Bab 3: (STERIL: Crazy Men)

BUAGH

BRUGH

"Aampun, Ndan!! Aku ... menye-rah!"

Seorang prajurit memukul-mukul lantai tanda kekalahan mutlak, karena Hideo hampir membuat nyawanya melayang. Sampai kapanpun Hideo tidak bisa dikalahkan dengan mudah. Pemuda itu menguasai tinju dan beberapa ilmu bela diri yang pastinya mematikan. Lawan manusia akan kewalahan dibuatnya.

Sudah sejak dua jam yang lalu mereka berlatih, komandan Divisi Utara itu menjadikan anak buahnya sebagai samsak dan membanting mereka tanpa ampun. Bagi warga sipil, latihan ini mungkin mengerikan, namun baik untuk ketahanan fisik. Hideo memiliki jadwal latihan bersama anak buahnya di waktu tertentu dan tak segan-segan mengerahkan seluruh kemampuannya.

"Cih! Kalian lemah sekali! Apa pantas disebut sebagai militer? Bagaimana kalian mau melindungi warga sipil dari serangan zombie jika kalian lemah seperti ini, hah?!"

"Siap, Ndan. Ma ... maafkan kami." Salah seorang prajurit yang wajahnya babak belur menjawab dengan kesusahan.

Walaupun pemimpinnya kerap kali marah-marah, namun anak buahnya tidak dendam sedikit pun. Mereka tahu ini demi kebaikan mereka sendiri dan semua kata-kata Hideo adalah hal yang perlu dihormati. Mereka masih berbaris termasuk anggota pasukan yang semula hanya menonton di pinggir aula. Mereka berdiri dengan badan ditegakkan lalu bicara serentak nan lantang.

"Kami mengaku bersalah, Komandan! Kami lemah! Kami akan berlatih lebih keras lagi!"

Hideo dengan sorot mata tajam, memindai wajah anak buahnya satu per satu. Sebagai pemimpin tim, ada rasa bangga karena anak buahnya tidak pantang menyerah. Mereka adalah satu kesatuan. Mereka dididik dan digembleng dengan kesulitan dan kerja keras. Mereka disumpah untuk mengabdi kepada negara demi melindungi seluruh penduduknya.

"Pengakuan bersalah kalian kuterima. Cepat obati luka-luka kalian!" Hideo berteriak membuat anak buahnya segera bubar dan keluar dari ruang latihan yang menurut mata awam terlihat seperti arena adu jotos.

"Bringas seperti biasa, Hideo."

Seorang pemuda berambut pirang melangkahkan kakinya ke markas Divisi Utara. Suara sepatu terdengar kuat menapak di lantai. Begitu melihat sahabatnya bercucuran keringat tahulah dia apa yang dilakukan oleh pemuda itu. Pasti sahabatnya baru saja membantai anak buahnya dengan mix martial art. Dia sendiri sudah pernah melihat keganasan Hideo dalam latihan, tentu saja ketika mereka masih sama-sama prajurit.

*MMA: Mix Martial Art, kombinasi dari berbagai jenis ilmu bela diri. Membuat penggunanya bebas memakai jenis bela diri apapun.*

"Sedang apa kau di sini, Mark?" Hideo mengambil botol air mineral lalu meminumnya. Sesekali dia mengusap keringat yang menetes dengan handuk kecil.

"Aku datang untuk mengajakmu melihat anak Tuan Altar. Aku penasaran dengannya. Makanya aku datang ke sini. Sekalian menemui sahabatku dan membantu bila ada anggota pasukan di sini yang butuh bantuan ke rumah sakit," kata Mark disertai kekehan menyebalkan.

"Kau mengejekku, hah? Ayo lawan aku!" Hideo mengibaskan handuk ke arah Mark, mengajak duel.

"Woah, tunggu dulu! Aku datang ke sini bukan untuk mengajakmu berkelahi." Mark mundur untuk menghindari sabetan Hideo. Bukan karena dia takut, melainkan----ayolah, dia hanya penasaran dengan zombie yang sangat terkenal itu.

