"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik pada dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." (QS. Al-Isra [17]:7)
Uhuk!
Uhuk!
Seorang pria paruh baya terbatuk-batuk di tempat tidurnya. Dengan suara samar ia berkata, "Novi, siapa yang ada di luar?" tanyanya. Tanpa sengaja ia mendengar keributan yang terjadi di depan rumahnya.
"Nggak tahu, Yah. Mereka bikin ribut saja di rumah. Aku nggak izinin masuk," sahut Novi menghampiri ayahnya itu. Ia membantu ayahnya itu untuk duduk.
"Kapan kamu pergi ke kota, Novi? Temuilah kakakmu di sana. Ayah sangat ingin minta maaf kepada kakakmu itu. Ayah takut, umur ayah tidak akan lama. Uhuk!" Ia kembali terbatuk.
Penyakitnya sudah tidak ditahan lagi. Mungkin inilah karma yang ia rasakan, karena sudah berbuat semena-mena saat dulu ia masih sehat. Penyesalan, menghantuinya. Ia takut pintu maaf tertutup rapat, kesalahannya dahulu sangat mendalam tertinggal jauh dalam jejak perjalanan. Semua yang terjadi tidak mungkin kembali, hanya kata maaf mungkin yang ia katakan atas khilaf yang dilakukan dari masa lalunya itu kepada putri sulungnya, Jessica.
"Aku semakin membencimu, Kak Jessica," batin Novi tidak suka mendengar ucapan ayah itu. Sejak ayahnya sakit, terus saja memanggil Jessica. Padahal tidak ada apapun yang dilakukan Jessica.
Novi buru-buru mengambil obat dan segelas air putih. "Minum dulu obatnya," ujarnya.
"Hanan! Aku Andi, yang mengasuh putri sulungmu belasan tahun lalu. Ada urusan yang aku ingin bicarakan dengan kamu." Papa Andi berteriak cukup keras di depan pintu itu.
"Novi. Ayah--mengenal suara itu. Dia Andi. Iya dia Andi." Pria paruh baya bangkit berdiri. Meski tubuhnya lemah, ia mencoba tetap bangkit. "Mungkinkah dia datang bersama kakakmu juga?" tanyanya penuh harap.
Novi menggigit bibir bawahnya. "Huh, sial! Aku tidak suka kalau ayah bertemu dengan Kak—Jessica," gumamnya.
"Ayah, itu orang iseng aja. Mereka bikin ribut, Ayah mendingan tidur kembali. Kesehatan Ayah semakin drop akhir-akhir ini." Novi mencegah menyuruh ayahnya itu tidur kembali.
"Hanan ... sungguh tidak ada niat jahat apa pun aku datang ke sini. Tolong buka pintunya!" Suara Papa Andi kembali terdengar. "Jessica, rindu denganmu, Hanan," sambung Papa Andi.
"Novi, jangan mencoba membohongi ayah!" Pendengarannya tidak salah lagi. Ia tetap mencoba bangkit berdiri.
Brugh!
Tubuhnya jatuh ke ubin keramik. Sudah dua tahun ini ia divonis lumpuh total oleh dokter akibat kecelakaan yang terjadi.
Novi menghela napas panjang. "Kenapa, sih Kak Jessica ... Kak Jessica terus yang Ayah pikiran? Sementara, Kak Jessica tidak pernah memikirkan Ayah?!" Novi bertanya sengit. Ia mengambil kursi roda lalu mengangkat tubuh ayahnya itu. Meski kesal ia, juga tidak tega melihat ayahnya itu kesakitan.
"Tunggu di sini. Aku akan membuka pintu dulu." Novi mengentakkan kakinya kesal ke arah pintu.
Ayah Hanan mengangguk paham. Kebahagiaan terpancar di wajah yang sudah mulai keriput dimakan usia itu.
"Masuk!" Novi memandang malas kepada keempat orang di hadapannya itu.
Papa Andi mengembuskan napas lega. Usahanya tidak sia-sia ternyata.
"Dik ...." Jessica ingin meraih tangan Novi. Namun, adiknya itu segera menepis
"Nggak, usah pegang-pegang! Aku tidak mengenalmu," sahutnya ketus.
"Cih, bocah kecil sial4n!" Rendi mengumpat dalam hatinya. Kalau bukan adik dari calon istri mungkin ia akan memberikan sedikit pelajaran.
"Apa lo, lihat aku kayak gitu?" Novi berkata tidak suka kepada pria yang tidak ia kenal itu memandangnya dengan tatapan intimidasi.
"Jessica," panggil Ayah Hanan yang berhasil menarik perhatian semua orang.
Jessica menoleh ke arah sumber suara, terlihat sosok yang selama ini ia rindukan. "Ayah?" tanyanya tidak percaya. Ia berjalan cepat menuju kamar yang pintunya terbuka lebar.
Jessica ingin mencium kaki ayahnya itu untuk minta maaf, tetapi buru-buru Ayah Hanan mencegahnya. "Kamu hanya pantas untuk bersujud kepada Allah, Nak. Bangunlah," pintanya.
Jessica mengangguk. Pelukan hangat melepaskan kerinduan antara keduanya.
Jessica kembali menangis. "Ayah, maafin aku. Baru hari ini aku mengunjungimu," ucapnya lirih.
"Ayah yang seharusnya minta maaf, Nak. Maaf atas kesalahan ayah terdahulu."
Papa Andi, Mama Ani, dan Rendi ikut sedih melihat hal tersebut. Lain halnya dengan Novi yang hanya tersenyum masam melihat adegan dramatis tersebut. "Sok sekali," gumamnya.
"Dia itu kacang lupa sama kulitnya," cibir Novi santai.
Seluruh mata memandang ke arahnya.
"Apa kalian lihat aku kayak gitu? Yang aku ucapkan benar, bukan? Mentang-mentang diadopsi sama keluarga kaya. Dia lupa sama keluarganya yang miskin. Tidak habis pikir aku!" kata Novi.
Rendi sudah tidak tahan lagi. Mulut gadis itu sungguh minta dikasih pelajaran. Dengan segera, ia menarik lengan Novi membawa ke samping rumah.
"Hei, bocah kecil! Kamu itu tidak pernah diajarkan sopan santun? Mulutmu itu, astagfirullah!" Rendi beristigfar di akhir ucapannya.
Novi melepaskan cengkraman kasar Rendi. "Kamu yang tidak punya sopan santun! Main tarik tanganku, ini rumahku!" sahutnya, "Siapa kamu? Membela dia terus. Oh, apakah kamu om-om yang suka sama dia? Pantas saja," lanjutnya sembari menunjuk Jessica yang masih menangis dalam pelukan ayahnya. Ia tertawa mengejek.
"Cih!" Rendi berdecih sinis. Ia mengambil sarung tangan di dalam saku jaketnya, langsung menyumpal mulut gadis itu. "Kamu masih kecil, Dik. Aku bukan om-om, aku calon kakak iparmu! Nanti setelah aku sah jadi kakak iparmu. Aku akan mengajarkan sopan santun. Kamu memang perlu didikan." Setelah mengatakan hal tersebut Rendi langsung pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Aan Nurhasanah
Rendi.... Rendi....🤭😄😄😄😄👍👍👍
2021-01-25
0
Lis
Pertahankan nilai plus yaitu islami di ceritamu Thor. Semoga kelak akan menjadi amal jariyah di akhirat. AAMIIN ALLAHUMMA AAMIIN ❤️❤️❤️❤️❤️🙏🙌🙌
2021-01-07
6
hiatus
bikin kesal tuh sie Novi🤦
2021-01-03
0