Tidak Ada Mimi (part 2)

Jalan Kartini ini semakin ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Hanya ada beberapa pejalan kaki melewati kami.

Kebanyakan dari mereka adalah pelajar di sekolahku, beberapa bahkan teman sekelasku. Mereka melihatku sekilas namun tidak menyapa.

Mimi mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidungku. Mengusir asap knalpot dari motor yang baru saja lewat.

“Memangnya bagaimana perasaanmu? Ceritakan saja padaku.”

“Benar? Kamu tidak bosan?”

Mimi menggeleng pasti. “Kita kan sahabat.” lagi-lagi ia menekankan kalimat itu. Kali ini aku mengiyakannya dengan yakin.

“Aku hancur. Meskipun aku tidak pernah menangis, bukan berarti aku tidak takut menghadapi perpisahan orang tuaku. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka aku harus memilih satu dari mereka. Sedangkan yang kutahu sejak kecil kami adalah satu. Saling melengkapi kekosongan masing-masing. Bagaimana bisa? Hidupku tidak akan seimbang tanpa salah satu dari mereka.”

Mimi melingkarkan tangannya di pundakku “Kamu bisa menangis kalau kamu mau.”

Beberapa tetes air diam-diam keluar dari sudut mataku. Hangat dan melegakan. Seperti dahak yang keluar dari kerongkongan. Aku tersenyum namun dengan segera kuhapus air mataku. Aku tak mau terlihat cengeng. Itu akan membuatku tampak lemah.

“Apa orang tuamu sering bertengkar?”

Aku mengangguk.

“Bagaimana perasaanmu ketika mereka bertengkar?” sambungnya.

“Tertekan. Teriakan-teriakan dan kata-kata kasar membuat aku stress. Mereka saling menyayangi, mana mungkin bisa saling menyakiti. Impossible. Aku tidak percaya. Kalau sudah begitu, aku mengurung diri di kamar sepanjang hari. Hanya bisa melamun, malas melakukan apapun.” air mata kembali mengalir di pipiku. Aku sudah coba menahannya tapi tidak bisa.

Jemari Mimi yang dingin dengan lembut menyekanya satu persatu.

“Karenanya, kalaupun mereka benar-benar berpisah pada akhirnya adalah untuk kebaikanmu, Sabita. Mereka tidak mau membuatmu terus-menerus merasa tertekan. Mungkin berpisah adalah jalan terbaik. Banyak berdoa saja semoga keadaan membaik secepatnya. Aku berharap mereka tidak jadi berpisah dan kembali harmonis seperti dulu.”

Mimi meraih tubuhku dan memelukku erat.

Nyaman menyelimuti hatiku. Meskipun aku pernah membaca apa yang diucapkannya dalam sebuah buku, namun aku merasa begitu tenang ketika mendengarkan seseorang menyampaikannya dengan penuh perasaan padaku. Aku merasa disayangi dan diperhatikan. Lenganku melingkari tubuh kurus Mimi, membalas pelukannya. Lalu membisikkan kata terimakasih yang tidak ia jawab.

“Mampir ke rumahku yuk. Aku kenalkan pada ibu.”

Mimi mengiyakan tawaranku. Kami berjalan beriringan sambil sesekali bercanda atau sekadar menertawakan badut-badut yang berjoget konyol di lampu merah.

Meyenangkan sekali. Perjalanan beberapa kilometer itu tidak terasa melelahkan. Kami bahkan terkejut ketika tahu-tahu sudah sampai di depan gang.

Kami tiba dihadapan sebuah pintu coklat kehitaman berukiran persegi sederhana. Di balik pintu itu kutahu ada dua orang sedang saling beradu pendapat. Nada suara tinggi memekakkan telinga siapapun yang mendengar. Sekali dua kali kudengar kata cerai dilontarkan serupa anak panah meluncur tajam menghujam jantung dan hatiku.