"Aku ada kencan hari ini. Aku harus menjaga penampilanku," lanjut Mark.

"Kencan dengan kekasihmu yang ke berapa?"

"Hm----sepuluh kalau tidak salah," setelah menjawab, Mark langsung memberi cengiran.

"Dasar playboy!"

BET

Hideo menyabet Mark, namun pemuda itu berhasil menangkap ujung handuknya. Dua pemuda itu malah saling tarik-menarik handuk seperti dua anak kecil bertengkar. Untung saat ini tidak ada Leony di tengah-tengah mereka. Jika ilmuwan itu sudah ikut campur bisa dipastikan kuping mereka akan panas karena diceramahi.

"Kita sudahi ini. Ayo kita ke Gedung Atlantis. Bukankah gedungnya dekat dari sini, karena itu aku mengajakmu."

"Kau benar-benar mau melihat anak Tuan Altar? Untuk apa?" Hideo bertanya heran.

"Jangan bilang kau tidak tahu berita itu? Berita tentang Tuan Altar yang mencari pasangan untuk anak zombie-nya menyebar ke seluruh kota ini dan kau tidak tahu?! Ck ... ck ... ck." Mark geleng kepala. Dia tidak tahu kalau sahabatnya kurang up to date separah ini.

"Diam, kau! Aku sudah tahu berita itu dan aku tidak peduli. Jangan bilang kalau kau tertarik, Mark?" Hideo menatap Mark sinis, namun bukan untuk menjatuhkan. Mereka sering bertengkar dan saling ejek. Tentu saja karena mereka tumbuh bersama, termasuk Leony.

"Aku bilang kan cuma melihat-lihat. Aku cuma penasaran seperti apa wujud zombie itu sekarang. Lagipula aku sudah punya kekasih jadi ... kuberikan padamu saja."

Hideo menepis tangan Mark yang berada di pundaknya. "Apa maksudmu?"

"Karena kau memenuhi syarat yang sedang Tuan Altar cari untuk menjadi calon menantunya. Lagipula kau belum punya pacar. Hahahaha."

"Memangnya orang gila mana yang mau memacari zombie?" Ini pernyataan bukan pertanyaan. Yah, untuk orang normal tak akan mau memiliki kekasih zombie, kecuali orang itu sudah gila.

"Kau. Karena kau kan memang gila, Hideo. Hahahaha."

"Kau sudah bosan hidup, Mark?!"

Perkelahian pasti akan terjadi, tetapi Mark memilih kabur sebelum Hideo mengamuk dan membantingnya menggunakan martial art.

****

Hideo keluar dari gedung divisi menuju halaman parkir untuk mengambil kendaraan. Hari menjelang senja ketika dia melajukan motor besar kesayanganya menuju sebuah cafe. Dia masih ingin berada di luar rumah. Toh tidak akan ada yang mencari. Pulang agak malam juga tak masalah.

Kadang dia merasa kesepian. Tinggal di rumah dinas yang luas hanya berisi satu orang membuatnya merasa tempat itu terlalu besar. Rasanya ada sebuah kekosongan di sana. Makanya kadang Hideo pergi ke luar untuk mencari hiburan. Terkadang dia berkumpul bersama dua sahabatnya. Jadi, kekosongan itu bisa tertutup sementara.

Hideo duduk di salah satu sudut dan memanggil seorang pelayan. Sambil menunggu pesanan datang, dia berpaling ke luar jendela untuk menikmati pemandangan kota yang belum terkontaminasi, karena adanya sebuah dinding tinggi dan tebal mengelilingi Kota Lazar. Dinding berlapis baja itu dirancang oleh seorang ilmuwan senior bernama Gillian untuk melindungi kota yang masih asri ini. Kota Lazar tampak seperti surga dunia di antara kepungan mayat hidup. Seperti oasis di tengah gurun pasir.

Tak berapa lama, seorang pelayan datang dengan secangkir kopi hitam. Baunya sangat harum. Hideo menyesap kopinya perlahan untuk merasakan pekat dari minuman hitam di cangkirnya. Namun, kenikmatan itu harus tertunda begitu pendengarannya yang tajam menangkap percakapan dua orang lelaki.

"Kau benar-benar memutuskannya?"

Di sebelah meja yang diduduki Hideo, duduk dua orang remaja yang penampilannya berlebihan dan bicara juga berlebihan. Tangan salah satu dari mereka sibuk merapikan pakaian yang dikenakan. Tak jarang sesekali dia menyibak pergelangan tangan kemeja, sehingga terlihatlah arlojinya yang berkilau.

"Tentu saja. Memangnya siapa yang sudi bertunangan dengan zombie? Aku tidak mau ketakutan seumur hidup. Walaupun dulu saat masih manusia Tahta menjadi idola Cassanova dan sangat menawan, tapi sekarang ... zombie tetap saja zombie."

"Kau benar Soni. Zombie itu sangat menakutkan. Keputusanmu untuk memutuskan pertunangan sudah benar. Kalau aku jadi kau, aku juga tidak mau. Aku tidak mau wajahku yang tampan jadi rusak. Itu sangat mengerikan."

"Kau benar. Aku pantas mendapatkan yang lebih baik, seperti kakak kelas dari club pemandu sorak misalnya. Ngomong-ngomong, tadi siang dia menyapaku. Ini peluang! Aku bisa mengajaknya kencan, kau tahu?!"

"Tentu saja kau bisa mengajaknya kencan. Oh, ya! Kudengar tuan Altar malah mencarikan pasangan untuk anak zombie-nya. Bagiku hal itu sangat berlebihan. Mana ada lelaki yang mau. Bagaimana menurutmu?"

"Ah, biarkan saja! Sampai mati pun tidak akan ada yang mau jadi kekasihnya. Melihatnya saja sudah mengerikan dan menjijikkan, apalagi sampai menjadi kekasihnya. Masih banyak gadis cantik di Kota Lazar. Kenapa harus zombie?" Bibir Soni tertarik ke atas. Bahunya sedikit bergetar karena tawa. Remaja itu memang sudah membuang Tahta, tapi tak perlu mengejek juga. Dia tidak tahu kalau Tahta sedang berjuang di sana.

Hideo berdecak kesal. Dua remaja itu sangat berisik. Sekarang dia tau zombie yang dibawanya waktu lalu memiliki kekasih. Sayang, kekasihnya bukan membantu memulihkan justru malah menghina. Dada Hideo pun berdenyut menahan gejolak bagaikan deburan ombak yang akan menghantam daratan. Hey, tunggu dulu! Kenapa dia masukkan ke dalam hati perkataan dua lelaki barusan? Bukankah Tahta bukanlah siapa-siapa baginya?

Tahta Langit sebenarnya nama yang bagus. Nama dengan arti mendalam. Maknanya haruslah----seseorang yang bertakhta dihati----ku? Eh? Apa yang baru saja dia pikirkan? Tahta-ku? Tahta mereka? Hideo, kau sudah gila.

Hideo menurunkan kacamata hitam yang dipakainya. Lantas dia melirik dua remaja di samping meja. Topik pembicaraan mereka kini beralih pada sesuatu yang menurut Hideo bisa membuatnya mati berdiri. Dua pria membicarakan gadis dan tertawa-tawa ketika membandingkannya dengan Tahta. Bukankah mereka pantas dihajar? Tetapi sangat sayang jika energinya terbuang percuma.

"Maaf, nona-nona," sapanya menyindir tanpa *t*edeng aling-aling.

