Bisnis

Pagi harinya, Nanda terbangun setelah cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Bergegas turun dari ranjang, Nanda masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan badannya dan tak lupa dengan rambut hitam yang selalu tertutup dengan hijab.

Selesai dengan mandinya, Nanda keluar dan memakai pakaian. Ia melirik Idris yang masih tertidur setelah sholat shubuh tadi. Dengan pakaian gamisnya, Nanda menuju dapur untuk membuat sarapan.

"Yah, ayo kita sarapan." ajak Bu Maryam setelah ia siap.

"Ayo."

Harum masakan membuat ayah Rama dan Bu Maryam saling pandang. Mereka sudah hapal bau yang baru saja mereka cium. Begitu khas dan menggiurkan. Dengan langkah cepat keduanya turun dan langsung menuju meja makan.

"Nanda?" ayah Rama dan Bu Maryam terkejut ketika mereka melihat Nanda sedang menyiapkan sarapan pagi.

"Ayah dan bunda rupanya sudah bangun. Ayo kemari. Aku buatkan nasi goreng dan ayam kecap. Pasti kalian suka." Nanda dengan semangat menyajikan masakannya yang baru saja ia buat.

Ayah Rama duduk dan menatap Nanda dengan tak percaya. Rasanya seperti mimpi. Namun, ini semua adalah nyata setelah Nanda mencium tangannya dan memeluknya. Nanda bergantian mencium dan memeluk bundanya.

"Kamu pulang kapan, sayang? Kenapa tidak memberitahu?" pertanyaan itu terlontar ketika Nanda memeluk bunda tercintanya.

"Setengah dua dini hari, bunda. Oh iya, sebentar ya. Aku panggil suamiku dan juga anak-anak. Pasti mereka masih tidur." Nanda membalas pertanyaan dari bundanya. Kemudian ia melepas pelukan dan meminta izin agar membangunkan keluarga kecilnya yang masih tidur.

"Iya sana. Ajak mereka bergabung. Kami sudah sangat rindu." ayah Rama sudah lebih dulu membalas ucapan dari Nanda. Karena ia sudah tidak sabar untuk melihat cucunya yang sudah besar.

***

Nanda berjalan menuju kamar anaknya. Dengan perlahan, ia membuka pintu kamar. Terlihat dua anak kembarnya masih tertidur dengan keadaan saling berpelukan. Membuat Nanda ingin sekali tertawa.

"Hilman, Hilmi. Ayo bangun sayang. Kakek dan nenek kalian sudah menunggu dimeja makan. Ayo bangun. Atau bunda akan marah." Nanda menggoyangkan dua anak kembarnya agar mereka bangun.

Mendengar bunda akan marah, Hilman dan Hilmi segera terbangun.

"Aaaaaa!!!" teriak mereka berdua karena terkejut.

"Kalian! Ayo bangun! Dasar anak bunda. Cepat mandi dan sarapan. Jangan pake lama." Nanda langsung pergi setelah ia memerintah.

Sedang Hilman dan Hilmi bersiap untuk perang. Satu tangan memegang bantal dan satu tangan lagi memegang bantal guling. Peperangan pun terjadi. Keduanya saling memukul dengan bantal masing-masing.

"Aku duluan yang mandi!!!" teriak Hilman yang sudah berlari menuju kamar mandi meninggalkan Hilmi yang masih berada di kasur.

"Awas kamu ya!!!" teriak Hilmi kesal.

***

Nanda masuk ke kamar Ainin. Ia membuka pintu perlahan dan masuk ke dalam. Terlihat putri cantiknya tengah tertidur dengan selimut masih membalut tubuhnya. Melangkah mendekat, Nanda membangunkan Ainin dengan pelan agar anaknya tak terkejut.

"Sayang, ayo bangun. Kakek dan nenek sudah menunggu di meja makan." Nanda menggoyangkan tubuh ramping anaknya dan sesekali memberi kecupan.

"Iya, bunda. Lima menit lagi." Ainin membalas dengan mata masih terpejam.

"Sekarang, sayang. Atau bunda bakal marah lho sama kamu kalau ngga bangun juga." selalu saja Nanda memberi ancaman pada anaknya jika tidak segera bangun. Dan tentunya cara itu sangat ampuh.

"Iya iya. Ini Ai udah bangun." Ainin terpaksa bangun karena takut bundanya marah.

"Ya sudah, cepat mandi ya. Bunda tunggu. Jangan pake lama."

Selepas Nanda pergi, Ainin meregangkan tangannya ke atas. Agar membuatnya merasa lebih rileks. Ai bangkit dari kasur dan membereskannya. Setelah itu ia pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.

***

Melangkah menaiki tangga, Nanda masuk ke dalam kamar. Ia tak melihat lelaki yang sudah menemaninya hingga saat ini. Pada saat itu juga, Idris keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.

"Kamu udah bangun, Yah? Aku kira belum. Aku tadi bangun lebih dulu."

Idris mendekati istrinya dan duduk di atas kasur. Disusul dengan Nanda yang ikut duduk juga disampingnya.

"Masak?" Idris bertanya dengan tangan sibuk mengeringkan rambutnya.

"He'em." Nanda mengangguk tanda iya.

Bangkit dari kasur Idris berpindah duduk dikursi cermin yang biasa dipakai oleh Nanda. Memakai deodorant dan tak lupa memakai minyak wangi kesukaannya.

"Sini aku bantu." Nanda bangkit dan meraih handuk dari tangan Idris.

"Anak-anak udah bangun?"