Lalu aku teringat perkataan Mimi tadi, apapun yang terjadi itulah yang terbaik untukku. Aku menoleh pada Mimi. Antara malu dan sedih, aku menyesal telah mengajaknya ke rumah.

“Mimi?”

Alih-alih berempati terhadapku, ia malah terlihat lebih pantas dikasihani. Aku memegang pundaknya. Wajah Mimi kembali pucat seperti pertama kali aku melihatnya pagi tadi. Matanya juga kembali sayu bahkan memerah seperti berdarah. Ia membuatku khawatir sampai tidak memedulikan pertengkaran orang tuaku yang masih berlangsung sengit.

Dengan tergesa kubuka pintu rumah. Ayah dan ibu sontak melihat kearahku. Aku berlari menghampiri ibu.

“Ibu ini temaku, Mimi. Sepertinya dia sakit, bu. Bolehkan dia istirahat sebentar di sini?”

mata ibu menyisir seluruh ruangan seraya mengernyitkan dahi.

“Dimana?” tanya ibu dengan pandangan masih berkeliling.

“Itu..” aku menoleh ke arah Mimi berdiri. “Di tengah pintu. Mimi, ayo masuk!” tanganku berayun mengajaknya masuk.

Mimi tidak menjawabku. Ia malah mematung bisu sambil menatap ayah dan ibuku lekat. Gayanya mengingatkanku pada manekin di toko pakaian. Ayah terbengong di kursi, sedangkan ibu malah menangis di pelukanku.

“Jangan berteman dengan Mimi lagi, sayang. Janji yah sama ibu.”

“Kenapa?” suaraku meninggi. “Apa salah Mimi?”

“Jangan, sayang. Kamu boleh berteman dengan siapa saja tapi jangan dengan Mimi. Turuti ibu yah.” ibu membujukku seperti anak kecil.

“Kenapa, bu? Cuma Mimi yang mengerti bagaimana perasaanku. Cuma dia yang mau mendengarkan aku. Tidak seperti ayah dan ibu yang cuma mau mendengar ego masing-masing. Tidak seperti mereka yang tidak pernah mau menjadi temanku. Mimi sahabatku! Mimi?” kepalaku menengok ke kanan dan kiri berusaha menemukan Mimi. Namun ia sudah tidak berada dimanapun.

Mimi pergi! Ia sudah tidak lagi berdiri di tengah pintu. Aku jadi merasa tidak enak. Ia pasti pergi karena tersinggung oleh ucapan ibu. Emosiku memuncak tapi menangis ataupun marah-marah bukan pilihanku. Aku segera melepaskan pelukan ibu, berlari cepat ke dalam kamar. Lalu beringsut jongkok di sudut dekat jendela untuk berpikir keras bagaimana cara yang pantas meminta maaf pada Mimi atas sikap ibu di sekolah besok. Aku tidak mau kehilangan sahabatku satu-satunya. Masih kudengar suara lembut ibu berusaha membujukku keluar kamar dari balik pintu. ***

Esok hari di sekolah, aku sudah menyiapkan sekotak coklat sebagai permintaan maafku pada Mimi. Tapi sudah hampir waktunya bel masuk, Mimi belum juga datang.

“Apa kalian lihat Mimi? Kok dia belum juga datang yah.” tanyaku pada Abel dan Clara.

Mereka berdua menatapku aneh. Tiba-tiba Abel menunjuk nametag di baju seragamku dengan telunjuknya. “Ini?”

Alamanda Mimi Sabita.

“Bukan. Mimi anak baru itu lho. Dua hari lalu dia baru masuk.”

Mereka saling memandang satu sama lain.

“Tidak ada anak baru di kelas kita, Sabita.” jawab Abel dengan pasti.

*** End

Terpopuler

Comments

sudah tidak aktif

sudah tidak aktif

Apakah Mimi hantu? Atau Sabita mulai stres dan berhalusinasi tinggi???

2021-03-12

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 49 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!