh, Alaikumsalam. Masuk-ki Olla." Jawab Tenri yang serta merta mengangkat piring-piring bekas makan tadi.
"Siapa yang datang tadi, Tenri?" tanya Olla penasaran.
"Keluarga dari Daeng Siga." Jawab Tenri dengan tenang.
"Ada apa mereka datang ke rumah-mu?"
"Mereka datang untuk melamar."
"Melamar? Melamar siapa, Tenri? Kau mau menikah?" tanya Olla penasaran dan mengikuti Tenri keluar masuk membawa piring.
"Saya."
Jawaban Tenri yang pendek-pendek membuat Olla terus mencecar Tenri dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Menikah dengan siapa-ko nanti?" Olla dengan logat khas Makassarnya, menghentika aktivitas Tenri yang saat itu masih tengah memegang piring.
"Anaknya Daeng Siga."
"Ihh ... kau toh pendek-pendek sekali caramu bicara. Jangan kasih penasaran-ka, Tenri."
"Nanti itu adaji undangannya. Tenang-mi saya undang-jiko."
"Bukan itu masalahnya, Tenri. Kenapa mendadak sekali?"
"Sebentar saya cerita, bantu saya bereskan dulu ini piring-piring."
Olla pun terpaksa menunda rasa penasarannya demi membantu Tenri membereskan segala bekas makanan yang masih tersisa. Setelah semuanya beres, Tenri mengajak Olla masuk ke kamarnya untuk menceritakan bagaiamana asal mulanya sampai Tenri akan segera menikah dengan seorang laki-laki yang sudah dijodohkan dengannya sejak masih kecil.
"Jadi Reno namanya?" tanya Olla dengan suara sedikit keras.
"Iyah. Orang Jakarta."
"Maksudnya di Jakarta kerja? Tapi orang tua dua-duanya di Makassar?"
"Begitulah."
"Kau sudah pernah bertemu dengannya?"
"Belum."
"APA? Iih ... bisa-mu itu menikah dengan orang yang belum pernah kau lihat sebelumnya." Mata Olla melotot mendengar pengakuan Tenri kalau dia bahkan belum pernah bertemu dengan calon suaminya itu.
"Kami pernah bertemu, tapi itu sudah lama sekali."
"Kapan?"
"Waktu kita berdua sama-sama masih berumur satu tahun."
"Astaga ... Apa bisa kau ingat di umur segitu, kau toh!"
"Hehe ... berdoa saja, semoga dia baik. Minimal dia ganteng." Seloroh Tenri bercanda. Sebab dia tahu kalau Olla adalah orang yang mudah terpikat pada penampilan luar saja. Ganteng adalah prioritas Olla.
"Penasaran-ku."
Tenri hanya tersenyum menanggapi setiap komentar sahabatnya, Olla. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menggambarkan sosok Reno pada sahabatnya itu, karena dia sama sekali tak ada bayangan mengenai sosok Reno.
***
Sementara itu, di tempat yang berbeda Reno sedang menanti kepulangan bapaknya ke rumah. Dari jauh dia sudah melihat rombongan bapaknya berjalan, jantungnya semakin berdebar cepat.
"Alhamdulillah, semuanya sudah selesai. Tenri menerima lamaran bapak." Kalimat itulah yang keluar pertama kali dari bibir bapaknya begitu masuk ke teras rumah dan mendapati Reno sedang duduk di sana.
Sedangkan Reno sendiri tidak tahu apakah dia harus senang atau sedih, sebab kedua perasaan itu sama sekali tak ada padanya. Kebanyakan laki-laki mungkin akan merasa lega dan bahagia karena pinangannya diterima. Namun berbeda dengan Reno, dia datang dan kembali ke Makassar hanya untuk menjenguk ibunya yang sakit. Bukan untuk menikah dengan seorang wanita bernama Tenri yang sama sekali belum pernah bertemu dengannya.
"Syukurlah." Jawab Reno singkat.
Bila ada yang paling berbahagia karena lamaran tersebut diterima, maka itu tidak lain adalah ibu Reno. Beliaulah yang sangat mengingingkan Reno dan Tenri menikah. Bahkan hal itu merupakan wasiat terakhir bila takdir berkata lain pada usianya.
-----
Bersambung. Dalam cerita ini mungkin ada yang kurang mengerti karena ada tambahan sedikit logat Makassar yang khas. Tapi bagi pembaca yang berasal dari Makassar, tentu tahu akan hal itu. Terimakasih sudah membaca cerita ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Adriani Laeke
keren keren. i like it.
2021-06-28
0
ʀ𝖍𝒚𝖓𝖆
Awiihh Olla penasaran sekaliki sama calon suaminya Tenri🤣
2021-06-03
0
Amaira Singkil
eddd knpami itu olla
2021-01-30
3