Kedua remaja itu menoleh dan tidak sempat bergeming. Sebenarnya Hideo terlihat tampan dan keren. Sosok berambut hitam pendek dengan highlight kecoklatan di bagian ujungnya itu terlihat modis. Hideo tampak seperti model daripada seorang militer jika tanpa seragam. Namun, begitu Hideo melepas kacamatanya, sorot mata tajam tak mampu menutupi kesan mengintimidasi.

"Apa kalian sedang membicarakan kekasihku?"

"Apa?" Soni terkejut.

"Kau tahu semua makhluk hidup di dunia ini punya pasangan. Dan aku tidak menyalahkanmu. Lelaki penakut dan pengecut sepertimu memang tidak pantas menjadi pasangan zombie ... oh bukan ... namanya Tahta. Terima kasih kau sudah putus dengannya. Kebetulan aku sedang ingin punya kekasih yang bisa memacu adrenalinku." Hideo memakai kembali kacamatanya lalu pergi meninggalkan dua lelaki yang terbengong-bengong.

****

Di gedung rehabilitasi dengan penjagaan sangat ketat, beberapa orang ilmuwan junior sedang sibuk dengan sebuah selang air. Sebagai bagian dari pemulihan STERIL, mereka perlu memandikan zombie untuk mematikan bakteri dan virus dari luar.

Namun sepertinya sosok itu tidak bisa diajak bekerjasama. Tubuh penuh luka itu berlonjak kaget saat beberapa air disemprotkan ke tubuhnya. Tubuh kurus telanjang miliknya terlihat ringkih dan tidak berdaya.

Kalau masih dalam mode murni zombie, dia pasti akan menerjang siapa saja yang sudah mengganggu. Tapi setelah tiga hari berada di ruang rehabilitasi dan diberi suntikan steril secara bertahap, tubuhnya perlahan melemah karena pemulihan.

Tubuh putih itu berlari menghindari air yang disemprotkan oleh dua orang berpakaian serba putih.

Seakan tidak perduli jika sosok itu kedinginan, mereka terus menyemprot. Biar bagaimana pun zombie yang diketahui bernama Tahta itu masih belum sepenuhnya menjadi manusia sehingga harus dimandikan dengan cara yang tidak biasa.

"Arrgghh." Suara serak terdengar dari mulut Tahta. Dia merasa terganggu. Dia mengangkat wajah saat air dimatikan, lalu menggeram disertai tatapan nyalang, hendak menyerang.

"Berikan handuknya!" pinta salah seorang petugas yang memandikan tadi pada temannya. Petugas lain memberikan selimut besar yang kemudian digunakan untuk menutupi tubuh Tahta.

Sebenarnya Tahta tidak perlu selimut karena zombie tidak merasakan dingin. Tentu saja karena syaraf mereka rusak. Tubuh Tahta berbeda dari zombie lainnya. Kulitnya memang agak keriput. Ada luka di pipi, tangan, dan kaki, tapi selain itu keadaan tubuhnya masih bagus dan lengkap.

CLING

Suara rantai di kedua tangan dan kaki Tahta terdengar saat dia menggerakkan badan. Para petugas tidak takut Tahta akan kabur karena sejak berada di pusat rehabilitasi, para zombie yang menjalani pemulihan dipakaikan rantai. Rantai itu dipasangi alarm dengan sensor gerak. Alarm akan berbunyi jika pemiliknya terindikasi melakukan pergerakan yang dapat membahayakan orang lain.

"Kenapa dia?" tanya salah satu ilmuwan yang sedari tadi memandikan Tahta.

Entah mengapa tiba-tiba Tahta merendahkan tubuhnya lalu dia berjongkok. Selimut tebal yang dipakainya menutupi seluruh tubuh, membuatnya tenggelam.

Tahta hanya diam, tak bersuara. Hal ini membuat semua orang waspada sekaligus merasa lucu.

****

Bersambung

Terpopuler

Comments

alya

alya

hayoloh

2022-07-27

0

Sri Purmini

Sri Purmini

ini seru banget cerita nya

2021-03-06

1

Noejan

Noejan

Hadirr ☺

2021-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!