Mata sayu anak baru itu terus melihat ke arahku. Pelan-pelan ia melangkahkan kaki kurusnya ke meja tempat aku duduk. Tanpa basa-basi ia meletakkan tas punggung hitamnya, lalu mengambil tempat di kursi sebelahku.
Aku menahan kesal, ia tidak sopan. Sepatutnya ia meminta persetujuanku dulu. Kursi itu memang kosong tapi bukan berarti aku mau berbagi meja dengan seseorang termasuk ia.
Namun wajah pucatnya membuat amarahku reda begitu saja. Ia terlihat sakit. Aku melirik pada wajah di balik rambut panjang dan lurus menjuntai sebahunya. Spontan ia menangkap tatapanku tajam, membuatku terkejut lalu secepat kilat berpaling.
Ia malah terkekeh kemudian mengulurkan tangannya yang kusambut dengan hati-hati. Aku tak berani menggenggamnya erat. Takut mematahkan jemarinya yang kurus seperti ceker ayam. Yaa.. meskipun kuku-kukunya tidak setajam cakar.
“Mimi..” ujarnya memperkenalkan diri. Sungguh itu adalah suara paling jernih yang pernah kudengar.
“Sabita..”
Ia berdeham tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Kamu mau kan jadi sahabatku?”
Seperti tersihir aku mengangguk sebelum sempat berpikir tentang apapun.
Dan ajaib! Matanya tiba-tiba membulat lebar dan berbinar. Wajah pucatnya seketika merona bersamaan dengan senyum lebar yang ia sungging. Hawa hangat menjalari tangan kami berdua seolah air yang mengalir deras.
Aku menarik tanganku cepat. Aneh! Aku memekik dalam hati. Ia malah tertawa melihatku keheranan. Beruntung tidak ada anak lain yang memerhatikan kami. Semua sibuk masing-masing.
“Persahabatan itu memang menghangatkan, Sabita.” Kata-katanya membuatku bergidik ngeri, seakan ia baru saja membaca pikiranku dan itu jelas bukan hal bagus.
Aku mengalihkan perhatianku pada Bu Sri yang sedang menerangkan trigonometri di papan tulis. Sedangkan ia masih terus memerhatikanku dengan ekor matanya. Oh God, menakutkan sekali cewek ini.
Keanehan berlanjut saat pulang sekolah. Aku berjalan setengah berlari mengetahui ia mengikutiku di belakang. Kakinya grasak-grusuk mengimbangi. Kalaupun rumahnya satu arah denganku, seharusnya ia tidak perlu pulang berjalan kaki menantang serbuan karbon monoksida dari knalpot kendaraan di jalan. Banyak angkot lewat, kenapa ia tidak menyetop satu lalu naik bersama teman lain. Malah capek-capek berjalan bersamaku. Kalau aku memang jelas tidak punya uang saku. Jujur saja aku merasa dibuntuti. Keringat dingin mulai menetes di dahiku.
“Mimi, kenapa kamu tidak naik angkot saja?” tanyaku pada akhirnya.
Ia tesenyum tipis, berjalan lebih cepat menyamai langkahku yang melambat. “Aku memang mengikuti kamu.”
Aku menatapnya meminta penjelasan lebih.
“Rumah kita searah, Sabita. Karena kamu jalan kaki, ya aku juga jalan kaki menemani kamu. Kita kan sahabat.” Diacungkannya jari kelingking yang dengan sedikit ragu kusambut dengan mengaitkan jari kelingkingku.
Meskipun Mimi sedikit aneh, namun tidak bisa kupungkiri kalau aku menyukai sikap hangat dan manisnya. Ini pertama kalinya aku punya sahabat. Bisa dibilang ini pertama kalinya aku punya teman. Anak-anak lain di sekolah tidak suka berteman denganku. Aku pun demikian. Aku tidak pernah nyaman dengan cara mereka bercanda dan mengobrol.
Suara mereka lantang, saling menyahut satu sama lain. Sedangkan aku selalu berbicara pelan. Mereka tidak pernah mendengarkanku atau mungkin memang tidak pernah ingin mendengarkanku. Padahal aku sangat butuh untuk didengar. Aku juga ingin bersuara, bercerita, bercanda.
Aku menceritakannya pada Mimi.
Wajahnya kelihatan sedih seakan-akan itu menimpa dirinya sendiri.
Melihat empatinya, membuatku menjadi semakin nyaman . Tanpa ragu aku melanjutkan cerita tentang keluargaku.
“Aku sedang ngambek, orang tuaku juga tidak pernah mau mendengarkan aku.” Jawabku pelan ketika ia bertanya mengapa aku sampai tidak punya uang saku.
Sial! Mataku mulai berembun. Tidak.. aku tidak boleh menangis disini atau dimanapun.
Mimi tidak melepaskan tatapannya dariku walau sedetik. Ia tidak menyela sedikitpun. Bahkan ia menyelipkan rambut menjuntainya di belakang telinga. Seolah agar ia dapat mendengarkan ceritaku dengan lebih baik.
“Mendengarkan tentang apa misalnya?” Wajahnya penasaran, aku jadi semakin bersemangat untuk curhat.
Sebelum sempat menjawab, Mimi menarik lenganku ke bawah pohon di sisi trotoar. Kami duduk di pinggiran paving block yang sedikit lebih tinggi. Bayangan pohon yang jatuh menyelamatkan kami dari sengatan matahari. Aku menyeka dahi berkeringatku dengan punggung tangan. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tasnya lalu menyodorkannya padaku. Kukembalikan botolnya setelah meminum beberapa teguk.
Ia sendiri tidak minum. Tidak juga tampak kelelahan ataupun berkeringat.
“Lanjutkan.” Pintanya. Aku mengangguk.
“Mereka tidak pernah mendengar pendapatku setiap ada perselisihan. Uhmm.. buat mereka, aku cuma anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Juga tentang rencana perceraian itu, mereka tidak pernah mau tahu bagaimana perasaanku. Ibu atau ayah sama saja. Karena itu aku tidak bawa uang saku hari ini. Aku ngambek, mogok bicara.”
Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya seakan-akan apa yang kukatakan ikut membuatnya risau.
“Jadi mereka mau bercerai?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk sedih.
*** bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments