Di Gedung Atlantis yang menjadi pusat Rehabilitasi, Zombie- zombie tampak riuh. Suara ganas serupa auman harimau terdengar dari pintu masuk hingga aula. Memekakkan telinga. Tak ayal darah menetes dari mulut mantan manusia. Ya, apa namanya jika bukan itu? Jelaslah mereka dulunya manusia sama seperti kita, namun tidak sekarang. Mereka tak sama lagi. Mereka bukan manusia.
Para militer negara yang terbentuk dalam Pasukan Penyelamat STERIL, tim per tim membawa hasil buruannya. Mereka mempertaruhkan nyawa dengan pergi melewati dinding pertahanan untuk mencari dan menangkap zombie yang masih bisa diselamatkan dengan taruhan nyawa. Betapa mulia dan beratnya tugas militer di Beltran Guido. Semoga Beltran Guido selalu diselimuti cahaya----Alunan doa agung untuk negaranya.
GROARH
"Tahan rantainya kuat-kuat!" Teriak salah seorang militer pada beberapa anak buahnya untuk mempertahankan buruan.
Setelah efek obat bius memudar, makhluk yang selalu merasa lapar itu mengamuk, memaksa untuk lepas. Sayangnya meski ingin kabur, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Pasukan militer tadi telah menarik lilitan rantai lebih keras agar makhluk itu mau menuruti perintah. Hasilnya bukan hanya menurut, tetapi 'dia' juga berjalan semakin terseok dengan lutut hampir menyapu lantai. Para pria berpakaian putih pun segera membersihkan ceceran darah yang menetes dengan cairan antiseptik, antikuman, dan antibakteri nomor 1 yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan menggunakan tekhnologi mutakhir.
"Laporannya, Komandan Hideo?" Seorang wanita berpakaian jas putih khas ilmuwan bertanya saat tim dari Divisi Utara datang dengan tiga zombie.
"Tiga buruan, Doktor Leony. Lihat saja sendiri pemindaian data dari Dorry. Robot kamera itu sangat hebat. Semua data ada di sini, seperti biasa."
Hideo tersenyum lalu mencabut bandul berbentuk lempengan hitam transparan dari rantai kalungnya. Selagi dia menyerahkan data, dilihatnya Dorry terbang ke arah lain. Benda bulat itu menggerutu. Oh! Jangan lupakan dua garis mata dan tetesan air sebagai ekspresi wajahnya.
[Oh~Aku lelah. Aku ingin istirahat. Mungkin makan es krim lebih baik], keluhnya dengan suara khas anak laki-laki berumur 10 tahun.
"Kapan dia akan sadar kalau dia adalah robot? Sampai konslet pun dia tidak bisa kelelahan apalagi makan es krim? Reaksi itu sangat manusiawi. Kurasa Dorry perlu diperbaiki." Hideo berbisik sambil terus menatap robot kamera itu menjauh.
Leony melirik Hideo sesaat. Sahabatnya selalu sembarangan kalau berkomentar. Hasil karya para ilmuwan sangat bagus, baik mesin maupun memori bekerja sempurna. Mungkin Hideo saja yang berlebihan. Leony mengembalikan bandul milik Hideo, setelah memindai data persentase aktifitas otak ke gawai berbentuk tablet miliknya.
"Nih, kau jangan asal bicara, Hideo. Robot tim-mu itu masih berfungsi dengan baik. Jelas saja reaksinya begitu karena dia diprogram sebagai anak laki-laki jenius."
"Ganti saja programnya dengan yang lebih berguna."
Hideo mendesah lelah sambari berkacak pinggang. Karena robot kamera milik timnya masih anak-anak, telinganya selalu berisik mendengarkan Dorry bernyanyi selama di dalam mobil. Mereka 'kan sedang bertugas, bukan pergi untuk kontes menyanyi.
Ucapan Hideo ini mendapat reaksi lain dari Leony. Pikiran mereka tak searah. Pemuda itu lantas mendaratkan tangannya ke lengan berotot Hideo agak keras. Leony berharap sahabatnya lebih bertoleransi walau pada robot kamera sekalipun.
"Dia robot canggih. Kau harusnya bersyukur ada Dorry di dalam tim-mu."
Hideo membalas Leony, "Coba kau ada dalam posisiku dan mendengar nyanyiannya yang tidak jelas itu!"
"Kau kan Komandan, masa kalah dengan anak umur 10 tahun? Kukira kau sudah kebal. Bagaimana kalau suatu hari nanti kau punya kekasih yang kekanakkan juga? Apa kau akan bilang kekasihmu aneh lalu membuangnya?"
"Ya, tentu tidak! Lagipula tidak mungkin aku berpacaran dengan orang yang kekanakkan?"
Leony memicingkan mata, "Hati-hati dengan ucapanmu, Hideo. Ucapan adalah doa."
"Ya. Ya. Kau cerewet sekali, Leo." Hideo melengos. Dia malas mendengar ceramah sahabat ilmuwannya ini. Leony seperti ibu-ibu tua saja. "Daripada itu, lebih baik kauperiksa anak Tuan Altar dengan saksama?"
"Apa? Anak Tuan Altar?" Leony terkejut dam berharap kalau pendengarannya masih berfungsi baik. Barusan Hideo bilang anak Tuan Altar?
"Ya. Zombie berseragam sekolah yang kubawa tadi adalah putra Tuan Altar. Aku sudah baca papan namanya."
"Benarkah? Aku belum mengeceknya tadi." Leony menoleh pada zombie yang tengah melayang dan tertidur akibat ditembak obat bius oleh Hideo. "Kenapa kau baru bilang sekarang?! Ini berita besar! Aku harus segera memberitahu Tuan Altar!"
Hideo tak sempat berkata-kata karena Leony terlebih dulu berlari meninggalkannya.
****
Seorang pria paruh baya berpakaian elegan memasuki sebuah gedung ditemani seorang asisten dan seorang pengawal yang berjalan di belakang. Wajahnya terlihat tenang, namun siapa bisa menduga kalau jauh di dalam hati pria itu sedang berkecamuk dan resah. Sejam lalu dia mendapat kabar tentang seseorang. Orang yang sangat disayangi akhirnya ditemukan, meski dalam keadaan menyedihkan.
Beberapa bulan lalu dia telah kehilangan anak perempuan satu-satunya ketika sedang pergi ke luar kota bersama teman-teman sekolah. Jalur yang mereka lalui saat itu sudah dipastikan aman, namun siapa yang mengira kalau ban bus mereka kempes di perbatasan dan berujung penghuninya hilang tanpa jejak. Setelah berbulan-bulan berlalu, akhirnya sang anak ditemukan.
"Tuan Altar Langit, Anda sudah datang?" Leony menyambut kedatangannya dengan ramah. Dia sebenarnya tahu bagaimana perasaan pria itu. Terlihat dari kedua matanya kalau Tuan Altar tengah menatap rindu sekaligus sedih.
Dia bertanya dengan antusias, "Di mana putriku---Tahta Langit?"
"Dia sekarang sedang disterilkan di ruang khusus. Anda tidak boleh mendekat. Tapi kalau anda mau anda bisa melihatnya dari balik jendela kaca. Mari ikuti aku."
Mereka berjalan menuju sebuah ruang isolasi. Sebelum mereka memasuki kawasan itu, semua alat komunikasi disimpan dalam wadah khusus, untuk menghindari radiasi dari telepon genggam. Kawasan ruang isolasi harus benar-benar steril, bahkan orang yang masuk ke sana harus memakai kain penutup khusus.
Tuan Altar masuk bersama asistennya juga Leony, sementara pengawal menunggu di luar. Sesampainya ke tempat Tahta dirawat, mata Tuan Altar melebar begitu melihat puterinya dari balik jendela berkaca tebal. Di dalam ruangan bernuansa putih, tampak sosok makhluk sedang berjalan mondar-mandir, pelan, kaku, seperti robot. Kepalanya terus menunduk hingga Tuan Altar tidak bisa melihat wajahnya.
Wajah yang dikasihinya itu pasti tak menyiratkan lagi senyuman, tak lagi manis seperti dulu. Hati Tuan Altar tersayat begitu pandangannya jatuh pada rantai di kedua pergelangan tangan dan kaki anaknya. Tahta terlihat seperti seorang tahanan. Namun, apa boleh buat? Ini demi kebaikan.
Melihat puteri kesayangannya menjadi mayat hidup membuat Tuan Altar merasa gagal menjadi seorang ayah. Bagaimana dia mempertanggungjawabkan keadaan ini pada mendiang istrinya? Dia malu, tak punya nyali, hilang muka. Dia merasa jadi laki-laki yang payah, karena menjaga satu anak saja tidak bisa.
"Bertahanlah, Nak. Kau akan segera pulih," gumam Tuan Altar pada sosok zombie Tahta. Setelah puas melihat, Tuan Altar pergi.
"Tuan, ada telepon dari Tuan Soni," kata pengawalnya sambil menyerahkan telepon genggam miliknya, namun pria itu hanya mengambil lalu diserahkan kepada asistennya.
"Suruh dia datang ke sini. Tahta membutuhkan kehadirannya," kata Tuan Altar tanpa menoleh atau menjawab panggilan.
"Baik, Tuan."
Asistennya mendengarkan kata-kata Soni.
"Tuan, sepertinya ... Tuan Soni tidak mau datang ke sini. Dia ingin bicara langsung pada Tuan."
"Apa maksudmu?" Tuan Altar segera mengambil alih telepon dari tangam asistennya, "Soni?"
["Maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan ini. Aku tidak mau bertunangan dengan zombie. Aku ingin pasangan normal yang tidak membuatku merasa terancam. Lagipula, aku tidak mau nama baik keluargaku rusak gara-gara kekasihku menjadi zombie. Aku ingin putus dengannya. Sekali lagi aku minta maaf.]
Telepon genggam hampir merosot dari tangan Tuan Altar kalau saja dia tidak memegangnya dengan erat. Soni, anak dari salah seorang kenalannya memutuskan pertunangan karena Tahta menjadi zombie. Amarah mulai bangkit di dalam hati Tuan Altar. Inilah sebabnya kenapa dia tidak menyukai laki-laki itu. Dia menerima Soni karena Tahta begitu mencintainya. Dia setuju mereka bertunangan karena tidak ingin melihat anaknya sedih.
Tuan Altar pikir mereka saling mencintai, namun sepertinya cinta sang lelaki tidak sebesar bayangannya selama ini. Tuan Altar sadar, hanya Tahta yang berhati tulus. Dia pun tersenyum sinis.
Cinta yang dangkal.
"Tu ... Tuan, anda baik-baik saja?" asistennya dapat merasakan aura hitam menguar dari dalam diri Tuan Altar. Pastilah itu aura kemarahan.
"Sonia memutuskan pertunangan. Kaucari orang untuk menjadi pasangan anakku. Syaratnya dia harus kuat dan tidak pernah merasa takut. Kerahkan seluruh tenagamu! Katakan pada orang itu aku akan memberikan apapun yang diinginkan asalkan dia mau menjadi kekasih Tahta! Aku tidak perduli!" Tuan Altar berteriak, membuat sang asisten, pengawal dan Leony terkejut.
Leony sejak tadi diam. Dari posisinya berdiri, dia tahu masalah apa yang sedang menimpa Tahta. Tahta dicampakkan dan kini ayahnya amat marah.
"Baik, Tuan," jawab asisten dan pengawalnya.
"Kau!" Tuan Altar menunjuk Leony serta memberi sorot mata tajam seperti ingin menguliti hidup-hidup.
Leony tak berkutik.
"Sembuhkan anakku sesegera mungkin. Aku akan mendanai pengembangan obat pemulihan untuk mengembalikan 'mereka' seperti manusia," lanjut Tuan Altar.
"Baik, Tuan. Akan kulakukan sebaik mungkin. Anda jangan khawatir," kata Leony dengan mantap. Dia tidak bisa menolak, karena pria itulah pencetus dari Misi STERIL sekaligus donatur terbesar misi ini.
Esoknya di berbagai media masa, siaran televisi, maupun siaran radio, memuat berita bahwa Tuan Altar sedang mencari pasangan untuk anak zombienya. Berbagai pro dan kontra diberikan sebagai imbas dari rencana nekat orang paling berpengaruh di Kota Lazar. Meski dianggap gila, tidak waras, dan berlebihan, pria itu berpegang teguh pada pendirian. Dia akan membawa harapan dan kebahagiaan untuk anaknya.
****
"Bagaimana, Tuan? Tidak satupun dari penghuni Lazar yang mau memiliki kekasih zombie. Aku sudah mencari gadis ke setiap sudut kota, tapi baru saja mereka membuka pintu, mereka menjerit dan tidak sampai satu menit pintunya langsung ditutup," Kalilo menunduk lesu, takut tuannya marah.
"Gadis jelas akan ketakutan," Tuan Altar yang sedang berdiri menatap ke luar jendela rumahnya menjawab, "Bagaimana kalau militer?"
"A-apa?" Kalilo menatap tuannya tak percaya. Jangan bilang kalau tuannya ingin mencari seorang pemuda tak seusia untuk dijadikan pasangan anaknya? Begitu putus asanyakah pria ini?
"Ya, Kal. Kali ini kaucari pemuda kuat, tangguh, pemberani, dan memiliki keahlian segala jenis ilmu bela diri. Dia haruslah seorang pemuda yang tidak takut pada zombie."
"Tuan, kriteria seperti itu ada pada pasukan militer khusus."
"Maksudmu?" Tuan Altar menengok pada asistennya.
"Mereka kuat, pemberani, tidak takut pada zombie, dan memiliki keahlian ilmu bela diri. Tapi mereka belum tentu mau memiliki kakasih mayat hidup."
"Meskipun begitu, aku tidak akan menyerah. Jika aku menyerah, itu artinya aku pun menyerah tentang anakku. Lakukan!"
"Baik, Tuan. Aku akan mencarinya."
****
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
queerasjay
banyak typo nih mo pas dibikin straight
2023-02-02
0
Nurul
ini anak nya tuan Lazar laki2 atau perempuan tolong di cek lagi agar pembaca tidak pusing
2022-04-30
1
Rum Rigel
Aku sudah pernah lihat sih di wp dan itu bl. Belum sempat baca disana..
Tapi disini bukan bl ya karena beda platform hwhw. Masih ada tahta yang dibilang putra, kak
2021-08-17
1