"Udah tadi." jawab Nanda.

"Oh ya, nanti kita ke rumah mamah sama papah ya? Pasti mereka juga pengen ketemu sama anak-anak." ajakan dari Idris membuat Nanda menghentikan gerakannya.

"Boleh. Siangan aja ya?. Kamu juga masih capek kan?"

"Siap bos."

Setelah itu Nanda dan Idris turun bersama. Berjalan menuju meja makan yang terletak tak jauh dari dapur. Ternyata semua orang sudah berkumpul. Terasa lebih ramai dari biasanya.

Idris menyalami mertuanya dan adik iparnya. Lalu duduk disebelah Nanda. Tak berapa lama Ainin, Hilman dan Hilmi datang.

"Kakek! Nenek!" Ainin memeluk dan menyalami ayah Rama lalu Bu Maryam.

"Kamu sudah besar ya? Tambah cantik." usapan lembut diterima oleh Ainin dari kakeknya.

"Apa kabar, Kek?" Hilman dan Hilmi bergantian memeluk dan menyalami kakek dan neneknya.

"Baik, cucu kembar kakek. Ayo duduk sarapan."

Dua anak dari Alex dan Naya juga bergabung di meja makan. Ruang makan terasa lebih ramai karena semua keluarga sudah berkumpul. Kehangatan itu terasa kembali di Kediaman Firma. Canda tawa terdengar setelah mereka semua selesai makan.

Mereka semua duduk bersama di ruang tamu. Dua anak Alex yang bernama Enzi dan Sandya juga ada disana. Cucu-cucu kelurga Firma mulai dari yang paling tua yaitu Ainin, Enzi, Hilman, Hilmi dan Sandya.

"Kak Hil, oleh-oleh buat aku mana?" Hilman dan Hilmi menoleh bersama ketika mereka ditanya oleh seseorang dan itu adalah Sandya.

"Ada dikamar. Mau diambil sekarang?" Hilman menjawab lebih dulu.

"Boleh."

Hilman, Hilmi dan Sandya pergi dari ruang tamu menuju kamar. Mereka masuk bersama. Sedang Hilman langsung membuka kopernya. Mengambil oleh-oleh khas Belanda untuk adiknya.

"Tutup mata dulu, ya?"

"Oke."

Hilmi menutup mata Sandya setelah melihat kode dari kakaknya. Hilman bangkit dan membawa sesuatu di tangannya. Kotak kecil berwarna pink.

"Sekarang buka mata kamu."

Hilmi melepas tangannya dari mata Sandya.

"Wahhh!!! Bagus banget kak. Buat Sandya?" Sandya terkejut setelah melihat oleh-oleh dari kakak sepupunya.

"Iya. Ini kalung dari aku sama Hilmi." Hilman membalas perkataan dari Sandya. Ia menyerahkan kotak tersebut pada adiknya agar memakaikannya.

***

Di taman belakang rumah, Ainin dan Enzi duduk bersama disana. Mereka ikut pergi setelah melihat adik mereka pergi.

"Mau lanjut dimana, Ai?" Enzi bertanya pada Ainin setelah beberapa saat mereka duduk. Kebiasaan dari kecil membuat Enzi terbiasa memanggil Ainin secara langsung. Walau sebenarnya Ainin jauh lebih tua dari Enzi.

"Disini."

"Beneran? Kenapa ngga di Belanda?" mendengar jawaban dari Ainin membuat Enzi terkejut sekaligus senang.

"Beneran. Aku pengen kuliah di Indonesia aja. Biar lebih deket sama kalian disini." Ainin menjawab dengan santai.

"Berarti kita sama. Masuk bareng."

Ainin mengangguk. Ia mengambil roti dengan bentuk bulat dan memakannya.

"Kamu ambil jurusan apa?" sekarang Ainin yang bertanya setelah mengunyah roti di mulutnya.

"Kedokteran." jawab Enzi mantap. Karena itu adalah cita-citanya dari dulu.

"Sama. Aku juga. Kenapa ngga bisnis aja? Buat nerusin perusahaan kakek gitu."

"Aku ngga berminat sama sekali. Paling Hilman sama Hilmi yang jadi penerus. Dunia bisnis itu ngga asik." balas Enzi membuat Ainin tersenyum.

"Iya kamu benar. Tapi ada asiknya juga di dunia bisnis. Tergantung orangnya aja si." Ainin berpendapat tentang urusan bisnis. Karena kedua orang tuanya mahir dalam dunia bisnis.

Menurut Enzi, ia memilih mengambil jurusan kedokteran karena ingin membantu sesama. Dulu, ayahnya (Alex) pernah menawarkan jabatan CEO pada dirinya. Namun, Enzi menolak. Ia berpikir jika masuk ke dalam dunia bisnis, itu akan membuatnya bosan.

Sedang Ainin, menjadi dokter adalah cita-citanya dari kecil. Tidak ada niatan sama sekali ia mengetahui dunia bisnis seperti kedua orangtuanya. Duduk dan menatap layar laptop tiada henti. Ditambah berkas yang menumpuk, membuat Ainin sangat malas untuk mengetahui tentang urusan perusahaan.

Jangan lupa like and vote ya.

Terima kasih.

Salam hangat dari Author 😊

Terpopuler

Comments

Thohir

Thohir

semoga bisa rukun selalu 👍👍👍👍

2021-03-12

0

N Hayati

N Hayati

👍👍👍👍👍

2021-02-13

0

Happyy

Happyy

👍🏼👍🏼👍🏼👍🏼😘😘😘😘

2021-02-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!